Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Showing posts with label Tulisan Sahabat. Show all posts
Showing posts with label Tulisan Sahabat. Show all posts

Sunday, October 9, 2016

Puisi Harapan di Ufuk Senja

Seperti senja yang indah
Semoga malammu penuh ibadah
Seperti bulan yang terang
Semoga malammu senang

Sejuknya angin malam
Semoga hatimu selalu tentram
Setulus doa yang ku bisikkan
Semoga hidupmu penuh kebarokahan

Ketika malam menyapa,
Ku panjatkan berjuta harapan.
Agar segera tiba perjumpaan kita yang direstui semesta.


Wahyuni Januarti Drakel

Manado, 8 Oktober 2016

Thursday, October 6, 2016

Asylum

Aku ingin menuliskan sesuatu
Yaa ... sesuatu.
Yang bisa berarti apa saja
Mungkin bunga di pinggir jalan dengan gincu tebalnya
Pohon mangga di halaman yang daunnya ranggas oleh matahari
Bocah telanjang dada yang mengibu pada tiang tiang paku bumi kolong tol
Ayah yang berjalan lupa pulang
Atau Kekasih yang mengutuk purnama ketika sabit.
Seseorang ingat sesuatu
Lalu lainnya melupakan.
Lupa bagaimana cara menulis
Aku melihatnya di cermin
Dia aku mengutuki aksara
Menyumpahi rindu seserapah mungkin
Lalu mencoba melukis gincu bunga tepi jalan yang melirik pada pohon mangga halaman
Tapi bocah telanjang dada menertawakan
"Hai Nona Air, lihat aku! Ayahku lupa pulang, Ibuku kaku. Bisa kau tepis semuanya? Berikan sedikit air lalu bicaralah pada purnama saat sabit yang menggenggam tanganmu.
Bisa kau lakukan?"
Aku kembali pada sumpahku yang serapah untuk mataku, untuk kakiku, untuk tanganku, untuk hatiku,
Dan untuk air yang tak mampu kuberikan pada bocah itu sekedar pelepas dahaganya.
Lalu bagaimana caranya aku mampu bicara pada purnama?
Sementara rindu masih kusumpahi.
Azma
6 Oktober 2016
Baca Azma : Bukan Puisi

Katakan Wajahmu Cinta


Terlihat jelas kemarahanmu
Seperti ombak yang dengan tegas menghancurkan karang
Tapi kepada siapa kau marah ?
Jika dirimulah musuhmu

Sabar itu sudah jadi bahasa sampah
Hidup menamparmu begitu keras
Tamparan itu masih terlihat membekas
Yang menamparmu adalah cintamu
Yang menamparmu Belahan jiwamu

Kau membalas ?
Bagaimana caranya ?
Terbuang, terhina, tersakiti
Itu saja yang bisa kau rasa
Hanya marah yang bisa kau perlihatkan

Kau buang waktumu sia-sia hanya untuk meratapi nasib.
Apa yang kau dapat?
Tangisan lagi, ingatan tentang tamparan lagi.
Tak lelahkah kau?

Karmila Saleh
Manado, 6 Oktober 2016

Baca Karmila Saleh : Sendiri Ku Bukan Diam

Saturday, October 1, 2016

Enak Dengan Kawan Bersama Malam

Genggulang - Pondok bambu menyinggakan diriku malam ini. Malam yang hangat tanpa kebersamaan. Sebab, ku tebak kalian dikejahuan. Tak ku dapat kalian di selah malam. Lagi karena sebab, aku berfikir kalian tidak nampak di sampingku. Meski begitu, aku serius ingat dan mengingatkan jahunya kejahuan diriku untuk kalian.
Ingat. Sebut dan menyebutkan, aku bersama malam terus cari bersamaan langkah yang hilang dengan jarak-jarak kejahuan. Tapi, ku bisah tebak. Karena kalian tak ku lihat, mata berspekulasi menghantarkan hati dan fikir untuk mengucapkan; 'malam sebelum tidur,' dan tidurlah.
Malam sengit berlarut-larut. Larut menebak-tebak. Tebak dimana kalian wahai kawan. Kawan dimalam yang rindu menyapa hadirku di samping kebersamaan. Tak usah, dengar kawan; kita bagaikan rokok yang terisi tembakau tanpa pisah bersama asap kenikmatan.
Tidurlah, semoga kita bermimpi untuk hidup. Hidup yang bernuansa jerit-menjeritkan. Jangan bernuansa indah karena hidup, sebab, hidup yang indah adalah manja untuk dunia. Keras dan mengeraslah. Mengeras untuk tubuh dan akal fikirmu. Disitulah hidup, hidup untuk nikmat dan menikmati hidup.
Permisi malam.
Genggulang, 28 September 2016.
Tri Putra.S.Saleh SH,.
Lihat juga Tri Saleh : Etika Politik dan Wilayah Abu-Abu 

Saturday, September 17, 2016

Daun



Yang paling setia adalah daun
Telinga manusia. Menangkap sepi
Menjadi puisi.
Yang paling jujur adalah daun
Telinga manusia. Menjaring bunyi
Dari sunyi.
Yang paling bijak adalah daun
Telinga manusia. Mendengar yang baik
Membumbung pahala.
Yang paling sakral adalah daun
Telinga manusia. Menyerap yang buruk
Menampung dosa.
Yang paling tabah adalah daun
Menyapa tanah dengan senyuman.
Muzakir Rahalus
Kotamobagu, 24 Januari 2016
Lihat juga Muzakir Rahalus :Dua Ungkapan Tentang Menulis

Saturday, September 10, 2016

Mengembalikan Kata Optimisme yang Ditanamkan

Kita perlu melihat kembali posisi Indonesia di tahun 1945 dibandingkan Indonesia di tahun 2016 kini. Kemerdekaan hadir bukan semata-mata untuk menggulung koloanialisme,tetapi juga mengelar keadilan bagi seluruh rakyat, jika kita  lihat pada saat para pendiri republik ini merancang dan memproklamasikan kemerdekaan, sebenarnya mereka berhadapan dengan situasi yang luar biasa sulit. kondisi ekonomi yang menurun drastis, rakyat yang miskin, rakyat yang tidak terdidik dan seluruh infrastruktur yang hancur akibat perang, bisa dibayangkan kompleksitas problem yang dihadapi para pemimpin Indonesia saat Negara ini dibangun.

Mengembalikan Kata Optimisme yang Ditanamkan
Tapi satu hal yang menarik, mereka bukan orang-orang yang suka mengeluh, mereka adalah pemimpin yang mengirimkan harapan mereka dan bukan mengirimkan ratapan meskipun mereka memiliki seluruh persyaratan untuk meratapi keadaan, kata pesimis mereka singkirkan dan selalu optimis bahwa negeri ini akan merdeka 100%.
Hari ini, 71 tahun sesudah kita merdeka, terjadi perubahan yang luar biasa, mulai dari aspek pertahanan, ekonomi dan pendidikan. Masih banyak lagi yang tanpa kita sadari berubah dengan angka yang memuaskan. Bukti kongkrit yang bisa kita lihat dengan mata telanjang salah satunya ialah kurangnya pemahaman dalam membaca dan menulis. Dari angka 90% yang tidak bisa baca tulis kini menjadi 90% bias baca dan tulis.
Tetapi saat kini, kita lebih cenderung untuk mencari yang gagal, membicarakan yang belum berhasil, menganalisis masalah yang kita anggap negatif di hotel bintang lima yang mewah, di kampus sampai ke warung-warung kecil. Begitu kata Indonesia dimunculkan maka yang di diskusikan adalah keprihatinan dan problem, seakan-akan republik tidak ada keberhasilan.
Banyak bukti rilnya tetapi kita jarang mensyukuri dan melihat dalam prespektif yang positif, kita memang berada di zona yg menantang kita bertetangga dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Fillipine, deretan negara-negra yang telah mengalami kemajuan yang luar biasa. jadi jelas kita seringkali merasa tertinggal/minder.
kalau memang demikian? coba kita bayangkan bila Indonesia berada di asia selatan yang tetangganya, India, Banglades, Srilanka dan Pakistan. berangkali kita akan merasa berbedah dengan perasaan kita sekarang.
Ini realita yang terjadi, kita kritis tapi sering pesimis, seharusnya kita tanamkan pribadi menilai sesuatu bukan cuma dari aspek negatif melainkan dari keduanya dengan demikian negara akan merasa adil dikaji dari sudut pandang berbedah dan alangkah arifnya diri kita jika demikian, dari pendirian ini sehingga prespektif positif dan jiwa optimisme yang sudah ditanamkan para pemimpin bangsa kita, selalu tertanam dalam jiwa kita.
Jangan pesimis mari optimis, saya sering ibaratkan Indonesia seperti anak yang pribadinya sederhana tapi memiliki potensi dari jiwa muda yang luar biasa.
Awin Buton
Manado, 27 Agustus 2016
Lihat juga Awin Buton : Hidup Sebelum Kembali

Saturday, August 20, 2016

Istriku Tidak Cantik

Oleh : Wulan Halik
Istriku Tidak Cantik, oleh wulan halik
Wulan Halik
Istriku tidak cantik, standar dan biasa saja. Aku juga sadar bahwa dia tidak cantik tapi tidak buruk dan kalau bersanding denganku maka aku nampak lebih rupawan dari dia. Badannya kecil ada dibawah dadaku, juga kulitnya agak hitam, lebih putih kulitku, satu lagi kakinya agak pincang, yang kanan lebih kecil sedikit daripada yang kiri.
Aku menyadarinya ketika aku sudah menikahinya, namun aku sadar bahwa aku telah memilih dia dengan ikhlas dihatiku, kan aku yang memilih, bukan dia yang memaksa, dan walau istriku tidak cantik, namun aku mencintainya. Allah taburkan rasa cinta itu ketika malam pertama aku bersamanya.
Dimataku dia tetap tidak cantik, namun aku nyaman bila melihat senyumannya. Dia selalu menerima apa adanya aku, sempat aku pulang tidak bawa gaji seperti yang dijanjikan di lembar penerimaan karyawan bahwa gajiku tertera 4 juta sekian-sekian, namun karena aku selalu terlambat dan juga sering bolos lantaran mengantar si kecil ke rumah sakit dan juga si sulung ke sekolah maka hampir 40 % gajiku dipotong. Subhanallah dia tidak bersungut, malah segera bersiap menukar menu makanan dengan yang lebih sederhana dan bersikeras meminjam komputer butut kami untuk menulis artikel yang dikirimkannya ke beberapa majalah yang terkadang satu atau dua artikel ditayangkan, dan baginya itu sudah Alhamdulillah bisa menambah sambung susu anakku.
Istriku tidak cantik, namun aku ingat, banyak sekali sumber daya alam yang buruk bahkan legam dan membuat tangan kotor namun tetap dicari, diburu dan dipertahankan orang, seperti batubara. Istriku mungkin bukan emas, dia mungkin batubara, keberadaannya selalu menghangatkan hatiku dan selalu membuatku tidak merasakan resah. Aku membayangkan bila aku menyimpan batubara satu kilo dirumahku dibandingkan dengan menyimpan emas satu kilo dirumahku, maka aku tidak akan dapat berjaga semalaman bila emas yang kusimpan. Namun bila batubara yang ku simpan, aku masih punya izzah ada barang yang ku simpan yang cukup berharga, namun aku tetap dapat tidur nyenyak dengannya.
Bayangkan bila istriku sangat cantik, mungkin aku tidak akan tenang membayangkan dia ke pasar dilirik semua lelaki, membayangkan dia sms-an dengan bekas pacar-pacarnya dulu, membayangkan mungkin dia bosan padaku. Akh.. aku bersyukur istriku tidak cantik sehingga aku bisa tidur nyenyak walau banyak nyamuk sekalipun. Istriku tidak cantik, namun dia adalah istri terbaik untukku.
Pesanku: aku selalu melihat sisi baik dari istriku yang membuatku merasa sama dan nyaman dengannya.
Lihat juga Wulan Halik : Bagian Terpenting Pada Tubuh

Bagian Terpenting Pada Tubuh

Oleh : Wulan Halik
Bagian Terpenting Pada Tubuh, oleh wulan halik
Wulan Halik
Ibuku selalu bertanya padaku, apa bagian tubuh yang paling penting.
Bertahun-tahun, aku selalu menebak dengan jawaban yang aku anggap benar. Ketika aku muda, aku pikir suara adalah yang paling penting bagi kita sebagai manusia. Jadi aku menjawab, "Telinga, Bu.!"
Tapi ternyata itu bukan jawabannya.
"Bukan itu, Nak. Banyak orang yang tuli. Tapi teruslah memikirkannya dan Ibu akan menanyakannya lagi nanti."
Beberapa tahun kemudian, aku mencoba menjawab sebelum Ibu bertanya padaku lagi. Sejak jawaban pertama, kini aku yakin jawaban kali ini pasti benar. Jadi, kali ini aku memberitahukannya, "Bu, penglihatan kita sangat penting bagi semua orang. Jadi pastilah mata kita."
Dia memandangku dan berkata, "Kamu belajar dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak orang yang buta."
Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari tahun ke tahun Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, "Bukan. Tapi kamu makin pandai dari tahun ke tahun, Anakku."
Akhirnya tahun lalu kakekku meninggal. Semua keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan ayahku menangis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakek.
Dia bertanya padaku, "Apakah kamu sudah tahu apa bagian tubuh yang paling penting, sayang?"
Aku terkejut ketika Ibu bertanya pada saat seperti ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara Ibu dan aku.
Ibu melihat kebingungan di wajahku dan memberitahuku, "Pertanyaan ini penting. Ini akan menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar-benar �hidup'. Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu kepada Ibu dulu, Ibu selalu berkata kamu salah dan Ibu telah memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari dimana kamu harus mendapat pelajaran yang sangat penting."
Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku melihat matanya penuh dengan air mata. Dia berkata, "Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu."
Aku bertanya, "Apakah karena fungsinya untuk menahan kepala?"
Ibu membalas, "Bukan, tapi karena bahu dapat menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangi ketika mereka menangis. Kadang-kadang dalam hidup ini, semua orang perlu bahu untuk menangis. Ibu cuma berharap, kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu selalu punya bahu untuk menangis kapanpun kamu membutuhkannya."
Akhirnya aku tahu, bagian tubuh yang paling penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri, tapi memiliki simpati terhadap penderitaan yang dialami oleh orang lain.
Orang akan melupakan apa yang kamu katakan. 
Orang akan melupakan apa yang kamu lakukan. 
Tapi, orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana kamu membuat mereka berarti.

Sunday, August 14, 2016

MENGGAMBAR RUMAH: Sahabat Pedih, 1.000 Tahun

Mawar (bukan nama samaran, juga bukan nama asli), adalah gadis kecil yang terlahir di sebuah desa di bagian Selatan Bacan Timur. Kedua orangtuanya adalah petani kelapa. Ayahnya merangkap segala macam pekerjaan yang lainnya, termasuk sesekali bertindak sebagai nelayan. Ibunya, selain menanam segala jenis ubi-ubian yang kemudian menghasilkan sagu dan popeda, sesekali membuat nasi jaha (nasi yang dibakar dalam bambu muda) untuk melangsungkan tuntukan perekonomian keluarga, termasuk juga membayar uang sekolah Mawar.

MENGGAMBAR RUMAH: Sahabat Pedih, 1.000 Tahun
Mawar kecil, berwajah kemerah-merahan dan memiliki dua tangkai tahi lalat di bawah dagu bagian kanan. Mawar adalah gadis cantik yang pendiam. Senyumnya begitu murah, tak suka menghujat teman, dan seringkali membagikan jajanannya, semisal bagea kenari kepada teman-temannya yang punya banyak pohon kenari. Mawar selalu berjalan dengan sebuah buku catatan dan pena. Ke mana saja, mau di mana saja, kedua benda penting itu selalu dibawanya: menulis segala hal pemandangan indah yang diberi alam. Mawar tidak pintar melukis.
Suatu hari, pada Jumat yang hening, murid-murid telah bersiap-siap di dalam kelas, dan menunggu Pak Zulkifli Manaf--wali kelas mereka--untuk memberi aba-aba, karena seperti janji Pak Manaf Kamis kemarin, bahwa hari ini akan ada tugas "menggambar rumah". Tak lama, hanya berselang 10 menit, Pak Manaf pun masuk. Belum sempat duduk di kursinya, Pak Manaf, yang berdiri sekitar lima depa dari tempat duduk Mawar, dengan tangan kirinya memegang rotan, pun berucap, "Anak-anak, sekarang gambarlah rumah kalian masing-masing!"
Singkat cerita, sekitar satu jam berselang, anak-anak pun, oleh Pak Manaf disuruh mengumpulkan hasil gambar mereka masing-masing. Semua gambar, tak ada yang jelek. Semuanya, bagus. Semuanya menggambar penuh takjub, kecuali Mawar yang masih saja menulis cerita tentang rumahnya. Mawar menggambar dan mengisahkan rumahnya dalam sebuah cerita yang panjang. Segala hal telah ditulisnya, termasuk atap-atap yang bocor, hanya berlantaikan tanah liat, berdinding papan, dan lain sebagainya. Pokoknya banyak hal yang Mawar ceritakan, hingga membentuk satu buku tebal berhalaman 1000. Hasil gambar rumah--buku-- itu pun oleh Mawar diberi judul "1.000 Tahun Bersahabat Dengan Kepedihan".
(Muzakir Rahalus) sedang berada di Asrama Gorontalo, ASBER-Manado, 13 Agustus 2016.

Saturday, August 13, 2016

Dukung KontraS Membongkarnya

Pada bulan lalu, tepatnya Kamis, 27 Juli 2016, saya sempat menghadiri dialog yang digelar oleh Forum Peduli Nusantara (FPN) Manado, dengan mengangkat tema yang menurut saya cukup menarik, karena berhubungan dengan penyalahgunaan NARKOBA. Dialog yang digelar di Hotel Travelo Manado ini, dihadiri langsung oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Sulawesi Utara (Sulut), Kombes Pol. Sumirat Dwiyanto, M.Si sebagai pembicara utama, serta Kepala Dinas Pendidikan Sulut--yang waktu itu tak berkesempatan hadir (diwakili)--,sebagai pembicara kedua, dan Pak Jim R. Tindi sebagai pembicara ketiga dari kalangan aktivis muda. 

Dukung KontraS Membongkarnya
Berdasarkan data-data yang diperoleh dan dipaparkan Sumirat, untuk sekarang ini Sulut (Manado dan sekitarnya) sangat rawan penyebaran dan penggunaan berbagai macam dan jenis Narkoba. Penggunaan Narkoba paling murahan semisal Eha-bond (jenis lem yang baunya paling menyengat, bahkan bisa membuat pusing seketika), sampai jenis yang paling mahal, yakni saya tidak tahu karena saya bukan pemakai.
Penggunaan Narkoba yang begitu marak di Sulut dikarenakan, Sulut memiliki pelabuhan yang terlalu bebas, dan sangat mudah untuk bisa dimasuki oleh kapal-kapal asing. Kata Sumirat, wilayah yang bisa dimasuki dari arah mana saja dan masih sulit terdeteksi penyelundupan barang-barang mahal itu.
Dialog yang dimoderatori oleh salah satu wartawan Kompas TV, Rafsan Ffb Aditya Damopolii ini pun semakin menarik perhatian, hingga muncul banyak tanggapan balik dari peserta forum, di antaranya: Haryati Ibrahim, Noke VAN Togubu, dan yang lainnya. Dan pertanyaan yang terlihat lucu dari Noke adalah, setelah menjelaskan banyak hal terkait "pil kuning", dia pun menutup dengan berkata, "Iya, kan? Bukannya orang mabuk itu paling jujur?"
Dari acara ini, ada beberapa paparan data yang disampaikan oleh Sumirat yang disertai bukti foto-foto, dan yang sangat membuat saya kesal adalah, bahwa ternyata ada mahasiswa-mahasiswa Farmasi di salah satu Perguruan Tinggi Sulut, mereka mencari uang dengan cara yang belum sesuai dengan etika dalam Dunia Farmasi: mereka meracik jenis obat-obat yang mereka pelajari di kampus, hingga menghasilkan jenis Narkoba baru. Untungnya, bukan mahasiswa-mahasiswa dari FMIPA UNSRAT. Jika demikian, maka sangat tidak mungkin, atau sangat disayangkan, karena sejak Yohanes Aldo Taoganmenjabat sebagai Ketua Senat FMIPA UNSRAT, sudah beberapa kali dialog seperti ini dia selenggarakan bersama Kepala BNN Sulut sebelum Sumirat.
Dari rentetan kisah di atas, bukan berarti saya percaya 100% kepada BNN, Polisi, TNI dan lain sebagainya, karena saya juga masih sangat percaya kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ya, #SayaPercayaKontraS. Oleh karena itu, saya dukung KontraS agar--semoga-- secepatnya membongkar segala hal yang bermain di belakang semua ini. Terima kasih, KontraS. [.]
(Muzakir Rahalus)
Lihat juga Muzakir Rahalus : Tukang Sampah dan Petugas Kebersihan

Friday, August 12, 2016

Refleksi Memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke 71 : Merdeka atau Mati ?

Refleksi Memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke 71 : Merdeka atau Mati ? - Jika merdeka dipahami seperti �hidup� maka merdekalah untuk kalian penindas. Sebaliknya, jika �kalah� dipahami untuk merdeka maka matilah untuk merdeka. Di tahun 2016 dengan menghitung hari, Indonesia pada tanggal 17 Agustus tepat pada usianya yang ke 71 tahun kemerdekaan. Namun, jika dibandingkan pada zaman sebelum merdeka sampai sesudah merdeka, kata �kemerdekaan� atau kata �merdeka� itu sudah pantaskah kita lekatkan pada usia yang mempunyai makna perjuangan ? Maaf dijaman sekarang ! silahkan kita tafsirkan sendiri, Merdeka atau mati

Refleksi Memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke 71 : Merdeka atau Mati ?
Tentu sejarah Indonesia, sekedar merefleksi dengan dimulai dari sejarah perjuangan bangsa. Artinya, era perjalanan sejarah bangsa Indonesia sebelum dan selama penjajahan yang dilanjutkan dengan era merebut, serta mempertahankan kemerdekaan sampai pada era mengisi juga kemerdekaan, kini menyimpulkan makna semangat tumbuhnya kesamaan nilai kebangsaan dan perjuangan, sehingga era ini menjadi penampilan jiwa dan tekad yang penuh semagat untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di nusantara.
Sementara, pasca gairah semangat juang bagi pejuang untuk mempersatukan kebersamaan dan kesamaan nilai di Nusantara seperti dibingkai dengan NKRI, tentunya tidak hanya sampai pada klimaks meringkas era sejarah perjuangan bangsa. Demikian seringkas itu, sebelumnya pemahaman dasar setiap warga Negara Indonesia yang ditumbuh suburkan berkat tulang dan darah yang putih dan merah, melintas fikir dimana pada tahun 400 Masehi sampai dengan tahun 1617 konon kata sejarah, itulah yang disebut era sebelum penjajahan. Di era tersebut mulai munculnya kerajaan-kerajan yang ada di bumi persada nusantara. Nilai yang terkandung pada era ini dimaknai sebagai kepatuhan rakyat dan kesetiaan kepada setiap rajanya, untuk menjunjung tinggi dan membendung penjajah pada kedaulatan bangsa monarki yang katanya merdeka di bumi nusantara.
Setelah melalui berbagai tahap-tahap era perjalanan sejarah, seperti era selama penjajahan bangsa Indonesia yang dijajah oleh bangsa asing pada tahun 1511 sampai dengan 1945, sebelumnya mengundang kehadiran organisasi Budi Utomo pada tahun 1908 yang dikenal sebagai gerakan kebangkitan nasional pertama. Dengan tidak sembarang, kemudian munculah ikrar sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928. Dimana ikrar dan organisasi kepemudaan ini telah mempersatukan tekad demi Indonesia dengan penuh makna kesatuan dan persatuan untuk melepas elastis pada bingkai penjajah.
Dengan begitu, di era millenium, dimana pemuda kita? Sudahkah kita �merdeka� ketika melihat Negara penuh sistem birokrat korup, ekonomi korup, politisi korup dan berbagai lembaga lain yang juga tak ada habis-habisnya korup? Masyarakat jangan sampai terbawa virus korup juga sebab sebagian dari masyarakat juga sudah ada yang korup saat jaman pesat modern, jika semua sudah begitu korup maksudnya. Maka tiada kata tiada lain jika takdir berkesempatan memilih; merdeka atau mati? Ajal menjawab mati !
Ini bukan vonis seperti sesat dan menyesatkan, sempurna dan menyempurnakan. Hanya saja melirik kembali sejarah perjuangan bangsa Indonesia sungguh jauh melebihi perbedaan antara penjajah fisik dan penjajah intelektual di era kekinian sekarang. Dahulu penjajah mendominasi perang dengan berbagai moncong senjata serta tank-tank banser. Sekarang intelektual menjadi senjata kepicikan pihak asing kala ini, untuk menerobos Negara kita dan merampok isi kekayaan alam kita. Sadar tidak sadar, modus tersebut adalah racun menguasai Negara dan fampir menindas serta menyedot darah merah-putih sehingga jangan heran di usia 71 tahun kemerdekaan Indonesia sekurang-kurangnya, siapa yang merasa �hidup� (penindas) itulah MERDEKA dan siapa yang merasa �kalah� ( yang tertindas) itulah MATI. Sehingga, menjelang 71 tahun kemerdekaan di 17 agustus tahun 2016 membawa nilai apa, untuk siapa, dari mana dan bagaimana.
Selamat HUT Republik Indonesia ke 71
Tri Saleh

Tukang Sampah dan Petugas Kebersihan

Pembahasan tentang sampah, sepertinya tidak terlalu menarik lagi. Tidak seramai ketika kita bercerita tentang politik. Tidak seheboh pertarungan dua orang kakak beradik yang saling sikut saat ingin merebut kekuasaan. Tidak seramai berita pencitraan para pejabat. Tidak seindah kesenian para wartawan yang saling serang, karena hanya masalah kemitraan. Tidak seramai sebuah "partai adil", yang membagikan daging sapi secara merata saat sunyi, tapi tetap saja terungkap. Tidak se ... Se ... Se ... Semua yang bernaung di bawah ke-"bulshit"-an, yang bukan lagi fiktif belaka(ngan) ini.
Berbicara tentang sampah, tidak sebegitu cerdas Pak Mendikbud, yang kita tahu sendiri, begitu banyak tanggapan-tanggapan miring terhadapnya. Berbicara tentang sampah, tak perlu memukul guru; tak perlu saling menudu; tak perlu saling mengingatkan. Tersebab, kita semua yang bernama mahluk, bernama manusia, sangat benci dengan yang namanya sampah. Bahkan seekor tikus yang tidur di loteng istana negara pun, tentu sangat membenci sampah; membenci segala yang bernama kekotoran, kecuali menggigit uang di kala sunyi telah bersekongkol.
Karena pembahasan tentang sampah tidak lagi semenarik semua hal yang tersebut di atas, maka jalan satu-satunya adalah, kita kembalikan ke diri kita masing-masing. Masih suka buang sampah sembarangan, tidak? Jika masih, maka sepertinya kita harus lebih banyak mencontohi anak-anak TK, yang punya kesadaran tinggi akan hal itu.
Pagi ini, Jumat, 12 Agustus 2016, tidak seperti pemandangan saya sebelum-sebelumnya. Di atas trotoar, saya mengamati dengan mata kepala serta hati saya sendiri. Kejadian yang terlalu pelik untuk saya tafsirkan secara cepat. Saat sedang duduk di teras Waroeng Sahabat, Jl. Dr. Sutomo-Manado--tepatnya di depan Fakultas Kedokteran Gigi Unsrat--, seorang bapak dengan lengan yang patah, dengan lengan yang berpenyangga, dengan perut yang terus mengempes, dengan uban yang berjatuhan,--sedang menyapu sampah-sampah dari dedauanan yang berguguran--dengan satu tangan yang gemetar; dengan kedua kaki, yang terlalu lelah untuk melangkah. Sesekali, kedua kakinya yang kesulitan menjinjit itu, menjadi saksi atas sebab apa yang telah terjadi.

Tukang Sampah dan Petugas Kebersihan
"Aduh ... kasihan. Siapa punya bapak itu, mama e ...," ujar hati saya kurang lebih begitu, dan sepertinya telah teriris. Pedih, sungguh! Kepedihan itu nyata.
Sebagai insan yang tak bisa diperlihatkan dengan hal-hal seperti itu, saya terikut "Baper"--kebawa perasaan istilah anak-anak sekarang. Karena semakin tak tahan dan ingin rasanya membantu, saya pun berujar kepada Iswan, "Ambil sapu lidi, supaya 'torang dua' bantu menyapu ...."
Bukan apa-apa. Tapi, mungkin dengan ikut terlibat sedikit saja terhadap kepedihan yang dia rasakan, saya semakin sadar dan hati-hati. Supaya kelak, jika tanpa sadar saya membuang sampah sembarangan, kejadian saat ini mengingatkan saya; mengingatkan suatu kejadian langka, saat matahari baru mau meraba daun-daun hijau di pucuk-pucuk ranting.
(Muzakir Rahalus)