Propellerads

Wednesday, July 25, 2012

Ini dia penjaga warisan batik

Namanya Pak Bejo. Lengkapnya, Drs. Bejo Haryono. Ia adalah satu dari tiga orang di Indonesia ini yang, sepanjang pengetahuan saya, memiliki khazanah pengetahuan yang dalam soal batik — selain keluarga keraton tentunya.

Pak Bejo kuliah di Fakultas Sastra dan Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Setelah lulus, ia bekerja sebagai pamong budaya di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta. Setelah itu, ia bekerja sebagai pengurus Museum Batik Jogja di Jl. Dr. Soetomo milik Ibu Dewi Nugroho. 

Setelah pensiun, Pak Bejo menghabiskan sisa hari tuanya berjualan kayu bakar di pinggiran kota Yogyakarta.

Dalam perjalanan saya ke kota-kota batik di Jawa, seperti Jogja, Solo, Cirebon, Pekalongan dan Madura, Museum Batik Jogja adalah museum yang paling berkesan. 

Selain punya koleksi lengkap, penjelasan yang mampu mereka berikan mengenai motif batik juga benar-benar detail. Hanya tiga orang yang mampu bercerita soal motif ini dengan sangat fasih. Mereka adalah Pak Bejo, Pak Prayogo, dan Ibu Dewi Nugroho sang pemilik. 

Ya… tinggal mereka bertiga. Orang-orang yang begitu cinta dengan batik dan mengenal sekali kecintaan mereka ini.

Tetapi mereka bertiga sudah tidak muda lagi, dan kerap terserang beraneka macam penyakit. Ditambah lagi, karena usia juga, beberapa kali mereka seperti susah sekali untuk mengungkapkan kembali isi kepala mereka yang begitu berharga.

Ini mengkhawatirkan.

Beberapa minggu lalu, saya berkunjung ke Museum Batik Jogja untuk mengumpulkan data dalam rangka penulisan buku #ceritabatik. Sampai di sana, niat saya harus sedikit tertahan. Sebabanya, Ibu Dewi masuk rumah sakit, sementara Pak Prayogo sedang tidak enak badan. 

Lalu apa yang terjadi dengan Museum Batik Jogja? Museum harus ditutup karena tidak ada yang bisa menceritakan isinya kepada pengunjung. Beruntung saya masih dapat menemui pak Bejo di tempat tinggalnya di pinggiran kota Jogja.

Keadaan ini seharusnya membuat kita berpikir dan bertindak. Bukan bermaksud mendoakan sesuatu yang buruk, tetapi bagaimana kalau mereka bertiga sudah tidak ada? Siapa yang akan melanjutkan cerita mereka soal arti dan filosofi motif batik ini ke generasi selanjutnya?

Sampai saat ini, belum ada keturunan mereka yang berminat mempelajari dan menceritakan kembali arti motif-motif batik ini. Padahal, tidak banyak yang tahu bahwa yang ditetapkan UNESCO sebagai kekayaan warisan budaya bangsa adalah cerita, filosofim dan makna dari batik. Bukan kain batiknya. 

Dalam kepala saya, ini adalah harta yang harus dijaga dan dirawat baik-baik untuk kemudian diteruskan ceritanya ke generasi penerus bangsa ini. Permasalahannya adalah, generasi penerusnya ternyata tidak sebegitu pedulinya dengan harta warisan budaya ini. Sepertinya, kata tradisi dan budaya sangat identik dengan kuno, ketinggalan jaman dan tidak ‘gaul’.

Perjalanan ke Pekalongan yang membuat saya tersadar akan realita ini. Interaksi dengan pembatik generasi ke-3 membuat saya tersadar tidak ada yang meneruskan keahlian membatik halus di pekalongan dan juga kota-kota penghasil batik lainnya di Indonesia. Buyut, Nenek, Ibu…dan keahlian ini berhenti disitu. Anak-anak pembatik ini lebih memilih untuk  bekerja di konveksi  memasang kancing, atau mecabuti sisa benang di pabrik lepis.

Selama masih sempat dan kita masih kuat, tidak ada salahnya untuk bersama-sama tidak hanya memakai, tetapi mulai mencoba untuk memahami arti dan filosofi motif batik yang kita punya. Agak percuma kalau setiap Jumat kita memakai batik namun sampai detik ini tetap tidak tau apa arti motif batik yang dipakai, dan tetap tidak berhasil menciptakan generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian membatik halus.

Jika Anda sedang mampir ke Yogya, sempatkan diri berkunjung ke Museum Batik Jogja di Jln. Dr. Soetomo No. 13 A Yogyakarta dan berbincang-bincang dengan Pak Prayogo atau Ibu Dewi. 

Kesadaran Anda sangat tinggi nilainya.
sumber

0 komentar: