Jaringan komunikasi grup WhatsApp selalu menyenangkan. Hadir memberikan informasi. Salah satu grup yang menurutku sedikit berbeda dengan grup lain adalah Forum Komunikasi Gambang Syafaat. Gambang syafaat adalah Simpul maiyahan Nusantara area Semarang dan sekitarnya.
Maiyah Nusantara ialah pengajian dan ruang diskusi publik di bawah naungan Cak Nun yang tersebar di beberapa daerah.
Mengapa berbeda? Karena perlahan-lahan saya mulai belajar intelektualitas dasar Islam yang dikaji jaringan ini. Agak konyol sebetulnya jika dibandingkan dengan pengajian lain. Pengajian lain, mungkin, dituntut untuk menerima apapun dari apa yang dibicarakan. Namun dalam maiyahan justru siapapun yang datang, setidaknya, memikirkan apa yang dibicarakan. Kadang malah makin mumet memikirkannya setelah pengajian.
Pengajian pun kadang diselingi guyonan jawa yang turut menyegarkan jamaah sehingga durasi 4 jam tidak terasa menjenuhkan.
Saya akan bercerita sedikit mengenai grup WhatsApp tadi. Sejak saya dimasukkan grup itu 4 April 2016. Saya mulai berinteraksi dengan tim Gambang Syafaat. Mulai bertanya proses sebelum maiyahan, yang diselenggarakan setiap bulan pada tanggal 25 Masehi, hingga acara tersebut dimulai.
Kebetulan malam lalu (25 april), salah satu admin grup, Ali Fatkhan, mengajak penghuni grup untuk bercengkerama. Kami pun dikumpulkan di sekretariat Ikatan pemuda Masjid Baiturrahman (IKAMABA) setelah maghrib. Beberapa orang dalam grup hadir.
Saya yang kebetulan datang lebih awal menyempatkan bertanya-tanya. Ibarat anak baru dalam sebuah organisasi. Maksud tujuan hingga nanti apa yang perlu dibantu.
Ali Fatkhan, yang kebetulan ditugasi sebagai pemantik tema, bercerita gabungnya dia di Gambang Syafaat. "Saya baru sebelas bulan ini bergabung intens di Gambang Syafaat. Karena makin tertarik saya pun ikut kecemplung dengan kegiatan-kegiatan ini" ungkap Ali Fatkhan. Menurut penuturannya, dia terjebak sebagai pemantik tema karena pos itu yang belum terisi. Penggiat Gambang Syafaat, harus mau mengorbankan diri (menabung kerelaan, maksudnya) untuk menjaga agar kegiatan maiyahan berjalan setiap bulannya.
Kemudian dia pun menyampaikan maksud dikumpulkan teman-teman di grup. "Setiap anggota penggiat Gambang Syafaat, sudah dapat plot masing-masing. Tetapi ada satu yang kurang di Gambang Syafaat ini. Kami harap ada teman-teman yang nanti di grup bisa ikut andil. Terus terang, kami kekurangan bagian reportase." terangnya.
Selang beberapa menit. Azis dan Sentosa datang disusul kemudian Yusuf, Alumni UIN walisongo, turut hadir juga. Setiap orang diminta untuk cerita latar belakang dan ketertarikan ke Gambang Syafaat.
Azis pun bercerita. "Saya sering kali ke Mocopat Syafaat (Kasihan, Bantul) setiap tanggal 17. Dan setiap tanggal 25, dan sebisa mungkin meluangkan waktu di Gambang Syafaat".
Obrolan ini berlanjut hingga adzan isya berkumandang.
Kami diberi informasi menarik dari Ali Fatkhan.
"Maiyahan, ibarat warung yg menyediakan nasi pecel prasmanan, setiap jamaah meramu sendiri dg takaran masing2. Sedangkan pengajian lain ibaratnya menyediakan Siomay dan Bakso, yang sudah siap saji paket menunya. Di Maiyahan kita boleh makan, dengan porsi berbeda-beda. Mau makan sampai kepedasan atau tak habis juga silakan " lanjut Ali Fatkhan.
Karena di IKAMABA tidak ada pengisi dahaga. Kami diajak ke warung padang, belakang IKAMABA, yang berjarak tak kurang 10 meter.
Obrolan dilanjutkan di warung Padang ini.
Teman Azis dan Sentosa juga hadir, aku lupa namanya, di warung ini. Ali fatkhan pamit izin ke toilet. Kami ceritakan pengalaman kami di setiap maiyahan yang kami hadiri.
Selang lima menit kemudian, Ali Fatkhan, kembali. Kami ngobrol ngalor ngidul, apa saja. Sedang asyik mengobrol, Ali Fatkhan menerima telepon. Seseorang di seberang telepon, yang akhirnya kami ketahui, tak lain Drs Ilyas, dosen hukum Unnes. Sarung batik dan baju putih, dengan badan agak subur ini, menemui kami. Kemudian berjabat tangan. Satu per satu dari kami ditanyai mengenai latar belakang.
Saya pun tak luput dari pertanyaan sederhananya : Sibuk apa mas, kuliah, kerja?. Karena pak Illyas duduk dekatku. Dia menanyaiku pertama.
Saya pun menjawabnya : Kuliah di (....) (menyebut salah satu universitas swasta di Semarang), jurusan teknik, pak.
"Siapa nama rektormu?" lanjutnya.
Saya mengingat nama rektorku. Terus terang, aku tak ingat namanya. Karena kelemahanku mengingat nama seseorang yang tak kukenal baik. Dan kebetulan rektor lama ganti rektor baru, rektor lamaku, Noor Ahmad baru saja dilantik jadi DPR RI, sehingga rektor baru saya tak ingat.
Saya alibi pada pak Ilyas. Kemudian pak Ilyas, berkomentar : "wong rektornya sendiri saja tidak tahu. Itu ironi bagi mahasiswa". Komentarnya bernada guyon. Namun pukulan bagiku.
Pak Ilyas menjelaskan berbagai polemik mahasiswa saat ini. Mahasiswa kehilangan jati diri sebagai Maha-Siswa. Sengaja aku tulis seperti ini, sebagai tanda kebesaran siswa, yang dianggap agent of change . Namun nama rektor tak dikenal.
Obrolan gayeng pun harus kami akhiri mengingat maiyahan 25 April 2016 segera dimulai, dan jam dinding menunjukkan pukul 20.10. Dan bertajuk Tadabbur Selfie
0 komentar:
Post a Comment
kirim di sini