I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Hutan dengan berbagai fungsi dan manfaatnya memberikan pengaruh yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan manusia juga menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada ketergantungan manusia pada sektor kehutanan menjadi semakin meningkat sehingga dapat mempengaruhi kondisi pengelolaan hutan secara lestari, yang dalam perkembangannya diharapkan dapat menambah nilai ekonomi, sementara proses ekologis internal dalam ekosistem hutan tetap terpelihara dengan baik. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hutan memiliki komposisi jenis dan struktur yang berbeda bergantung pada kondisi setempat. Hutan tidak terlepas dari ilmu ekologi. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Salah satu hutan yang berada di Provinsi Sulawesi Utara dan masih terjaga kelestariannya adalah Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih Tangkoko.
Untuk lebih meningkatkan pemahaman ekologi dan komposisi jenis serta struktur hutan, maka dilaksanakan praktek lapang ekologi umum. Salah satu hutan yang dijadikan lokasi praktek di Provinsi Sulawesi Utara adalah Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih Tangkoko. Praktek lapang ini merupakan salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Samratulangi. Kegiatan praktek lapang ini dilaksanakan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang ilmu ekologi.
B. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud kegiatan praktek lapang ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai jenis tumbuhan yang ada di TWA Batu Putih Tangkoko. Selain itu, untuk mengetahui jumlah stratum tumbuhan di TWA Batu Putih Tangkoko.
Sedangkan tujuan dari kegiatan praktek lapang ini adalah untuk memenuhi tugas ekologi sebagai salah satu mata kuliah wajib Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian.
II.TINJAUAN PUSTAKA
A. Stratifikasi Tajuk
Kanopi dari hutan hujan tropika sering kali terdiri dari berbagai lapisan tajuk. Formasi hutan yang berbeda memiliki tingkatan strata yang berbeda pula. Dalam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau beberapa jenis, jika tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara mineral, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih berkuasa (dominan) daripada yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tumbuhan di dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara & Indrawan, 1988).
Richard (1966), menyatakan bahwa struktur hutan hujan tropika paling jelas dinyatakan dengan penampakan arsitekturnya, stratifikasi tajuk pohon-pohonnya, semak dan tumbuhan bawah. Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropika umumnya sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1988):
a. Stratum A merupakan lapisan teratas yang terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya lebih dari 30 m. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.
b. Stratum B terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya kontinyu, batang pohonnya biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran).
c. Stratum C terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi 4-20 m tajuknya kontinyu. Pohon dalam stratum ini rendah, kecil dan banyak cabang.
d. Statum D terdiri dari tumbuhan dengan tinggi 1-4 m. Contoh dari startum ini adalah semak-semak, paku-pakuan dan rotan.
e. Stratum E terdiri tumbuhan kurang dari 1 m.
B. Struktur Vegetasi
Pemahaman tentang struktur vegetasi penting dalam kegiatan penelitian ekologi hutan. Kesalahan identifikasi struktur akan menyebabkan kesalahan dalam memahami kondisi hutan yang sebenarnya. Struktur hutan yang dimaksudkan adalah komponen penyusun hutan itu sendiri. Penjelasan tentang masing-masing struktur vegetasi adalah sebagai berikut:
a. Pohon
Tumbuhan dengan diameter lebih dari 20 cm. Pengukuran yang akan dilakukan untuk pohon adalah diameter batang, tinggi pohon serta jumlah individu dan jenis pohon. Pengukuran diameter batang dilakukan pada ketinggian 1,3 meter atau 20 cm di atas akar papan jika akar papan lebih tinggi dari 1,3 meter. Pengukuran tinggi pohon adalah tinggi bebas cabang. Ukuran petak (kuadran) untuk pengukuran pohon adalah 20 x 20 meter.
b. Tiang
Tumbuhan dengan diameter antara 10-20 cm. Pengukuran dilakukan pada petak subkuadran berukuran 10 x 10 m. Sama dengan pohon, maka parameter pengukuran adalah diameter tiang, tinggi tiang bebas cabang, jumlah tiang dan jumlah jenis. Pengukuran diameter batang juga dilakukan pada ketinggian 1,3 meter.
c. Pancang
Pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta diameter batang kurang dari 10 cm. Ukuran petak pengamatan yang digunakan untuk pengukuran pancang ini adalah 5x5 meter. Tidak seperti tiang dan pohon, diameter pancang tidak diukur. Pengukuran hanya dilakukan pada jumlah individu dan jumlah spesies. Karena pada tahap pertumbuhan pancang, yang penting untuk diketahui adalah kerapatan dan frekuensinya.
d. Semai / anakan
Anakan pohon adalah regenerasi awal dari pohon dengan ukuran ketinggian kurang dari 1,5 meter. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran anakan adalah 2x2 meter. Sebagaimana pancang, tahap pertumbuhan anakan hanya dihitung individu serta jenis anakan saja. Tidak perlu dilakukan pengukuran diameter batang.
III. KONDISI UMUM LOKASI
A. Letak dan Luas
TWA Batu Putih Tangkoko adalah cagar alam yang berada di Desa Batu Putih, Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Cagar alam ini memiliki luas sekitar 8.745 hektare. TWA Batu Putih Tangkoko ini merupakan tempat perlindungan Monyet Hitam Sulawesi dan Tarsius.
Dalam Cagar Alam Tangkoko terdapat Taman Wisata Batuputih dan Taman Wisata Alam Batuangus. Secara geografis, cagar alam ini terletak di antara 125�3' -125�15' BT dan 1�30'-1�34' LU. Cagar Alam ini berbatasan langsung dengan Cagar Alam Gunung Duasudara. Kawasan cagar alam ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara.
B. Iklim
Kawasan ini termasuk zona iklim B, dengan curah hujan sebesar 2.500 - 3.000 mm per tahun. Adapun suhu rata-rata antara 20 �C dan 25 �C. Musim kemarau berlangsung dari April hingga November dan musim hujan dari bulan November hingga April.
C. Topografi
Kawasan ini memiliki topografi landai hingga berbukit yang terdiri dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan lumut. Di kawasan ini terdapat tiga puncak gunung yaitu Gunung Tangkoko (1.109 m) dan Gunung Dua Saudara (1.109 m), serta
Gunung Batuangus (450 m) di bagian tenggara. Di sebelah timur laut terdapat Dataran Tinggi Pata.
D. Flora
Di kawasan ini terdapat hutan hujan yang didominasi coro (Ficus septica Burm.f.), ares (Duabangamoluccana), gora hutan (Phaleria capitata Jack.), mangga hutan (Buchanania arborescens Bl.), lengki (Leea angulata Korth.), bintangar (Kleinchofia hospita L.), bombongan (Bignoniaceae), dan nantu (Palaquim obtusifolium). Di hutan lumut bisa dijumpai edelweis (Anaphalis javanica) dan berbagai spesies kantong semar, salah satunya Nepenthes maxima. Selain itu, terdapat tumbuhan pantai seperti ketapang, pohon bitung, pandan, jati, dan mahang (Macaranga).
E. Fauna
Fauna yang terdapat di dalam kawasan Cagar Alam Tangkoko terutama di TWA Batu Putih diantaranya adalah Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), anoa, tupai (Tupaia sp), musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii).
Selain itu, pada tahun 1980 dicatat sejumlah 140 spesies burung, termasuk Julang sulawesi (Rhythitceras cassidix) dan Maleo (Macrocephalon maleo) yang endemik Sulawesi. Spesies lain di antaranya pergam hijau (Ducula aenea), srigunting jambul-rambut (Dicrurus hottentottus), jalak tunggir-merah (Scissirostrum dubium), raja-udang pipi-ungu (Cittura cyanotis), udang merah sulawesi (Ceyx fallax), celepuk sulawesi (Otus manadensis), Sulawesi hornbill (Penelopides exarhatus).
Jenis reptilia dan ular yang dijumpai adalah ular sanca kembang (Python reticulatus), kobra (Naja naja), ular anang (Ophiophagus hannah), Tropidolaemus wagleri, soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), biawak indicus (Varanus indicus), dan cicak terbang sayap merah (Draco sp.). Satwa laut di antaranya penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
IV. METODE PELAKSANAAN
A. Waktu dan tempat
Waktu pelaksanaan praktek lapang selama 3 hari mulai tanggal 10 sampai dengan 12 April 2015. Adapun lokasi praktek di Cagar Alam Tangkoko tepatnya di Taman Wisata Alam Batu Putih, di Desa Batu Putih, Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
B. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan antara lain :
1. Alat tulis menulis (kertas, bolpoin, pensil, penghapus dan penggaris)
2. Seperangkat komputer
3. Perlengkapan camping
4. camera
C. Metode pengamatan
Variabel-variabel yang diamati dalam praktikum ini adalah jumlah stratum, jumlah jenis, jumlah individu dan tinggi pohon. Pengamatan dilakukan dengan membuat petak ukur berukuran 20 x 20 m untuk mengamati jenis pancang, tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat semai dilakukan pengamatan dengan membuat subpetak berukuran 2 x 2 m. Setelah diketahui jenis tanamannya, dilakukan penghitungan jumlah pada setiap jenis tersebut, kemudian dilakukan pengamatan stratum tajuk tumbuhan. Setelah itu dilakukan Pengamatan jumlah stratum dengan mengamati tutupan tajuk tumbuhan yang terdapat dalam petak ukur.
|
Petak ukur pengamatan jenis tumbuhan di TWA Batu Putih |
V. HASIL PENGAMATAN
A. Komposisi Jenis
Jumlah jenis yang dijumpai pada setiap pertumbuhan tanaman dalam petak ukur di hutan TWA Batu Putih Tangkoko dapat dilihat pada Tabel 1.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut nampak bahwa dalam petak pengamatan terdapat 23 jenis baik pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon. Komposisi jenis tersebut digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan. Adapun jumlah jenis yang terbanyak pada tingkat semai adalah bunga macan. Pada tingkat pancang, jumlah jenis yang terbanyak adalah kayu kapur dan sirih hutan, sedangkan jumlah jenis terbanyak pada tingkat tiang adalah langehe. Untuk jumlah jenis terbanyak pada tingkat pohon adalah jati sebanyak 7 pohon.
Adanya variasi dari jenis-jenis yang dominan dan kodominan pada setiap tingkat pertumbuhan memberikan pengertian bahwa jenis dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain. Sesuai data tersebut, menunjukkan bahwa pada tingkat semai terdapat jenis tanaman bunga macan yang mampu bertahan dalam naungan. Kemudian pada tingkat pancang terdapat jenis tanaman kayu kapur dan sirih hutan. Begitu juga pada tingkat tiang dan pohon, terdapat tanaman langehe dan jati yang mampu mempertahankan hidupnya.
Selain jumlah jenis tumbuhan, dilakukan pengamatan stratifikasi tajuk tumbuhan. Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenis-jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran). Dalam sebuah kanopi hutan, pohon-pohon dan tumbuhan terna menempati tingkat yang berbeda dan dalam hutan hujan tropika akan ditemukan tiga sampai lima strata (Misra, 1980).
Suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi persaingan antara individu-individu dari satu jenis atau berbagai jenis. Jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara, mineral, tanah, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai atau dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan di dalam hutan (Soerianegara & Indrawan 1988).
Di dalam masyarakat tumbuhan pada hutan, terjadi persaingan antara individu-individu suatu jenis (spesies) atau berbagai jenis, dalam hal mendapatkan mineral tanah, tropika air cahaya dan ruang. Hutan pada TWA Batu Putih Tangkoko memiliki stratifikasi tajuk yang lengkap yaitu mulai dari strata B, strata C, strata D dan strata E.
Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa tegakan terdiri dari satu lapisan yaitu lapisan dengan tinggi sekitar 4 - 20 m (strata C). Pepohonan ini tumbuh lebih berdekatan. Tajuk sering membulat dan memanjang. Struktur tegakan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan dimana struktur tegakan ini dapat dilihat berdasarkan tingkat kerapatan. Struktur tegakan dapat dilihat, baik secara vertikal maupun horizontal. Stratifikasi tajuk, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipandu oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut.
Selain strata C, terdapat strata D yang cukup dominan dimana perkiraan tinggi tegakan pada strata ini sekitar 1 � 4 m. Sedangkan untuk strata E sangat minim dengan tinggi kurang dari 1 m. selain itu terdapat strata B dengan tinggi lebih kurang 20 � 30 m. Namun, jenis tumbuhan pada strata ini sangat sedikit jumlahnya, sehingga tutupan tajuk terhadap tanaman lainnya tidak terlalu rapat.
VI. KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Sesuai hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa terdapat 23 jenis tumbuhan pada petak ukur baik untuk tingkat semai hingga tingkat pohon. Jumlah jenis yang paling banyak dijumpai pada petak ukur untuk tingkat semai adalah bunga macan. Untuk jenis tumbuhan yang paling banyak dijumpai pada tingkat pancang adalah kayu kapur dan sirih hutan. Sedangkan untuk jenis tanaman yang paling banyak dijumpai pada tingkat tiang adalah langehe dan jenis yang paling banyak djumpai pada tingkat pohon adalah jati.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pada petak ukur terdapat 4 stratum tumbuhan yaitu strata B, strata C, strata D dan strata E. Namun, diantara strata tersebut, paling banyak adalah merupakan strata C yaitu tumbuhan yang memiliki tinggi sekitar 4 � 20 m. Stratifikasi tajuk tersebut dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenis-jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran).
B. Saran
Sekiranya data hasil pengamatan ini masih belum sesuai maksimal, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui indeks kaenekaragaman jenis dan tingkat stratifikasi tajuk tumbuhan di lokasi TWA Batu Putih Tangkoko tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Koswara, Acep. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan. 2008. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Marpaung, Boy Andreas. 002. Struktur Vegetasi. (didownload tanggal 15 April 2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Skala_waktu_geologi(didownload tanggal 15 April 2015)
http://www.pengertianilmu.com/2014/12/pengertian-stratifikasi.html(didownload tanggal 15 April 2015)