Propellerads

Sunday, August 26, 2012

Suriah: Kisah Sebuah Revolusi


TULISAN ini bukan ditujukan kepada orang Suriah yang mampu menceritakan bahkan lebih baik daripada tulisan ini. Tulisan ini ditujukan kepada saudara-saudaraku bangsa Arab (sumber asli tulisan) yang setelah lewat setahun revolusi masih ada yang bertanya: kenapa kalian berontak kepada pemerintah al Assad? Bagaimana revolusi tersebut terjadi?

Orang Suriah hendaknya tidak buang waktu membaca tulisan ini, kecuali untuk membacakannya kepada siapa pun yang bertanya. Adapun orang selain Suriah yang hendak membaca tulisan ini, maka hendaknya dibantu untuk memahami realitas revolusi Suriah sesungguhnya. Walaupun saya tidak bisa menjanjikan bahwa mereka akan paham sepenuhnya. Sebab, bagaimanapun tidak sama antara yang menyaksikan langsung dengan yang sekadar membaca.
Dunia menyebut Suriah sebuah republik. Padahal pemerintahan republik memilih presidennya lewat pemilihan umum yang mengganti presidennya secara berkala dalam beberapa tahun. Namun, kenapa presiden Suriah justru dilahirkan dari rahim istri presidennya? Lantas kenapa presiden Suriah tidak pernah berganti?
Partai Ba’ats yang sosialis merebut kekuasaan di Suriah lewat kudeta berdarah pada bulan Maret 1963. Tapi sejatinya kudeta tersebut bukanlah kudeta partai politik atas sebuah pemerintahan, selain upaya seseorang bernama Hafiz al Assad, yang dengan dukungan sekelompok bersenjata menggulingkan kekuasaan.
Di depan publik, Hafiz al Assad tampil sebagai bagian dari kelompok revolusi bersenjata. Tetapi sesungguhnya dialah aktor intelektual di balik kudeta tersebut.
Dalam beberapa tahun kemudian, al Assad berhasil menyingkirkan satu persatu rekan-rekan seperjuangannya. Terakhir, dia berhasil melibas kawan dekatnya, Shalah Jadid di akhir tahun 1970. Setelah itu, dia mengumumkan dirinya sebagai pemimpin dan presiden bagi Suriah (1971).
Tiga puluh tahun di bawah kekuasaan al Assad adalah masa sulit dalam sejarah Suriah. Setelah dia wafat pada medio 2000 silam, Bashar al Assad mewarisi kekuasaan bapaknya, tak ubahnya kekuasaan monarki. Namun karena usia Bashar waktu itu (35 tahun) belum cukup untuk menjadi presiden oleh konstitusi, maka hanya ada dua opsi: mencari calon presiden yang lain atau mengamandemen konstitusi.
Namun karena di di Suriah seluruhnya tidak ada pemuda yang layak untuk jabatan presiden selain Bashar, maka amandemen konstitusi menjadi pilihan yang paling ringan. Apalagi karena parlemen Suriah terdiri dari para pakar hukum terkemuka di dunia. Tidak heran jika amandemen tersebut cuma butuh waktu lima menit. Dan jadilah Bashar yang sebelumnya putra mahkota sebagai “raja baru Suriah”. (Menang lewat referendum yang sarat rekayasa dengan dukungan 97,3% suara [!])
II
SEJAK penggulingan kekuasaan oleh partai Ba’ats di tahun 1963, Suriah memberlakukan undang-undang darurat. Selama empat puluh delapan tahun, bangsa Suriah hidup di bawah tekanan dan penderitaan oleh undang-undang tersebut. Kehormatan dan kebebasan mereka terampas.
Seluruh negara jatuh ke dalam genggaman sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan: keluarga al Assad dan para kroninya. Lembaga-lembaga negara, pranata ekonomi, keamanan, militer . . . semua dipegang oleh lingkaran kelompok itu. Hanya ratusan manusia yang secara de facto memiliki negeri yang bernama Suriah beserta seluruh sumber daya yang ada di dalamnya.  Merekalah yang menguasai dan mengendalikan dua puluh juta manusia lainnya.
Seorang penulis pernah berniat menulis tentang kondisi saat itu. Dia tidak mendapatkan tajuk yang lebih tepat selain:Mazra’ah/Kebun al Assad. Ya, benar. Sebab Suriah di era tersebut telah berubah menjadi sekadar sebuah kebun. Manusia Suriah lebih rendah statusnya daripada seekor binatang. Semenjak setengah abad silam, setiap bayi yang lahir di Suriah menambah jumlah budak dan tawanan rezim. Bayi tersebut lahir dalam sebuah negeri yang diliputi horor, diskriminasi dan perampasan harkat serta martabat.
Sidang pembaca paham benar arti istilah “ketenteraman” dan “martabat” di negeri Saudara hidup. Tapi bangsa Suriah hanya bisa mendengarnya sebagai sebuah dongeng. Setiap anak di dunia diberi susu sejak kecilnya, kecuali di Suriah. Anak-anak di Suriah diberi “susu” horor dan penistaan.
Sejak ketika seorang anak di Suriah belajar untuk berbicara, dia akan diberitahu untuk tidak menanyakan atau menggugat apa pun. “Jangan sampai engkau sekalipun menunjuk kepada aparat keamanan atau menyebut intel. Jangan sekalipun engkau menyebut nama presiden, kecuali diawali dan diikuti dengan pujian.”
III
Di Suriah, terdapat patung-patung dan poster presiden yang jika hendak dibagikan kepada seluruh penduduk dunia akan cukup. Jika Anda berjalan-jalan di Suriah, Anda akan selalu menemukan patung di antara dua patung lainnya, poster di antara dua poster lainnya. Bangsa Suriah telah meringkas sejarah mereka pada profil presiden mereka.
Sebelum al Assad, bangsa Suriah bukanlah siapa-siapa. Suriah mengangkat al Assad ke semi-tuhan, dia dinobatkan sebagai pemimpin seumur hidup. Media dan perangkat pendidikan semuanya ditujukan untuk mengindoktrinasikan dusta besar: al Asadan/dua singa, bapak dan anaknya. Pemimpin terbesar, paling bijaksana sepanjang zaman. Mereka adalah karunia Tuhan kepada bangsa Suriah, khusus dan hanya buat bangsa Suriah.

Bangsa Suriah diperbolehkan menista Tuhan, tetapi tidak boleh menista “tuhan” palsu mereka. Itu terjadi sebelum segalanya terbuka dan tersingkap. Tapi setelah rahasia itu terbongkar, ternyata pengikut setia al Assad memang sujud kepada poster-posternya dan memaksa para tawanan untuk sujud kepadanya. Bahkan para tawanan itu disiksa dan dipaksa untuk mengucapkan persaksian: tiada tuhan selain Bashar(!). Maha Tinggi Allah dari segala sekutu. Dan semoga Allah menimpakan siksanya kepada Bashar, hamba-hambanya dan pengikutnya.
Teriakan awal pemuda yang menuntut revolusi terbatas pada tuntutan kebebasan “Hurriyyah, Hurriyyah”, dan “Bangsa Suriah tidak Boleh Direndahkan”. Bangsa Arab lainnya tidak memahami arti teriakan tersebut, sebab mereka belum pernah kehilangan kebebasan dan harga diri, seperti bangsa Suriah. Bahkan bangsa Palestina pun tidak.

Demi Allah, aku bersumpah, bahwa bangsa Palestina yang hidup di bawah penjajahan Zionisme Yahudi lebih bebas dan lebih memiliki harga diri daripada bangsa Suriah. Bangsa Suriah yang hidup di bawah penjajahan partai Ba’ats al Assad selama empat puluh tahun lamanya.
IV
Di Suriah, semua unsur intelijen adalah raja dan pemilik, sedangkan seluruh rakyat Suriah adalah budak dan gembalaan. Al Assad memberikan itu semua kepada intelijen setelah dia berhasil dengan kudetanya. Intelijen bisa melakukan apa saja terhadap rakyat Suriah, yang penting bahwa tidak ada yang berani meyentuh dan menggugat kekuasaan al Assad.

Sejak saat itu, perangkat intelijen dan keamanan punya nota perbudakan terhadap semua rakyat Suriah. Mereka bisa merampas kemerdekaan, kehormatan, bahkan nyawa siapa saja tanpa koreksi dan protes dari siapa pun. Tidak perduli orang tua, anak-anak, pria dan wanita, Arab dan Kurdi, Muslim dan Nasrani. Setiap penduduk Suriah berarti berstatus budak.

Andai aparat keamanan itu bersikap sebagaimana gembala kepada binatang gembalaannya, realitasnya tidak. Rakyat Suriah lebih rendah daripada binatang.

Di Suriah, aparat keamanan bisa menyerobot masuk ke rumah penduduk kapan saja, siang atau malam, dan membawa pergi siapa yang mereka inginkan. Anda tidak bisa menyanggah atau bertanya. Orang yang ditahan tidak tahu alasan dia ditahan, atau mungkin alasan dia dibunuh.

Adapun keluarganya, tahun-tahun berlalu dan mereka tidak tahu nasib keluarga mereka. Awalnya mereka berharap bahwa dia akan pulang, kemudian berharap bahwa mereka bisa mengunjunginya di penjara, kemudian berharap bisa melihatnya walau hanya sekejap, lantas berharap mendengar informasi tentangnya, informasi apa saja . . . . Harapan yang semakin lama semakin redup dimakan waktu, hingga akhirnya harapan itu cuma satu: hidupkah dia gerangan atau telah gugur.

Rakyat Suriah telah terbiasa kehilangan anak-anak mereka dan mereka diam. Mereka terlanjur lazim dengan keputusasaan terhadap keluarga mereka yang ditahan. Mereka sudah biasa mengubur keluarga mereka yang tewas atau meninggal sambil tutup mulut.

Apakah pembaca pernah mendengar penjara Tadmur, “Bastille” Suriah yang menyeramkan? Tanyakan kepada gurun pasir yang luas membentang di belakangnya, berapa ratus ribu nyawa yang lenyap di dalamnya? Manusia-manusia yang tak berdosa, bahkan manusia-manusia saleh dan jujur. Semoga Allah merahmati mereka semua.
V
Tiba-tiba dunia Arab meledak oleh revolusi. Musim semi telah tiba. Rakyat Tunis keluar ke jalan-jalan raya (17/12/2010), disusul rakyat Mesir (25/1/2011), kemudian rakyat Yaman (11/2/2011) dan Libya (17/2/2011).

Orang-orang bertanya, bukankah rakyat Suriah lebih pantas untuk protes? Sebab, kondisi mereka jauh lebih buruk dan pemerintahan mereka jauh lebih korup. Tetapi apakah mereka akan melakukan revolusi? Orang-orang bersilang pendapat. Tapi mayoritas berkata, tidak mungkin! Benar, rakyat Suriah lebih butuh kepada kebebasan, tapi mereka terlalu lemah untuk menuntut itu.  Sebab pemerintahan Suriah paling sadis dan represif di dunia saat ini.

Awal Februari, sejumlah tuntutan “malu-malu” di Damaskus dan Halab mendesak agar rakyat berdemo. Beberapa kesepakatan waktu telah dibuat, namun tidak mendapatkan respons yang memadai. Para aktivis frustrasi dan putus asa.

Manusia menginginkan dan Allah berkehendak, dan Allah memutuskan apa  yang Dia kehendaki. Allah mengatur kehendaknya di luar kemampuan dan perkiraan manusia. Tanggal 17 Februari, seorang polisi di pusat ibukota bertindak sewenang-wenang kepada seorang pedagang di pasar tua Hurayqah. Polisi itu memukul si pedagang.

Sontak, orang-orang dipasar berkumpul dan protes. Tanpa rencana dan koordinasi sebelumnya. Demonstrasi pertama selama setengah abad kurang dua tahun! Dalam waktu singkat, ribuan manusia bergerombol dan meneriakkan yel-yel: “Bangsa Suriah tidak Boleh Direndahkan”. Keadaan sangat riuh sampai-sampai menteri dalam negeri turun tangan langsung mengendalikan situasi. “Shabiha”, geng bersenjata piaraan rezim Bashar, dan aparat keamanan menerobos ke tengah demonstrasi dan berusaha merebut kendali. Mereka berteriak, “Allah, Suriah, Bashar.”

Padahal demonstrasi tersebut tidak berarti apa-apa dibanding dengan demonstrasi-demonstrasi pada bulan-bulan berikutnya. Hanya saja, demonstrasi tersebut merupakan peristiwa luar biasa dalam perspektif rakyat Suriah. Untuk pertama kalinya rakyat Suriah berkumpul dalam jumlah besar untuk melakukan protes terhadap salah satu simbol rezim. Baru kali itu mereka berbicara tentang harga diri dan identitas rakyat Suriah. Istilah yang telah lama hilang dalam perasaan kolektif mereka.

Film dokumentasi tentang demonstrasi tersebut di-upload ke Youtube dan informasinya segera menyebar bagaikan api yang membakar ilalang. Tidak sampai sepekan hingga film tersebut ditonton ratusan ribu manusia.
VI
Api telah terlanjur membakar. Pengamat tidak bisa menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi dari atas. Padahal, nyala api terus menjalar di bawah permukaan. Lima hari setelah peristiwa itu, sebuah demonstrasi kecil berkumpul di depan kedutaan besar Libya, memprotes kekerasan berdarah terhadap saudara-saudara kita, pendukung revolusi yang melawan diktator kejam Moammar Khadafi.

Demonstrasi itu tidak berlangsung lama, sebab pihak keamanan membubarkannya dengan keras. Dan ketika demonstrasi tersebut berulang keesokan harinya, para pendemo mulai dipukuli bahkan ditahan.

Beberapa hari jelang Februari berlalu, terjadilah peristiwa yang ditakdirkan menjadi salah satu terminal revolusi. Seorang anak di Dir’a mencoret di dinding slogan yang mereka contek dari Arab Spring di negeri Arab lainnya: “rakyat ingin menurunkan pemerintah”.

Pernahkan Pembaca budiman mendengar tentang Dir’a sebelum ini?  Dir’a adalah ibukota Hawran, negeri yang melahirkan ulama-ulama besar semacam Imam Nawawi dan Ibnu Katsir. Negeri ini pula yang memecahkan revolusi besar melawan pendudukan Prancis.

Peristiwa kecil itulah yang sesungguhnya melahirkan revolusi. Belasan anak yang usianya tidak lebih dari 15 tahun diseret dari rumah mereka masing-masing pada malam hari itu. Mereka digiring ke tahanan dan disiksa. Organ tubuh mereka dibakar dan kuku mereka dicabut. Tubuh mereka digebuk hingga remuk.

Para orang tua dari anak-anak itu datang memelas. Meraka memohon kepada pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka dilepaskan. Namun, pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar ke seluruh Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau bawa kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”

Kesabaran tetap ada batasnya. Rakyat Suriah telah cukup bersabar hingga laut kesabaran itu telah kering. Dan bubuk mesiu yang terjilat api pasti akan meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi penduduk Dir’a, sedangkan apinya adalah jawaban pejabat pemerintah tadi. Meledaklah revolusi!
PARA orangtua dari anak-anak itu datang memelas. Meraka memohon kepada pejabat keamanan politik agar anak-anak mereka dilepaskan. Namun, pejabat itu melontarkan jawaban menghina yang kelak tersebar ke seluruh Suriah, “Lupakan mereka, dan lahirkanlah anak-anak yang lain! Atau bawa kemari istri-istri kalian agar kami hamili bila kalian tidak mampu!”

Kesabaran tetap ada batasnya. Rakyat Suriah telah cukup bersabar hingga laut kesabaran itu telah kering. Dan bubuk mesiu yang terjilat api pasti akan meledak. Bubuk mesiu itu adalah emosi penduduk Dir’a, sedangkan apinya adalah jawaban pejabat pemerintah tadi. Meledaklah revolusi!
VII
Tuntutan untuk melakukan demonstrasi pada hari Selasa (15/3/2011) tersebar lewat situs-situs jejaring sosial di internet. Pada hari H, demonstrasi kecil terjadi di Damaskus, Halab, Dir’a, dan Dirzur. Para demonstran berteriak, “Kemana engkau bangsa Suriah.”

Esok harinya, sekitar 100 pemuda dan pemudi berdemonstrasi di jantung kota Damaskus. Mereka berkumpul di depan kantor kementrian dalam negeri menuntut kebebasan, reformasi politik, dan agar tawanan politik dibebeskan dari penjara. Ratusan aparat keamanan bersenjata pentungan membubarkan demonstrasi dan menangkap sebagian aktivis. Beberapa perempuan dijambak rambutnya serta seret menuju mobil tahanan.

Jumat (18/3/2011) sejumlah demonstrasi terjadi di beberapa kota di Suriah. Dir’a menjadi kota yang paling panas. Khususnya setelah insiden penangkapan anak kecil yang disusul oleh pernyataan pejabat keamanan tadi. Sekam yang membara tinggal menunggu untuk disiram dengan bahan bakar. Dan pemerintah Suriahlah yang melakukannya.

Penguasa merespon demonstrasi dengan sejata berpeluru tajam. Empat syahid jatuh korban. Itulah bahan bakar yang membakar bara emosi rakyat.

Sabtu keesokan harinya, warga Dir’a melayat dan mengiringi jenazah para syuhada. Syekh Ahmad al Shayashinah menyerukan kepada rakyat Suriah, “Sejak hari ini, wajib hukumnya bagi setiap rakyat Suriah yang mampu untuk keluar berdemonstrasi. Sikap berpangku tangan adalah khianat terhadap darah para syahid.”

Petugas keamanan meneror Syeikh Ahmad dan meminta dia menenangkan gerakan protes. Syeikh Ahmad menolak. Akibatnya dia dipukuli petugas.

Ahad (20/3/2011), rombongan manusia mengalir dari segala penjuru Hawran menuju Dir’a. Mereka berteriak, “Bangkitlah Hawran, bangkitlah Hawran!” Beberapa aparat mencoba menenangkan kumpulan manusia itu, namun nihil. Rakyat menuntut agar pejabat keamanan yang membalas dengan penghinaan itu dihukum mati. Untuk pertama kalinya selama beberapa dekade publik mengajukan tuntutan untuk menghukum mati seorang pejabat yang sewenang-wenang.  

Untuk pertama kalinya pula, massa berkumpul bukan untuk meneriakkan “Bashar sebagai pemimpin untuk selamanya,” atau “kami akan berkorban dengan darah dan nyawa.” Bukan. Teriakan yang menggoncang bumi Hawran saat itu adalah“Bashar barrah, barrah (keluar); Suriah hurrah, hurrah(merdeka).” Ketakutan terhadap rezim akhirnya menguap sudah. Dugaan banyak orang selama ini terhadap rakyat Suriah menjadi tidak terbukti.

Pada hari yang sama, Hasan Nashrullah berpidato, “Pemerintahan yang mirip Husni Mubarak yang diprotes rakyatnya, maka kami akan bersama rakyatnya. Akan tetapi jika pemerintahan itu menolak dan timbul masalah, maka persoalannya jadi lain. Kami akan berdiri bersama mereka, dan berkata, ‘Tuntaskan urusan kalian sendiri.”

Setelah pidato Hasan Nashrullah, demonstran Suriah di Dir’a membakar posternya dan protes, karena mereka juga menghadapi intimidasi dan penindasan. Nashrullah dan Hizbullata jatuh dari mata rakyat Suriah, dan hampir saja Iran yang bermain di belakangnya turut kolaps. Proyek raksasa yang dibiayai Iran selama sepertiga abad jatuh sudah.  
VIII
Sesungguhnya krisis Suriah bisa saja berhenti sampai di situ. Apa yang dituntut oleh para demonstran? Menurunkan pejabat keamanan dan mengajukannya ke pengadilan, mengganti gubernur yang korup dan melepaskan anak-anak yang ditawan bersama sejumlah tawanan politik. Di samping itu, membatalkan undang-undang darurat yang telah menghimpit kehidupan rakyat selama setengah abad.

Adapun menurunkan pemerintahan yang ada, masih merupakan mimpi di siang bolong. Kenapa rezim tidak berusaha memenuhi tuntutan yang ringan itu? Kalaupun rezim yang ada belum mau melaksanakan tuntutan rakyat, kenapa para demonstran harus dihadapi dengan senjata?

Segera saja gerakan revolusi mengarah ke mogok massal yang dimulai di Dir’a dengan berkumpul di masjid Jami’ al ‘Amri. Sebagaimana rakyat segera menangkap bahwa mogok massal dan berkumpul di tempat terbuka merupakan “dosa besar” di mata rezim Bashar.

Pagi itu (23/3/2011), ledakan memecah udara Dir’a. Tentara loyalis rezim memulai serangannya ke Jami’ al ‘Amri. Para pemuda tidak beranjak dari tempat berkumpul mereka. Tentara mulai menembak dengan rentetan senapan mesin dan melempar bom. Korban dari rakyat sipil mulai berjatuhan. Puluhan tewas sebagai syuhada serta ratusan lainnya luka berat. Dan ketika aliran manusia mengalir menuju Jami’ al ‘Amri, mereka dihadang dengan tembakan dan korban yang jatuh bertambah. Militer melarang ambulans menolong korban yang jatuh. Bahkan korban yang berhasil dibawa pergi dicegat oleh tentara di jalan dan dibawa ke mobil tahanan.

Informasi tentang demo besar-besaran dan sikap rezim segera tersebar ke distrik-distrik lain di Hawran. Rakyat keluar ke jalan-jalan dan protes. Dengan marah, mereka berjalan menuju Dir’a. Sebagaimana sebelumnya, militer mencegat mereka dengan timah panas.

Hari itu berakhir dengan 52 korban nyawa. Hawran tidak mungkin lagi mundur ke belakang. Dia telah memasuki titik yang tak mungkin dihentikan kecuali dengan runtuhnya rezim Bashar.
IX
Hari-hari berikutnya semakin memanas. Kendati pejabat-pejabat pemerintahan silih berganti muncul di layar televisi dengan pernyataan yang penuh kamuflase. Janji untuk menghukum pejabat yang melanggar, militer yang melampaui batas, dan upaya melakukan investigasi yang indipenden. Tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Bashar tampil di televisi dengan pidatonya yang membosankan. Beberapa orang ditampilkan mendukung Bashar. Rakyat telah terbiasa dengan drama dan teriakan rekayasa yang ditampilkan di media resmi pemerintah. Rakyat membalasnya dengan demonstrasi yang pecah di mana-mana.

Seorang pejabat, lewat konferensi pers yang disiarkan media menegaskan bahwa presiden telah melarang keras tentara menghadapi demonstrasi rakyat dengan senjata. Hari Jumat, dunia menjadi saksi betapa instruksi presiden itu dilaksanakan. Ketika ribuan demonstran yang berasal dari Kufr Syams dan Shinmin mendekati kantor keamanan militer, pintu dibuka dengan hujan peluru senjata mesin yang berhambur menyambar tubuh para domonstran. Puluhan nyawa melayang di tempat.

Senin (28/3/2011) rakyat Suriah telah membuka mata mereka. Rakyat telah sadar bahwa rezim yang ada memilih jalan kekerasan dan darah. Rezim siap membantai rakyatnya sendiri demi menghentikan arus demonstrasi.

Recep Tayyip Erdogan, perdana menteri Turki muncul di layar televisi, “Kita tidak mungkin berpangku tangan terhadap apa yang terjadi di Suriah.” Sejak itu, dia memang tidak pernah lagi berlepas tangan terhadap nasib saudara-saudaranya di Suriah.
X
Sejak awal rezim Suriah berupaya membunuh “janin” revolusi sebelum dia lahir dan tumbuh besar dan kuat. Lantaran itu, demo-demo pertama dihadapi dengan senjata, dan korban mulai berjatuhan di mana-mana. Strategi yang ditempuh tentara rezim umumnya adalah menggunakan penembak jitu yang bersembunyi di gedung-gedung tinggi kota. Kadang juga dengan tembakan senjata mesin oleh tentara yang berlindung.

Rezim Suriah rupanya belajar dari revolusi Tunisia dan Mesir. Rezim menyimpulkan bahwa sikap ragu-ragu pihak keamanan dan militerlah yang menjadikan gerakan revolusi tumbuh dan terus berkembang. Rezim tidak mau melakukan “kesalahan” yang sama. Maka sejak awal demonstrasi, rezim Suriah telah mengerahkan segala kekuatan yang dia miliki. Oleh karena itu, kita tidak pernah mendengar adanya penggunaan peluru karet atau gas air mata kecuali sangat sedikit.

Setiap hari terjadi demo, mogok missal; dan jawaban yang diberikan oleh rezim Bashar tidak berubah. Peluru panas dan senjata berat menghadapi demonstrasi damai rakyat. Pekan demi pekan, jumlah korban nyawa terus bertambah. Setiap pekan korban berjatuhan, 83 syahid, 63 syahid, 78 syahid, 55 syahid, bahkan Jumat (22/4/2011) 225 syahid, dan Jumat (29/4/2011) 336 syahid.
XI
Memasuki pekan keenam, rezim Bashar mengeluarkan kartunya yang terakhir. Tentara mulai menyerang distrik-distrik tertentu. Dimulai dengan pemutusan listrik dan air serta pasokan makanan. Namun demikian, rakyat tidak pernah menyerah. Setelah lewat beberapa waktu, tentara baru memasuki kota dengan menembak dan memburu warga satu persatu. Tidak puas dengan itu, bom mortir menyusul setelahnya. Namun itu semua tidak menyurutkan rakyat. Hingga saat ini dunia menyaksikan keteguhan dan ketabahan rakyat Suriah dengan revolusi mereka.

Rezim penguasa menghadapi perlawanan rakyat dengan militer. Pemukiman penduduk dihujani bom-bom dan rudal. Banyak korban yang jatuh akibat reruntuhan gedung. Mereka termasuk belasan ribu nyawa yang melayang sejak awal revolusi. Makanya, sebagian pengungsi tidak punya apapun selain baju yang melekat di badan.

Tentara memperlakukan pemukiman penduduk seperti tentara pendudukan, bahkan lebih kejam dari itu. Mereka menjarah rumah-rumah penduduk dan menyembelih manusia seperti menyembelih binatang. Ribuan wanita, bahkan anak-anak di bawah umur mereka permalukan. Adapun penangkapan dan penyiksaan, terlalu panjang dan mengerikan untuk diceritakan.
XII
Ketika rezim memutuskan untuk membendung revolusi dengan peluru, sesungguhnya rezim telah melakukan dua kesalahan besar. Pertama, yang eksesnya segera yaitu jatuhkan korban dari rakyat sipil yang menjadi bahan akar bagi tumbuhnya perlawanan baru. Setiap korban akan melahirkan kemarahan yang lebih banyak. Sehingga semakin banyak korban yang jatuh, semakin banyak rakyat yang bergabung ke barisan revolusi.

Kedua, ekses yang sejak hari pertama hingga kini terus menimpa kubu rezim pemerintahan Suriah. Yaitu dilema dan frustrasi yang menjebak aparat tentara dan keamanan. Ketika mereka mendapat instruksi dari atasan untuk menembak dan membunuh warga yang tidak bersenjata sama sekali. Setiap personil tentara hanya punya dua pilihan. Dia memilih untuk taat pada perintah itu, dan itu berarti dia membunuh hati nurani dan kemanusiaan dalam dirinya sendiri. Atau dia menolak untuk melaksanakan perintah itu, dan dia terancam untuk dibunuh atas perintah atasannya.

Dilema dan frustrasi ini semakin hari semakin menjalar dalam tubuh tentara rezim. Kondisi psikologis yang sangat mempengaruhi kekuatan mereka. Tidak heran bila hampir setiap waktu kita mendengar informasi adanya tentara yang desersi. Mereka adalah tentara yang memilih suara hatinya dan menyadari dirinya sebagai bagian dari rakyat.

Salah satu yel yang sering diteriakkan oleh demonstran selama ialah “Rakyat dan tentara adalah tangan yang satu”. Puluhan ribu tentara desersi dan bergabung dengan revolusi saat ini menyebar di seluruh Suriah dan merupakan salah satu kekuatan yang terus berkembang dalam tubuh revolusi.
XIII
Pembaca pernah mendengar tentang kemanan pemerintah yang menertibkan gelombang protes rakyat dengan semprotan air, gas air mata, dan peluru karet. Tapi pembaca mungkin belum pernah mendengar pemerintah yang menghadang demonstrasi rakyat dengan senapan mesin, sniper yang menjadikan anak-anak dan wanita sebagai target.

Pembaca budiman mungkin tidak pernah mendengar ada penguasa yang mencegah kendaraan ambulance untuk masuk ke daerah jatuhnya korban untuk membantu, atau militer yang menyerbu rumah sakit-rumah sakit dan menawan para perawat dan dokter serta menjadikan mobil ambulance itu sebagai mobil tawanan, atau membunuh pasien serta membiarkan mereka terdampar di jalan sampai menemui ajalnya.

Saudara mungkin tidak pernah membaca ada pasukan pemerintah yang sengaja menyimpan pasien luka di kulkas jenazah hingga dia wafat. Atau penyiksaan terhadap anak-anak dengan mematahkan lehernya dan organ tubuhnya yang lain, atau tawanan yang dikupas kulitnya serta dicabut matanya.

Anda bisa jadi belum pernah membaca pemerintah yang menjawab tuntutan rakyat dengan menginstruksikan kepada aparatnya untuk menyerbu pemukiman penduduk  kemudian menyiksa dan membunuh mereka satu persatu. Atau menghadapi domonstrasi rakyat dengan tank dan persenjataan berat.

Semua yang kami kemukakan itu adalah realitas rezim Suriah saat ini. Itulah tindakan yang telah dilakukannya terhadap rakyat dan perlawanan bangsa Suriah. Dan itu masih terus berlangsung hingga saat tulisan ini dibuat.
XIV
Ketika revolusi mulai pecah, hampir semua yang rakyat Suriah duga bahwa rezim akan lakukan telah menjadi kenyataan. Pasukan keamanan dan perangkat intelijen paling kejam, ratusan ribu loyalis partai Ba’ats, pemuda partai dan Shabiha (gang bayaran piaraan rezim), tentara dengan segala perlengkapan perangnya; semua itu telah dikerahkan rezim untuk menghentikan perlawanan rakyat. Rakyat Suriah telah mempersiapkan diri. Mereka siap menghadapi sebuah rezim yang mereka kenal dengan baik. Rezim yang selama hampir setengah abad menindas rakyat.

Akan tetapi rakyat Suriah tidak pernah menyangka bahwaHizbullata (bukan: Hizbullah) Libanon akan turut campur tangan dengan membela rezim dan mengirim milisinya untuk memerangi rakyat Suriah. Rakyat Suriah tidak mengira bahwa milisi Syiah Iraq akan mengirim pasukannya demi mempertahankan rezim sektarian Bashar, dengan membantai rakyat Suriah. Revolusi rakyat tidak pernah menduga bahwa Iran akan secara terbuka membela mati-matian rezim diktator Bashar dengan mengirim suplai bantuan logistik, persenjataan, dan garda nasional untuk memerangi rakyat Suriah. Namun itu semua adalah nyata.

Revolusi tidak pernah mengira bahwa Rusia akan berdiri si samping rezim Suriah dengan bantuan senjata dan teknologi, dan dukungan politik di percaturan politik dunia. Tapi itulah kenyataanya.

Rakyat Suriah hanya bisa mengandalkan diri mereka sendiri setelah Allah. Mereka mengira bahwa dunia akan berpihak kepada mereka dan mencegah rezim melakukan genosida terhadap rakyatnya sendiri, karena revolusi damai yang mereka lakukan, tapi ternyata rakyat Suriah keliru. Rakyat Suriah mengira bahwa Turki dan negara-negara tetangga yang lain tidak akan menonton begitu saja dan akan mencegah rezim Bashar untuk semakin tenggelam dalam pembantaian rakyat. Tetapi perkiraan itu salah. Revolusi menyangka bahwa Amerika dan negara-negara Barat pada akhirnya akan memberi bantuan, dalam bentuk apa pun itu. Namun persangkaan itu meleset.

Rakyat Suriah menduga bahwa bangsa Arab dan kaum Muslim akan mengguncang dunia dengan revolusi dan banjir demonstrasi menentang tindakan rezim, bila dia mengulangi tindakannya yang tidak manusiawi. Namun, itu semua tinggal dugaan kosong.
XV
Belasan ribu korban nyawa telah berjatuhan, puluhan ribu yang hilang, di atas itu adalah orang-orang yang ditawan rezim, lebih seratus ribu orang yang mengungsi ke negara-negara tetangga, dan jumlah yang lebih besar lagi terlantar di dalam Suriah sendiri. (Laporan Syrian Network for Human Rights [27/6/2012] menyebut korban tewas 14.863 rakyat sipil termasuk wanita dan anak-anak dan 1.277 militer).

Namun, pejuang Suriah bertekad bahwa mereka akan terus melanjutkan revolusi dengan izin dan pertolongan Allah, dan tidak akan berhenti hingga rezim Bashar jatuh.

Demikianlah kisah revolusi rakyat Suriah. Setiap kisah harus ada akhirnya, dan rakyat kami telah bertekad bahwa akhir revolusi harus mereka tuliskan sendiri sebagaimana mereka telah menuliskan awalnya.

Suatu hari nanti, anak cucu Saudara akan membaca sejarah bahwa bangsa Suriah pernah melakukan revolusi melawan “tukang pukul” yang aniaya dan arogan, serta mengira dirinya akan bertahan selama-lamanya. Mereka akan membaca bahwa thagut tersebut telah melepas anjing-anjing dan piaraannya untuk meneror dan menyiksa rakyat. Namun para pahlawan telah menyiapkan diri mereka untuk kemungkinan yang paling terburuk. Maka mereka tidak goyah dan tidak surut.

Pahlawan-pahlawan itu justru berkata kepada thagut, “Bapakmu telah mencuri negeri kami dan memperbudak bapak-bapak kami. Mereka hidup terhina dan mereka diam. Kemudian kami lahir sebagai budak dan juga hidup terhina. Beberapa waktu kami telah diam. Hingga ketika anak-anak kami mulai bergerak dalam rahim istri-istri kami dan mereka hampir saja lahir ke dunia, kami memutuskan bahwa perbudakan ini tidak boleh diwariskan dari kakek ke anak hingga ke cucu. Maka kami bersumpah, bahwa anak-anak kami tidak akan lahir ke dunia kecuali kami, rakyat Suriah, telah merebut kemerdekaan.”

Kemudian anak cucu Saudara akan membaca akhir dari kisah revolusi. Para pahlawan itu telah memenuhi janji mereka, anak mereka tidak lahir kecuali mereka telah merdeka.*/Diadaptasi dari Mujahid Ma’mun Diraniyah, Suriyah: Qisshah al Tsawrah, laporan disampaikan pada konferensi al Hamlah al Islamiyah li Nushrah Suriyah, Turki.