Hari ini, saya yang kebetulan tinggal dirumah pamanku di salah satu desa di Semarang, mulai repot. Beberapa hari lalu, istri beliau meninggal dunia, karena sakit yang dideritanya. Sedih memang ketika kepergian itu, namun ada sebuah keyakinan bahwa Allah menyayangi bibi, yang berpulang di malam 28 ramadlan. Kami menyiapkan keperluan untuk tahlilan. Tetapi berhubung bertepatan dengan syawal dan segala pernak-pernik idul fitri, kami lakukan tahlil di malam kedua dan malam ketujuh.
Jika kita tinggal di Indonesia, pasti mengenal tradisi tahlilan. Tradisi yang mulai dikenalkan para wali ini, menjadi hal lumrah bagi kita semua yang menjalankan. Tahlil bisa diartikan sebagai pengiriman doa bagi seseorang kepada yang telah tiada.
7, 40, 100, dan 1000 hari, dipilih sebagai waktu yang tepat untuk mengirim doa kepergian almarhum/almarhumah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk amalan bagi almarhum/almarhumah melalui keluarga.
Oleh sebab itu, bagi yang mendoakan , yang hadir maupun tidak (nanti saya sebut tamu), dijamu sebagaimana layaknya tamu yang berkunjung. Di beberapa kota ataupun kabupaten (di Pulau jawa), ada banyak cara menghormati tamu. Salah satunya dengan memberikan berkat berupa nasi + lauk pauk, yang diwadahi wakul atau besek.
Di Semarang dan sekitarnya, sebagaimana kami tinggal, juga melakukan hal itu. Beberapa tahun telah berlalu, nasi berkat itu, diganti dengan roti, atau bahan mentah seperti 500gr-1kg beras, 2 mie instan, ¼kg gula dan 2 butir telur. Bahan mentah itu dianggap efektif, mengingat nasi berkat mudah basi, jika tidak langsung dimakan.
0 komentar:
Post a Comment
kirim di sini