Propellerads

Friday, May 27, 2016

Malaikat di Kesialanku.

Sepulang dari Yogyakarta, setelah bersilaturahmi ke maiyahan Yogyakarta, dan temanku hingga beberapa hari. Aku pulang bada salat jumat dari terminal Jombor menuju Sukun, Banyumanik. Saya lupa mengontak teman sufiku . Lupa dia sudah sampai mana.

Ada kisah menarik buat saya setelah dari Yogyakarta. 
"Saya sampai sukun, Banyumanik pukul 17.00 WIB. Turun dari bus. Saya kemudian menuju angkutan kota (angkota) menuju Jatingaleh. Sialnya angkota itu ngetem agak lama. Saya belum salat duhur dan ashar. Lupa jamak qashar.
Saya sempat menanyai supir angkota. Perkembangan dari masa ke masa, pekerjaannya. Dia mengungkapkan kegelisahan setelah kendaraan makin memenuhi jalan.
Selang 10 menitan dia supiri angkotanya. Melewati lampu merah tugu Diponegoro Tembalang menuju turunan Gombel dan sampai Jatingaleh. Saya turun, memberinya pecahan 5000 tanpa kembalian. Agak mahal angkota ini!.

Jalur perempatan PLN Jatingaleh padat. Mobil yang keluar tol memadati pintu keluar. Untuk menyeberang menuju stadiun jati diri -jalan lebih mudah menuju sampangan- saya harus menghentikan salah satu mobil. Polisi kewalahan.
Saya pun jalan kaki. Kulihat angkutan ngetem. Ketika kudekati kosong. Tak bersupir. Kesialan beruntun buat saya. Saya teruskan jalan. Tak lupa mengontak temanku. Namun temanku menolak membantuku. Makin sial hari ini. 
Saya terus susuri jalan ini. (Terus terang saya buta nama jalan, jadi tak mengenal nama jalan kulalui ini.). Jalan terus hingga menuju Unika. Jalanan menanjak. Saya lumayan capek memanggul tas dan membawa helm. Dari Yogyakarta belum makan. Tanpa asupan apapun selama perjalanan. Uang tinggal beberapa ribuan saja. Saya ingat bahan bakar motorku. Ingin mampir minimarket atau warung. Saya tahan. Berharap ada yang berhenti menolongku. 
Tepat di depan pintu Unika. Saya berhenti sejenak. Berpikir dan merapal doa. Hingga kuucap : ratusan kendaraan lewatiku. Tak satupun ingin menolong orang, sepertiku.

Saya jadi ingat tragedi jalan ini. Banyak begal. Apa ini penyebab mereka tak menoleh dan membantu.

Saya pun terus jalan. Hingga turunan Unika. Ada wanita menggunakan matic diam, menunggu seseorang. Ketika dekat dia berbicara padaku. Saya mengira dia tersesat.

Dia : mas, mau kemana?
Saya : sampangan mbak. Bagaimana mbak?
"Kalau dari jembatan besi ke kanan atau ke kiri", lanjutnya.
Ke kanan. Kenapa memangnya? tanyaku.
Dia : Kalau berkenan, boleh saya bantu. Aku antar, ajaknya.
Boleh. Terima kasih.
Mas bisa mengendarai motor kan?
Saya : Bisa. 
Kami pun berboncengan. Saya mengendarai motornya. Dalam pikiranku : nih orang baik sekali. Apa penyebabnya ya?

Kemudian saya pun bertanya : mbak enggak takut? Di sini kan rawan begal. Enggak curiga sama saya? Atau bagaimana ?
Dia : kemarin sih mas, kata temanku, ada ibu-ibu dibegal. Luka di kepalanya. Saya tadi lihat mas jalan dari atas. Kukira mas sama temanmu, kok bawa helm. Ketika di bawah tanjakan. Eh mas sendirian. Naluriku ya menolong mas. Kadang tiap di jalan ketemu bapak-bapak atau siapa pun di jalan, pasti kuboncengi. Kuantar mas.

Saya diam sejenak. 
Kutanya lagi : maaf mbak jadi ngerepoti. Omong-omong mbak asal dari mana? Kuliah, kerja?
Dia : saya dari lombok. Kuliah di Universitas Negeri Semarang.
Saya diam beberapa menit kemudian mengangguk.
Lombok, NTB mas. Mas dari mana? Kok bawa helm sendirian? lanjutnya.
Saya : jauh juga ya mbak. Saya dari Jogja. 
Saya pun ingat beberapa teman Lombok di Jogja. Ingin tanya padanya. Tapi saya tak enak.
Iseng kemudian saya tanya : Tahu tembakau Senang?
Dia diam belum menjawab. Selang beberapa detik dia jawab :
Maaf mas. Saya tak tahu tembakau itu. Mas tadi pulang dari Jogja. Penelitian?
Enggak mbak. Saya cuma main dan berkunjung ke temanku. Saya janji pada mereka berkunjung. 
Dia : Eh mas, asli mana kok, sampai jogja.
Demak mbak.

Sampai di pertigaan jembatan besi. Saya ingin turun. Kasihan dia jika harus ke atas, Unnes."

Obrolan ringan kami lainnya berlanjut hingga tak terasa saya berada di depan asramaku. Berulang kali saya ucapkan terima kasih.
Kami pun tak saling mengenal. Tak menanyai namanya. Hanya saja saya berharap pada Tuhan, kelak kami bertemu lagi. 

Siapa pun kamu. Entah membaca ini atau tidak. Kamu masih terngiang di pikiranku. Terima kasih mbak.


Versi media sosialku : Path yang sinkron ke fb, dan tumblr.








Lanjutan ceritanya :
http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/05/berkunjung-ke-suluk-maleman-pati.html

0 komentar: