Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, April 7, 2016

Enkripsi Baru WhatsApp

Setelah beberapa bulan lalu menggratiskan selamanya bagi pengguna media sosial ini. Kini, WhatsApp menggunakan enkripsi baru untuk memberikan kenyamanan. Fungsinya menjaga privasi penggunanya.

Dalam situs resminya WhatsApp mengungkapkan: " Privasi dan keamanan ada dalam DNA kami, oleh sebab itu kami memiliki enkripsi end-to-end pada versi-versi terbaru aplikasi kami. Ketika terenkripsi secara end-to-end, pesan-pesan, foto, video, pesan suara, dokumen, dan panggilan Anda diamankan dari kemungkinan jatuh ke tangan yang salah.
Enkripsi end-to-end tersedia ketika Anda dan orang-orang yang Anda kirimi pesan berada pada versi-versi terbaru WhatsApp.
Enkripsi end-to-end WhatsApp memastikan bahwa hanya Anda dan orang yang berkomunikasi dengan Anda sajalah yang dapat membaca apa yang telah dikirimkan, dan tidak ada orang lain di antara Anda, bahkan WhatsApp. Pesan-pesan Anda diamankan dengan sebuah kunci, dan hanya penerima dan Anda sajalah yang memiliki kunci spesial yang diperlukan untuk membuka dan membaca pesan Anda. Untuk keamanan tambahan, setiap pesan yang Anda kirimkan memiliki kunci yang unik. Semua ini terjadi secara otomatis: tidak perlu mengaktifkan pengaturan tertentu atau menyiapkan sebuah chat spesial yang bersifat rahasia untuk mengamankan pesan-pesan Anda."  baca selengkapnya FAQ WhatsApp.



Dalam security WhatsApp juga menjelaskan :
"Enkripsi end-to-end WhatsApp tersedia ketika Anda dan orang-orang yang Anda kirimi pesan menggunakan versi-versi terbaru aplikasi kami. Banyak aplikasi perpesanan lain hanya mengenkripsikan pesan-pesan antara Anda dan mereka, tetapi enkripsi end-to-end WhatsApp memastikan bahwa hanya Anda dan orang yang berkomunikasi dengan Anda sajalah yang dapat membaca apa yang telah dikirimkan, dan tidak ada orang lain di antara Anda, bahkan WhatsApp. Hal ini karena pesan-pesan Anda diamankan dengan sebuah kunci, dan hanya penerima dan Anda sajalah yang memiliki kunci spesial yang diperlukan untuk membuka dan membaca pesan-pesan Anda. Untuk keamanan tambahan, setiap pesan yang Anda kirimkan memiliki kunci yang unik. Semua hal ini terjadi secara otomatis: tidak perlu mengaktifkan pengaturan tertentu atau menyiapkan sebuah chat spesial yang bersifat rahasia untuk mengamankan pesan-pesan Anda.
Berbicara dengan Bebas
Panggilan WhatsApp memampukan Anda untuk berbicara dengan teman-teman dan keluarga Anda, bahkan jika mereka berada di negara lain. Sama halnya dengan pesan-pesan Anda, panggilan WhatsApp Anda juga terenkripsi secara end-to-end sehingga WhatsApp dan pihak ketiga tidak dapat mendengarkannya.
Pesan-pesan yang Tetap Beserta Anda
Pesan-pesan Anda harus berada di tangan Anda. Oleh karena inilah WhatsApp tidak menyimpan pesan-pesan Anda di server kami sesudah kami mengirimkannya, dan enkripsi end-to-end berarti WhatsApp dan pihak ketiga tidak dapat membacanya pula.
Pastikan Sendiri
WhatsApp memampukan Anda untuk memeriksa apakah panggilan yang Anda lakukan dan pesan-pesan yang Anda kirimkan terenkripsi secara end-to-end. Cukup temukan indikator ini di halaman info kontak atau info grup.
Dapatkan Rinciannya
Silakan baca sebuah ulasan teknis yang mendalam tentang enkripsi end-to-end WhatsApp, yang dikembangkan dalam sebuah kolaborasi dengan Open Whisper Systems." seperti dilansir di situs Keamanan WhatsApp

Kita bisa melihat keamanan tersebut melalui percakapan di grup ataupun antar personal




Wednesday, April 6, 2016

Slilit sang Kiai

Oleh : Emha Ainun Najib ( Cak Nun ) 10 September 1983


Tidak jelas apa bahasa Indonesianya, tapi biasa disebut slilit. Kalau habis ditraktir makan sate, biasanya ada serabut kecil sisa daging nyelip di antara gigi -----itulah slilit.
Slilit sama sekali tak penting. Tak pernah jadi urusan nasional. Tak terkait dengan kampanye pembangunan. Koran tak pernah meng-cover-nya. Para ilmuwan atau penyair tak pernah mengingatnya. Bahkan, satu-satunya produksi ekonomi yang punya urusan dengannya disebut "tusuk gigi"-----bukan "tusuk slilit". Padahal, slilit-lah yang ditusuk.


Namun, begitulah, slilit pernah memusingkan seorang kiai di alam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan suksesnya masuk surga. Ceritanya, dia mendadak dipanggil Tuhan, sebelum santrinya siap untuk itu. Murid-murid setia itu, sesudah menguburkan sang kiai, lantas nglembur mengaji berhari-hari---agar diperkenankan bertemu ruh beliau barang satu dua jenak. Dan Allah Yang Maha Memungkinkan Segala Kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebesaran-Nya dalam mimpi para santri itu. Ruh kiai menemui mereka.

Terjadilah wawancara singkat, perihal nasib sang Kiai di "sana". "Baik-baik,Nak. Dosa-dosaku umumnya diampuni. Amalku diterima. Cuma ada satu hal yang membuatku masygul. Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah Pak Kusen? Sehabis makan bareng, hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat aku mengurus slilit di gigiku. Ketika pulang, di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak bawa tusuk slilit, maka aku mengambil potongan kayu kecil dari pagar orang. Kini, alangkah sedihnya: aku tak sempat meminta maaf kepada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku?"

Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan, alangkah lebih malangnya nasib sang Kiai bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih-lebih lagi kalau menyamai Hotel Asoka atau Candi Borobudur, setidaknya satelit Pallapa.


Ada satu intensitas ruhani tertentu dari hidup manusia. Yakni, tempat Tuhan itu mutlak. Tempat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati. Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup.

Meski demikian, hak itu sebenarnya naluriah saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun, orang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan itu merusak sistem ekologis. Seorang Indian Wintu di California berkata pilu :
"Orang-orang kulit putih ini tak pernah mencintai tanah, rusa, atau beruang. Jika kami makan daging, kami tak menyisakannya. Jika kami memerlukan akar, kami bikin lubang bukan mencerabutnya. Kami tak menumbangkan pohon. Kami hanya memakai kayu yang sudah mati. Tapi, orang kulit putih membajak tanah, merobohkan pohon, membunuh segala yang dikendaki. Pohon-pohon menangis, 'Jangan! Aku luka dan sakit !'----tapi mereka mencerabutnya, memotong-motongnya. Ruh tanah benci mereka! Mereka meledakkan batu-batu, gunung-gunung kecil, menghamparkannya di tanah sehingga tidak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh, 'Jangan! Aku pecah dan sakit!'----tapi mereka tak ambil peduli. Bagaimana ruh batu menyanyangi mereka, rusaklah segala sesuatu itu ...!"

Naluri jernih suku Wintu bagau menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangsa kulit merah. Manusia dengan kecerdasan berhasil menaklukkan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya, menyulap menjadi surga impian, memakannya, menghabiskannya, menguras, dan mengenyamnya, demi kelayakan-kelayakan yang irrasional dan mubazir, bagai direncanakan untuk menyegerakan berbagai kehancuran yang ditutup-tutupi.

Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba-penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba-berkaitan, semrawut dan membenang kusut, menjadi tidak penting, juga di negeri yang bangsanya nampak begitu religius. Kata "Tuhan" disebut ratusan kali setiap hari. Konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat.

Dan di bagian pinggiran itulah hidup Pak Kiai, yang sangat masygul akibat dosa slilit-nya.



Diambil dari kumpulan cerpen yang dibukukan dengan judul yang sama.

Tuesday, April 5, 2016

Tujuh Belas Ribu Kartu Nama

Oleh : Cak Nun , 8 Oktober 1983

Bersurat kepada seseorang yang "selama tujuh tahun, tiap hari, pukul 11 siang hingga 2 malam, bergaul di tengah ribuan hostes, massage girls atau apa pun namanya di tiga streambath terkenal". Sesudah membaca tulisan saya tentang "martabat wanita modern", ia tulis surat imbauan itu karena "banyak pertanyaan di benakku yang tak mendapat jawaban".
Ia membantah asumsi saya tentang motivasi ekonomis para pelacur. Karena "delapan dari sepuluh 'wanita ribuan' yang kuamati itu rata-rata sudah punya rumah, cukup mewah, bahkan sampai dua biji, biasanya yang satu dikontrakkan". Dikatakan jarang yang sekadar punya motor roda dua. Tabanas mereka aduhai. Penghasilan selama empat bulan rata-rata tujuh belas juta rupiah, bisa untuk membeli Honda Accord mutakhir. Bagaimana mungkin?
"Tiap hari mereka meladeni lima sampai tujuh pamong negeri kelas menegah. Ada hostes top kerja lima tahun punya 17.000 kartu nama. Saingannya kerja enam tahun dapat 15.000 kartu nama. Bonus ekstra mereka selalu fantastis." Oke. Tapi apa sesungguhnya "kartu As" mereka ini, hingga memperoleh duit begitu banyak?
"Ialah bermain tidak hanya di tempatnya!" Baiklah sebut nama Allah, tapi yang dimaksud tentu anu, anu, dan anu (maaf, ini sudah disensor---red.). Jumlah angka tentu gampang diterobos, karena negoisasi dilakukan pada kondisi psikologi yang revolusioner dan penuh nafsu dan kesusu.
Tentu "dampak kultural"-nya macam-macam. "Di rumah, mereka tak puas melayani suami sehabis di 'kantor' makan 6-7 manusia. Soal buang air seni terasa panas dan perih, itu biasa. Tapi batuk tak mau sembuh, buang air besar seperti menyiksa padahal bukan menderita wazir, bernapas terasa sesak padahal tak sakit asma ......" Hmmm.
Dikemukakan, semula tak banyak yang melakukan pariwisata liar seperti itu. Sering juga bermula "normal" saja, tapi akhirnya---yah, Adam tak cukup makan sebiji khuldi. Dampak lain? "6/10 tiap enam bulan menggugurkan kandungan."
Ada beberapa pengemukaan data yang saya sensor demi stabilitas. Tapi yang penting sahabat kita ini menyuruh saya mengira-ngirakan, berapa banyak uang yang dikorup untuk kegiatan yang "telah, sedang, dan akan terus berlangsung" ini.
Bayangkan, katanya. (Jelas, kalau sekadar membayangkan saja saya jago). "Peraturan perizinan hitam atas putih itu nol besar. Saya berani sumpah, saya bukan orang kejam yang mau memfitnah." Ia berkata bahwa sudah ada tempat begituan yang jadi abu karena kutukan Allah, tapi kini sudah berdiri megah pasar kelamin baru, tempat hiburan Martini kontemporer menjadi perangsang korupsi. "Wanita-wanita itu pada hakikatnya pemalas, pemeras, dan pemacu penyelewengan."
Ia menghimbau : "Apakah Bapak-bapak tidak menyadari timbulnya keresahan sosial bila hal itu terus berlanjut? Telah kusaksikan ratusan keluarga berantakan karenanya----keluarga para hostes maupun konsumen." Ia tidak rela "kemajuan bangsa Indonesia terhambat dan terkotori oleh beberapa bagian dari masyarakat yang berlepotan kemaksiatan dan bejat moral."
Demikianlah, seperti orang kehujanan tanpa bisa berteduh, dengan murung saya membaca akhir suratnya yang menghimbau saudara-saudaraku, agar bersedia menghimbau. Marilah kita ini kemerdekaan ini dengan imbau-menghimbau. Sebab mungkin hanya itu kemampuan pamungkas kita.

Diambil dari buku "Slilit Sang Kiai".

Baca lainnya disini