Saat itu usiaku masih empat belas tahun. Rayhan menyapaku di koridor sekolah saat itu dan akhirnya kami memiliki percakapan kecil. Percakapan kecil, yang kutahu saat ini, maknanya lebih berat daripada yang bisa kami sadari sebagai murid kelas 2 SMP ketika itu.
“Ima, nanti kamu mau qurban sapi atau kambing? Kan padimu di rumah banyak,” Rayhan berkata dengan nada meledek, dia masih usil dan suka menganggu sejak SD. “Mbahmu juga banyak tuh sawahnya.”
Apa hubungannya jenis hewan qurban dengan luas sawah Mbah Putri? Jelas-jelas itu adalah barang yang berbeda. Aku mendengus.“Nggak tahu, Ray.”
“Kok nggak tahu? Kan acaranya sebentar lagi,” tuntutnya. Senyum menyebalkan tersungging di bibir Rayhan.
“Eh, bapakmu kalau shalat menghadap ke mana? Kiblat, apa yang lain?”
Aku gelagapan, tidak siap dengan pertanyaannya itu. “Ya kiblat, dong!” aku menjawab refleks. Jawaban yang kutahu adalah jawaban yang benar bagi mereka yang mendengarkan percakapan kami di koridor. Jawaban itu yang diajarkan Bu Narti–guru agama kami–di sekolah. Jadi jawaban itu benar, karena guru di sekolah yang mengajari. Titik.
“Ah, masaaaaa?” godanya lagi. Benar-benar dengan nada yang menyebalkan dan penuh ketidakpercayaan. “Beneran menghadap ke kiblat?”
Dia tahu sesuatu! batinku gelisah. Aku memilih pergi cepat-cepat dari koridor sekolah yang makin ramai. Tak mau orang lain mendengar percakapan ini. Banyak pertanyaan langsung muncul di kepalaku. Mengapa anak seusianya sudah mengetahui sampai sejauh itu? Apa memang masalah perbedaan keyakinan keluarga kami adalah bahan buah bibir yang lumrah untuk para orang tua di depan anaknya? Aku menghela napas. Aku berumur empat belas tahun dan aku sudah tahu kalau keyakinan keluarga kami berbeda dengan orang lain. Jadi mengapa Rayhan yang seusiaku juga tidak boleh tahu?
Ya, itu karena “tahu” belum tentu “memahami”. Tapi apakah dia harus berbicara selantang itu di koridor sekolah yang padat murid-murid? Aku malu!
“Biarkan saja Rayhan itu, Ima. Yang penting kan niatnya,” jawab Bapak ketika sore itu aku bertanya kenapa tidak mengirimkan satu ekor kambing saja untuk qurban, agar Rayhan dan orang-orang di belakang kami yang bergunjing segera diam. “Kita masih bisa membantu sesama dengan cara lain. Hal baik kan nggak cuma satu jalan saja. Kalau Bapak qurban supaya kamu nggak diledek Rayhan, tentu saja hal itu menjadi sesuatu yang keliru.”
Aku sesenggukan.
Meskipun tergolong warga yang mampu, Bapak tidak mengirimkan seekor kambing untuk disembelih di bulan Dzulhijjah. Sebagai gantinya, setiap waktu-waktu tertentu di penanggalan Jawa, terutama bulan Suro, Bapak akan membuat tumpeng dan panggang[1] untuk dibawa ke punden–makam leluhur desa kami–pada acara bersih desa. Kadang-kadang kalau pertanian kami lancar rezekinya, Bapak akan menggelar wayang kulit. Saat itulah aku akan bertemu para pria berpakaian hitam, berbelangkon, dan berkumis lebat yang merupakan teman-teman baik Bapak. Mereka menyebut diri mereka “tunggal sak perguruan”[2].
Walaupun keyakinan kami berbeda, Bapak menaburkan kegembiraan yang sama bagi penduduk Desa Sidoredjo–desaku. Aku menemukan binar antusias yang sama di mata para penonton wayang kulit, sama seperti ketika melihat mereka memperhatikan deretan hewan qurban di masjid. Memang di bulan Suro tidak ada acara membagi daging sapi atau kambing, namun kulihat wajah mereka ketika mendapat jajanan pasar dari punden saat ngalap berkah[3] sama bahagianya ketika mendapat potongan daging mentah dari Pak Ustadz.
Mbah Putri sendiri selalu menyediakan apem, setundun pisang raja, kopi, rokok, dan bunga-bungaan setiap malam Jum’at Legi, di salah satu pojok rumahnya. Katanya untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal. Dan Bapak akan berdiam diri malam hari saat jam ganjil, jam sembilan atau jam sebelas malam, seperti bersemadi. Katanya, Bapak sedang menghadap Yang Maha Kuasa.
Dan Bapak menghadap ke timur, bukan ke kiblat.
Rayhan pasti sudah lama menyadari hal itu. Hal yang membuat kolom agama di KTP keluarga kami kosong.
***
KTP keluarga kami kosong bukan karena kami ateis, kami memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti yang telah kusebutkan sebelumnya. Sesuai dengan pasal 64 ayat 4 UU nomor 24 tahun 2013, pengosongan kolom agama pada KTP diperuntukkan untuk para penganut aliran kepercayaan. Bukan untuk ateis. We believe in God, but what we believe is not called religion.
Sebenarnya ada opsi selain pengosongan kolom pada KTP itu, yaitu dengan menuliskan “aliran kepercayaan”. Namun kami, para penganut kepercayaan, menolaknya. Apalah arti sebuah nama? Kami tak butuh frasa pada kartu identitas untuk mendefinisikan hubungan kami pada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada yang dapat mendefinisikan hal itu. Tak perlu ada labelisasi. Label hanya berlaku di dunia yang fana, sedangkan yang kami percayai bertahan dalam kefanaan. Kolom yang kosong tak berarti tidak menyembah Tuhan, bukan? Seperti halnya kolom yang berisi tak berarti menyembah Tuhan. Banyak kutemui orang-orang yang terisi kolom agama di KTP-nya tak pernah beribadah, atau paling tidak jarang beribadah dan masih melakukan hal-hal buruk yang dilarang agamanya. Ya, beragama belum tentu bertuhan. Begitu juga sebaliknya. Setidaknya, itu yang aku percayai sampai detik ini.
Terimalah bahwa cara kita berbeda.
***
Desaku ini bernama Sidoredjo dan terletak di Lereng Gunung Kelud, Kediri, Jawa Timur. Tempat banyak kepercayaan animisme dan dinamisme masih hidup di benak banyak penduduknya. Dan kami semua hidup rukun dan damai.
Di Sidoredjo, saat jarum jam menunjuk pukul empat pagi, dapur-dapur berlantai tanah dan beratap genting tanpa plafon sudah mengepul. Penghuni desa kecil ini sudah berangkat ke sawah atau ke pasar sebelum subuh. Tapi hari itu kedamaian pagi di Sidoredjo terusik dengan bunyi besi beradu besi yang memekakkan telinga. Kecelakaan karambol terjadi tepat di depan rumahku. Aku–yang masih bersiap untuk ke sekolah–keluar rumah dengan tergopoh-gopoh bersama Ibu, ingin tahu. Beberapa orang telah bergerombol lebih dulu dari kami. Pecahan kaca terserak di atas aspal dan kulihat tiga motor bertumpuk jadi satu.
“Len goblok! Ngerem dadakan ora digawe utekke!”[4] maki pengendara yang selamat.
Tak jauh dari tempatku berdiri, tiga orang bapak-bapak menggotong tubuh gadis SMA yang pingsan, saat itulah aku yakin bahwa aku mengenali tubuh itu.
“Karina!” seruku. Aku bisa melihat pergelangan tangannya bengkok dengan cara yang janggal. Sepertinya anak itu patah tulang.
***
Aku tidak begitu dekat dengan Karina. Kami pun tak pernah bercakap-cakap lama sebelumnya. Kutahu dari tetangga, Karina menjadi yatim sejak ayahnya meninggal ketika usianya sepuluh tahun, kini ibunya yang berprofesi sebagai penjahit adalah tulang punggung bagi keluarga.
Aku pasti akan melihat ibunya mengantre potongan daging sapi mentah di masjid setiap Idul Qurban dan aku akan melihat tiga adiknya berebut jajan pasar saat ngalap berkah bersih desa. Ketika Natal tiba, Maria dan Yakob sering meminta bantuanku membungkus hadiah dan aku akan menemukan nama keluarga Karina di antara daftar keluarga yang perlu diberi santunan Natal, entah itu berupa baju, telur, atau kue. Karina adalah bagian dari warga desa kami yang disantuni. Jadi aku cukup mengerti keengganannya ke rumah sakit, walaupun dibiayai Pak Rustandi–si sopir angkutan umum serampangan penyebab kecelakaan karambol pagi tadi. Keluarga Pak Rustandi sendiri selalu disantuni setiap tahun dari masjid Pak Imam. Orang susah bertemu orang susah.
Jadi di sinilah kami sekarang, di kediaman Pak Tedjo, salah satu teman paguyuban Bapak yang ahli pijat dan totok syaraf. Pak Tedjo mengobati Karina dengan telaten, dilumurinya tangan Karina dengan minyak kelapa, beberapa jenis bunga yang diremas, dan jeruk nipis.
“Nah, dibebat dulu satu minggu, nanti kamu ke sini lagi, ya,” kata Pak Tedjo ramah.
Aku mengucapkan terima kasih. Begitu juga ibu Karina. Namun ketika kami beranjak pergi, Karina menangis, membuat kami kebingungan.
“Kenapa, Rin?” tanyaku heran.
Karin menyeka air matanya. “Aku harus latihan dengan Bu Resti setiap hari sepulang sekolah. Lomba itu sebulan lagi dan sekarang… satu minggu lagi juga aku belum bisa memastikan apakah tanganku ini bisa kembali seperti sedia kala.”
Ah iya, aku ingat. Karina adalah salah seorang wakil dari sekolahku untuk mengikuti kejuaraan tari tingkat provinsi. Aku menatapnya prihatin. Karina pasti patah hati.
***
Aku adalah tipikal orang yang tidak bisa diam, apalagi kalau tahu aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang membutuhkan bantuanku. Kata Bapak, kita harus saling membantu, tanpa pandang bulu. Jadilah aku meminta bantuan Pak Tedjo, yang istrinya punya sanggar tari, untuk melatih Karina sampai bisa, sebagai ganti dia tidak bisa berlatih di sekolah. Dia harus bisa menarikan tari pendet, gambyong, dan tari bali untuk lomba antarprovinsi itu. Selagi tangannya mendapatkan perawatan dari Pak Tedjo secara gratis, Karina bisa berlatih tari-tarian untuk perlombaan itu.
Kecelakaan hari itu membuat kami dekat. Aku yang tak pernah mempunyai sahabat dekat, kini memiliki Karina. Ya, sejak dulu aku terbebani dengan perbedaanku. Sebenarnya tak ada yang perlu dirisaukan. Bapakku cukup banyak berkontribusi bagi lingkungan, beliau pun dikenal masyarakat luas, tidak ada catatan kriminal, atau apa pun. Jadi Bapak mendapatkan banyak pemakluman atas apa yang menjadi pilihan keyakinan keluarga kami. Tapi tetap saja pengertian seperti itu tidak diteruskan sampai ke generasiku. Aku seakan bisa mendeteksi kapan tatapan mata menelisik teman-teman tertuju padaku. Sekalipun Rayhan menyembunyikannya dengan candaan, atau Maria menyembunyikannya dengan senyuman. Aku tahu mereka tak bisa memberikan pemakluman yang sama.
Seperti yang sudah kuduga, Karina berhasil terpilih mewakili sekolah dengan mudah, dia pun menang telak di lomba antarprovinsi itu. Persahabatan kami serasa lengkap.
“Imaaaa!” Karina memelukku kegirangan setelah mendapat piala kejuaraan tari tradisional. Praktis kini Karina, sahabatku, adalah siswa SMA terbaik se-Jawa Timur dalam hal menari.
“Kariiiin!” Aku memeluknya, seakan kami telah lama tidak bertemu. Padahal baru kemarin lusa aku mengantarnya naik bis ke Surabaya, untuk ikut lomba tari itu. “Selamat, yah! Aku ikut seneng. Mana pialanya yang setinggi pinggang itu?”
Karin malah mengeluarkan sebuah gelang dari dompet kecilnya. “Ah, itu bisa menunggu. Ini, aku baru saja beli ini, kembaran buat kita. Gelang persahabatan.”
Aku menatap gelang persahabatan itu dengan takjub. Ini menjadi penanda persahabatanku dengannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memiliki sahabat.
“Terima kasih, ya Ma. Berkat kamu, aku masih bisa terus menari.”
Aku tersenyum gembira. Tulus dari hatiku. Kami beragam, kami tak sama, kami meyakini suatu hal yang sama dengan cara yang berbeda, tetapi sampai detik ini kami masih bisa hidup berdampingan dengan tenang dan saling membantu. Sungguh damai dan tenteram hidup di Sidoredjo. Aku ingin selamanya hidup di desa ini, bersama warganya yang memiliki toleransi tinggi. Aku melirik Karina di sampingku. Kami sama sekali tak sama, Karina dibesarkan tidak dengan keyakinan seperti aku. Tapi pertemanan kami berjalan sejauh ini.
Ya, awalnya aku memang mengira aku dan Karina bisa selamanya berteman. Awalnya.
Kejadiannya terjadi begitu cepat. Sekelompok orang baru memasuki Sidoredjo dengan mudah. Warga Sidoredjo tidak menaruh curiga sama sekali, justru kami akan menyambut kedatangan orang baru dengan ramah. Seperti mendapat saudara baru.
Dan dari situlah awal mula segalanya.
Suatu malam pintu rumahku digedor-gedor kasar. Bapak membukanya. Ada lima pria tinggi dan gempal berbicara dengan Bapak dengan nada yang menurutku tidak santun, dan sama sekali tidak ramah. Ibu segera menyuruhku menemani adik-adikku, Astari dan Bagas, di kamar belakang.
“Ada apa, Bu?” tanyaku takut.
“Tidak ada apa-apa, ayo sudah, temani adikmu.”
Aku sudah mencium kejanggalan itu beberapa minggu sebelumnya. Pasti mengenai paguyuban kami. Orang-orang baru itu dengan mudahnya membaur dengan masyarakat, tapi tidak dengan kami. Mereka bertanya banyak hal tentang paguyuban kami lewat orang-orang di sekitar kami yang sama sekali bukan pengikut paguyuban kami. Kemudian dengan cepat mereka menyimpulkan bahwa kami “aliran sesat”.
Dua kata itu ibarat bom waktu yang kini ditekan pemicunya. “Aliran sesat” menjadi label bagi paguyuban kami di setiap sudut Sidoredjo. Para warga yang mulanya tak peduli, atau mungkin selama ini berusaha tak peduli, kini bereaksi. Bahkan puluhan orang yang dinafkahi keluarganya oleh Bapak selama bertahun-tahun, dari bekerja sebagai buruh tani ataupun hasil paro sapi, mempertanyakan hal-hal yang menjadi keyakinan kami, mereka mulai mempertanyakan kami.
Orang-orang baru itu pun seperti menyiramkan bensin pada api. Reaksi warga Sidoredjo semakin menjadi-jadi. Kami mendadak seperti terasing di tanah kelahiran sendiri. Mengapa mereka mau percaya pada informasi yang disebarkan tidak dari sumbernya? Seperti mengunyah makanan yang sudah dikunyah orang lain terlebih dulu lalu menelannya. Menjijikkan.
“Ma, apa kamu tidak bisa mengusahakan agar orang tuamu kembali ke jalan yang benar?” Pertanyaan Karin sepulang sekolah beberapa waktu lalu menusukku seperti sembilu. Jalan yang benar? Tahu apa dia? Aku tak menjawabnya. “Ima, segeralah bertobat!”
Kalimat Karin terasa menghunjamku. Aku hanya mengangguk. Tak ada yang pernah benar-benar mengerti. Aku cepat-cepat berlalu dan kini aku kembali menyeleksi orang-orang yang ingin mengobrol denganku. Seperti dulu.
“Ibu,” aku keluar dari kamar Bagas. Kulihat ibu merapikan barang-barang dengan tergesa. Semua dimasukkan ke karung dan kain sekenanya. Aku terperanjat, “Kita mau ke mana?”
Raut gelisah terpancar dari wajah Ibu. Aku tahu kami tidak baik-baik saja. Pemuda-pemuda yang tadi menggedor pintu rumah kami kini terdengar berbicara kasar pada Ayah. “Karin, kita pergi sekarang.”
“Apa?” tanyaku kaget.
“Kita pergi sekarang!” Ibu menaikkan nada bicaranya. Seperti frustrasi menekan gundah yang tak kuasa dikekangnya. “Kemasi barangmu secepatnya, seadanya. Kita pergi sekarang!”
Aku terlalu bingung untuk membantah. Kubuka gudang tempat kami menyimpan koper-koper, lalu menata baju-baju dengan cepat. Aku bisa melihat langit menjadi merah, lalu dengan segera menyadari itu tercipta karena kobaran api. Sanggar paguyuban kami dibakar!
“Ibu! Mereka sedang apa!?” aku memekik, melihat sanggar paguyuban di depan rumah kami dilalap api. Kelamnya malam menyembunyikan orang-orang yang ternyata sudah mengelilingi sanggar paguyuban di samping rumahku. Kobaran api itu menyingkap gelap yang menyelimuti wajah mereka, membuat raut-raut itu mudah terlihat. Aku mengenalinya. Aku tak mungkin salah melihat siluet Maria, Yakob, Pak Rustandi, Bu Imam….
“Biarkan saja, Ima!” sergah Ibu, membuyarkan fokusku menatap orang-orang yang dulu begitu kukenal kini tak lagi berusaha menolong kami. Ibu sudah selesai mengemasi peralatan dapur di dalam karung. Bapak sudah memarkirkan mobil pikap di samping rumah. “Ayo kita pergi.”
Aku menahan tangis. Di mana perginya semua orang itu? Di mana perginya mereka yang menyumbang tumpeng saat acara bersih desa meskipun kita tidak satu keyakinan? Di mana perginya mereka yang kami bantu? Di mana perginya mereka yang semalam suntuk menonton wayang yang digelar Bapak? Di mana perginya mereka yang bekerja untuk Bapak? Di mana mereka yang hidup dari usaha pertanian Bapak?
Mereka tidak pergi ke mana-mana. Mereka ada di barisan itu. Mereka ada, berjajar rapi ketika kami meninggalkan rumah dengan pikap dan barang-barang kami yang seadanya, di depan kobaran api sanggar paguyuban kami yang membumbung tinggi, melihat kami seperti tontonan.
“Apa kita salah, Bu?” tanya Astari, adik bungsuku yang masih SD. “Kita salah apa, Bu?”
“Sesat! Sesat!” teriakan orang-orang baru itu terdengar mengiringi kepergian kami. Para warga yang sudah kukenali, hanya diam menonton. Hatiku mendidih di dalam. Ibu menutupi telinga Astari dengan protektif. Tak ingin kata-kata kasar itu menghantui pikiran adikku yang malang.
Ibuku tidak menjawab pertanyaan Astari. Pikiranku melintas cepat dengan hati membara. Salah? Kita? Bagaimana dengan Pak Rustandi yang baru saja ketahuan memiliki anak dari wanita lain? Bagaimana dengan Rayhan yang ayahnya menjadi tersangka korupsi? Bagaimana dengan Bu Murniasih yang dulu pernah mencuri ayam Mbah Putri? Apakah ada yang benar-benar… benar? Kenapa mereka semua menjadi sok suci!?
Aku bisa melihat wajah mereka dari pikap. Wajah Pak Rustandi yang kosong, wajah Bu Murniasih yang tak berani membalas tatapanku, wajah Maria yang menyiratkan permintaan maaf, wajah Rayhan yang menunjukkan rasa puas setelah sekian lama tanyanya terjawab, dan Karina… ia tak terlihat.
Bapak selalu bilang, kita hanya menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda. Apakah kami salah?
“Ibu, kenapa kita pergi?” Bagas merengek, menuntut jawaban.
“Biar Tuhan yang membalas orang-orang itu di akhirat nanti!” jawab ibuku getas. Bibirnya geram.
Kemudian aku bertanya, dengan pandangan nanar. “Ibu, bagaimana kalau di akhirat nanti kita bertemu lagi dengan orang-orang itu, dan saat menunggu bertemu dengan Tuhan, ternyata… Tuhan kita sama?”
“Sudahlah, Ima, sudahlah. Ada beberapa orang yang memang tak akan pernah mengerti,” Ayah melajukan pikapnya dengan pasrah.
Aku menitikkan air mata. Mereka boleh membumihanguskan apa yang kami miliki dan menghancurkan apa yang kami percayai. Namun kami tidak akan berhenti untuk tetap percaya pada keyakinan kami, seperti kami percaya bahwa karma pasti ada, seperti kami percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dan saat itulah, kita akan berjumpa kembali dan mengetahui jawaban yang benar.
Aku tidak sedang mengancam.
[1] Satu ekor utuh ayam bakar.
[2] Satu perguruan. Memiliki aliran kepercayaan yang sama.
[3] Acara berebut makanan saat upacara adat bersih desa, dipercaya makanan yang diperebutkan akan mendatangkan berkah bagi hari-hari berikutnya.
[4] Angkutan umum bodoh! Ngerem mendadak nggak pakai otak!
Sumber : Altami N.D. 4 Comments Cerpen, cerpen Altami N.D., cerpen Ketika Kita Berbeda, cerpen untuk basabasi.co
- See more at: http://basabasi.co/ketika-kita-berbeda/#sthash.jncPwf4L.dpuf
0 komentar:
Post a Comment