Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Showing posts with label Ekologi Hutan. Show all posts
Showing posts with label Ekologi Hutan. Show all posts

Wednesday, October 12, 2016

Hutan Mangrove, luasan dan Penyebarannya

Hutan Mangrove  

Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Santono, et al., 2005). 

Hutan Mangrove, luasan dan Penyebarannya

Ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove. Mangrove merupakan ekosistem hutan yang unik karena merupakan perpaduan antara ekosistem darat dan ekosistem perairan. Hutan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting terutama bagi kehidupan masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan produksi yang ada di dalamnya, baik sumberdaya kayunya maupun sumberdaya biota air (udang, kepiting, ikan) yang biasanya hidup dan berkembang biak di hutan mangrove (Santono, et al., 2005). Hutan mangrove di Indonesia, yang terbagi kedalam 2 (dua) zone wilayah geografi mangrove yakni Asia dan Oseania, kedua zona tersebut memiliki keanekaragaman tumbuhan, satwa dan jasad renik yang lebih besar dibanding negara-negara lainnya. Hal ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari satu pulau ke pulau lainnya, bahkan dari satu tempat ketempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara sumberdaya hutan mangrove dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai ekosistem yang masingmasing menampilkan kekhususan dalam kehidupan jenis-jenis yang terdapat di dalamnya (Santono, et al., 2005).
Luas dan Penyebaran Mangrove

Menurut Santono et al., (2005) terdapat variasi yang nyata dari luas total ekosistem mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta � 4,25 juta ha. Perbedaan jumlah luasan ini lebih banyak disebabkan oleh perbedaan metodologi pengukuran luas hutan mangrove yang dilakukan oleh berbagai pihak. Walaupun demikian diakui oleh dunia bahwa Indonesia mempunyai luas ekosistem mangrove terluas di dunia (21% luas mangrove dunia). Hutan-hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika.  

Luas hutan mangrove Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha). Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar, yakni di pantai timur Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan. Di bagian timur Indonesia, ditepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua mencapai uas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan mangrove Indonesia (Santono, et al., 2005).

Thursday, September 1, 2016

Laporan Praktek Ekologi Hutan di Cagar Alam Tangkoko

I.   PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Hutan dengan berbagai fungsi dan manfaatnya memberikan pengaruh yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan manusia juga menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada ketergantungan manusia pada sektor kehutanan menjadi semakin meningkat sehingga dapat mempengaruhi kondisi pengelolaan hutan secara lestari, yang dalam perkembangannya diharapkan dapat menambah nilai ekonomi, sementara proses ekologis internal dalam ekosistem hutan tetap terpelihara dengan baik. Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998), hutan adalah masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon-pohonan dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan. Hutan memiliki komposisi jenis dan struktur yang berbeda bergantung pada kondisi setempat.
Hutan tidak terlepas dari ilmu ekologi. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Salah satu hutan yang berada di Provinsi Sulawesi Utara dan masih terjaga kelestariannya adalah Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih Tangkoko.
Untuk lebih meningkatkan pemahaman ekologi dan komposisi jenis serta struktur hutan, maka dilaksanakan praktek lapang ekologi umum. Salah satu hutan yang dijadikan lokasi praktek di Provinsi Sulawesi Utara adalah Taman Wisata Alam (TWA) Batu Putih Tangkoko. Praktek lapang ini merupakan salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Samratulangi. Kegiatan praktek lapang ini dilaksanakan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa tentang ilmu ekologi.
B.  Maksud dan Tujuan
Adapun maksud kegiatan praktek lapang ini adalah untuk memberikan pemahaman mengenai jenis tumbuhan yang ada di TWA Batu Putih Tangkoko. Selain itu, untuk mengetahui jumlah stratum tumbuhan di TWA Batu Putih Tangkoko.
Sedangkan tujuan dari kegiatan praktek lapang ini adalah untuk memenuhi tugas ekologi sebagai salah satu mata kuliah wajib Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Pertanian.
II.TINJAUAN PUSTAKA
A.  Stratifikasi Tajuk
Kanopi dari hutan hujan tropika sering kali terdiri dari berbagai lapisan tajuk. Formasi hutan yang berbeda memiliki tingkatan strata yang berbeda pula. Dalam suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi suatu persaingan antara individu-individu dari suatu jenis atau beberapa jenis, jika tumbuh-tumbuhan tersebut mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara mineral, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih berkuasa (dominan) daripada yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tumbuhan di dalam hutan. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum teratas menguasai pohon-pohon yang lebih rendah dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan (Soerianegara & Indrawan, 1988).
Richard (1966), menyatakan bahwa struktur hutan hujan tropika paling jelas dinyatakan dengan penampakan arsitekturnya, stratifikasi tajuk pohon-pohonnya, semak dan tumbuhan bawah. Stratifikasi tajuk dalam hutan hujan tropika umumnya sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1988):
a.    Stratum A merupakan lapisan teratas yang terdiri dari pohon-pohon yang tinggi totalnya lebih dari 30 m. Biasanya tajuknya diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus dengan batang bebas cabang tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini pada waktu mudanya, tingkat semai hingga sapihan (seedling sampai sapling), perlu naungan sekedarnya, tetapi untuk pertumbuhan selanjutnya perlu cahaya yang cukup banyak.
b.    Stratum B terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m, tajuknya kontinyu, batang pohonnya biasanya banyak bercabang, batang bebas cabang tidak terlalu tinggi. Jenis-jenis pohon dari stratum ini kurang memerlukan cahaya atau tahan naungan (toleran).
c.     Stratum C terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi 4-20 m tajuknya kontinyu. Pohon dalam stratum ini rendah, kecil dan banyak cabang.
d.    Statum D terdiri dari tumbuhan dengan tinggi 1-4 m. Contoh dari startum ini adalah semak-semak, paku-pakuan dan rotan.
e.    Stratum E terdiri tumbuhan kurang dari 1 m.
B.  Struktur Vegetasi
Pemahaman tentang struktur vegetasi penting dalam kegiatan penelitian ekologi hutan. Kesalahan identifikasi struktur akan menyebabkan kesalahan dalam memahami kondisi hutan yang sebenarnya. Struktur hutan yang dimaksudkan adalah komponen penyusun hutan itu sendiri. Penjelasan tentang masing-masing struktur vegetasi adalah sebagai berikut:
a.   Pohon
Tumbuhan dengan diameter lebih dari 20 cm. Pengukuran yang akan dilakukan untuk pohon adalah diameter batang, tinggi pohon serta jumlah individu dan jenis pohon. Pengukuran diameter batang dilakukan pada ketinggian 1,3 meter atau 20 cm di atas akar papan jika akar papan lebih tinggi dari 1,3 meter. Pengukuran tinggi pohon adalah tinggi bebas cabang. Ukuran petak (kuadran) untuk pengukuran pohon adalah 20 x 20 meter.
b.   Tiang
Tumbuhan dengan diameter antara 10-20 cm. Pengukuran dilakukan pada petak subkuadran berukuran 10 x 10 m. Sama dengan pohon, maka parameter pengukuran adalah diameter tiang, tinggi tiang bebas cabang, jumlah tiang dan jumlah jenis. Pengukuran diameter batang juga dilakukan pada ketinggian 1,3 meter.
c.   Pancang
Pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta diameter batang kurang dari 10 cm. Ukuran petak pengamatan yang digunakan untuk pengukuran pancang ini adalah 5x5 meter. Tidak seperti tiang dan pohon, diameter pancang tidak diukur. Pengukuran hanya dilakukan pada jumlah individu dan jumlah spesies. Karena pada tahap pertumbuhan pancang, yang penting untuk diketahui adalah kerapatan dan frekuensinya.
d.   Semai / anakan
Anakan pohon adalah regenerasi awal dari pohon dengan ukuran ketinggian kurang dari 1,5 meter. Ukuran petak yang digunakan untuk pengukuran anakan adalah 2x2 meter. Sebagaimana pancang, tahap pertumbuhan anakan hanya dihitung individu serta jenis anakan saja. Tidak perlu dilakukan pengukuran diameter batang.
III.     KONDISI UMUM LOKASI
A.  Letak dan Luas
TWA Batu Putih Tangkoko adalah cagar alam yang berada di Desa Batu Putih, Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Cagar alam ini memiliki luas sekitar 8.745 hektare. TWA Batu Putih Tangkoko ini merupakan tempat perlindungan Monyet Hitam Sulawesi dan Tarsius.
Dalam Cagar Alam Tangkoko terdapat Taman Wisata Batuputih dan Taman Wisata Alam Batuangus. Secara geografis, cagar alam ini terletak di antara 125�3' -125�15' BT dan 1�30'-1�34' LU. Cagar Alam ini berbatasan langsung dengan Cagar Alam Gunung Duasudara. Kawasan cagar alam ini dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara.
B.  Iklim
Kawasan ini termasuk zona iklim B, dengan curah hujan sebesar 2.500 - 3.000 mm per tahun. Adapun suhu rata-rata antara 20 �C dan 25 �C. Musim kemarau berlangsung dari April hingga November dan musim hujan dari bulan November hingga April.
C.  Topografi
Kawasan ini memiliki topografi landai hingga berbukit yang terdiri dari hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan, dan hutan lumut. Di kawasan ini terdapat tiga puncak gunung yaitu Gunung Tangkoko (1.109 m) dan Gunung Dua Saudara (1.109 m), serta
Gunung Batuangus (450 m) di bagian tenggara. Di sebelah timur laut terdapat Dataran Tinggi Pata.
D.  Flora
Di kawasan ini terdapat hutan hujan yang didominasi coro (Ficus septica Burm.f.), ares (Duabangamoluccana), gora hutan (Phaleria capitata Jack.), mangga hutan (Buchanania arborescens Bl.), lengki (Leea angulata Korth.), bintangar (Kleinchofia hospita L.), bombongan (Bignoniaceae), dan nantu (Palaquim obtusifolium). Di hutan lumut bisa dijumpai edelweis (Anaphalis javanica) dan berbagai spesies kantong semar, salah satunya Nepenthes maxima. Selain itu, terdapat tumbuhan pantai seperti ketapang, pohon bitung, pandan, jati, dan mahang (Macaranga).
E.   Fauna
Fauna yang terdapat di dalam kawasan Cagar Alam Tangkoko terutama di TWA Batu Putih diantaranya adalah Monyet hitam sulawesi (Macaca nigra), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus (Ailurops ursinus), kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis), anoa, tupai (Tupaia sp), musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroekii).
Selain itu, pada tahun 1980 dicatat sejumlah 140 spesies burung, termasuk Julang sulawesi (Rhythitceras cassidix) dan Maleo (Macrocephalon maleo) yang endemik Sulawesi. Spesies lain di antaranya pergam hijau (Ducula aenea), srigunting jambul-rambut (Dicrurus hottentottus), jalak tunggir-merah (Scissirostrum dubium), raja-udang pipi-ungu (Cittura cyanotis), udang merah sulawesi (Ceyx fallax), celepuk sulawesi (Otus manadensis), Sulawesi hornbill (Penelopides exarhatus).
Jenis reptilia dan ular yang dijumpai adalah ular sanca kembang (Python reticulatus), kobra (Naja naja), ular anang (Ophiophagus hannah), Tropidolaemus wagleri, soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), biawak indicus (Varanus indicus), dan cicak terbang sayap merah (Draco sp.). Satwa laut di antaranya penyu hijau (Chelonia mydas), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
IV.       METODE PELAKSANAAN
A.  Waktu dan tempat
Waktu pelaksanaan praktek lapang selama 3 hari mulai tanggal 10 sampai dengan 12 April 2015. Adapun lokasi praktek di Cagar Alam Tangkoko tepatnya di Taman Wisata Alam Batu Putih, di Desa Batu Putih, Kecamatan Bitung Utara, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara.
B.  Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan antara lain :
1.    Alat tulis menulis (kertas, bolpoin, pensil, penghapus dan penggaris)
2.    Seperangkat komputer
3.    Perlengkapan camping
4.    camera
C.  Metode pengamatan
Variabel-variabel yang diamati dalam praktikum ini adalah jumlah stratum, jumlah jenis, jumlah individu dan tinggi pohon. Pengamatan dilakukan dengan membuat petak ukur berukuran 20 x 20 m untuk mengamati jenis pancang, tiang dan pohon. Sedangkan untuk tingkat semai dilakukan pengamatan dengan membuat subpetak berukuran 2 x 2 m. Setelah diketahui jenis tanamannya, dilakukan penghitungan jumlah pada setiap jenis tersebut, kemudian dilakukan pengamatan stratum tajuk tumbuhan. Setelah itu dilakukan Pengamatan jumlah stratum dengan mengamati tutupan tajuk tumbuhan yang terdapat dalam petak ukur.     

Petak ukur pengamatan jenis tumbuhan di TWA Batu Putih
V.  HASIL PENGAMATAN
A.  Komposisi Jenis
Jumlah jenis yang dijumpai pada setiap pertumbuhan tanaman dalam petak ukur di hutan TWA Batu Putih Tangkoko dapat dilihat pada Tabel 1.

Laporan Praktek Ekologi Hutan di Cagar Alam Tangkoko
B.  Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut nampak bahwa dalam petak pengamatan terdapat 23 jenis baik pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon. Komposisi jenis tersebut digunakan untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis pohon dalam hutan. Adapun jumlah jenis yang terbanyak pada tingkat semai adalah bunga macan. Pada tingkat pancang, jumlah jenis yang terbanyak adalah kayu kapur dan sirih hutan, sedangkan jumlah jenis terbanyak pada tingkat tiang adalah langehe. Untuk jumlah jenis terbanyak pada tingkat pohon adalah jati sebanyak 7 pohon.
Adanya variasi dari jenis-jenis yang dominan dan kodominan pada setiap tingkat pertumbuhan memberikan pengertian bahwa jenis dominan pada suatu tingkat pertumbuhan tidak selalu dominan pada tingkat pertumbuhan yang lain. Sesuai data tersebut, menunjukkan bahwa pada tingkat semai terdapat jenis tanaman bunga macan yang mampu bertahan dalam naungan. Kemudian pada tingkat pancang terdapat jenis tanaman kayu kapur dan sirih hutan. Begitu juga pada tingkat tiang dan pohon, terdapat tanaman langehe dan jati yang mampu mempertahankan hidupnya.
Selain jumlah jenis tumbuhan, dilakukan pengamatan stratifikasi tajuk tumbuhan. Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenis-jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran). Dalam sebuah kanopi hutan, pohon-pohon dan tumbuhan terna menempati tingkat yang berbeda dan dalam hutan hujan tropika akan ditemukan tiga sampai lima strata (Misra, 1980).
Suatu masyarakat tumbuhan akan terjadi persaingan antara individu-individu dari satu jenis atau berbagai jenis. Jika mereka mempunyai kebutuhan yang sama dalam hal hara, mineral, tanah, air, cahaya dan ruangan. Sebagai akibat adanya persaingan ini, mengakibatkan jenis-jenis tertentu akan lebih menguasai atau dominan dari yang lain, maka akan terjadi stratifikasi tajuk tumbuhan di dalam hutan (Soerianegara & Indrawan 1988).
Di dalam masyarakat tumbuhan pada hutan, terjadi persaingan antara individu-individu suatu jenis (spesies) atau berbagai jenis, dalam hal mendapatkan mineral tanah, tropika air cahaya dan ruang. Hutan pada TWA Batu Putih Tangkoko memiliki stratifikasi tajuk yang lengkap yaitu mulai dari strata B, strata C, strata D dan strata E.
Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa tegakan terdiri dari satu lapisan yaitu lapisan dengan tinggi sekitar 4 - 20 m (strata C). Pepohonan ini tumbuh lebih berdekatan. Tajuk sering membulat dan memanjang. Struktur tegakan menggambarkan kondisi suatu tegakan hutan dimana struktur tegakan ini dapat dilihat berdasarkan tingkat kerapatan. Struktur tegakan dapat dilihat, baik secara vertikal maupun horizontal. Stratifikasi tajuk, berkaitan erat dengan penguasaan tempat tumbuh yang dipandu oleh besarnya energi dari cahaya matahari, ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi pertumbuhan individu komponen masyarakat tersebut.
Selain strata C, terdapat strata D yang cukup dominan dimana perkiraan tinggi tegakan pada strata ini sekitar 1 � 4 m. Sedangkan untuk strata E sangat minim dengan tinggi kurang dari 1 m. selain itu terdapat strata B dengan tinggi lebih kurang 20 � 30 m. Namun, jenis tumbuhan pada strata ini sangat sedikit jumlahnya, sehingga tutupan tajuk terhadap tanaman lainnya tidak terlalu rapat.
VI.       KESIMPULAN
A.  Kesimpulan
Sesuai hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa terdapat 23 jenis tumbuhan pada petak ukur baik untuk tingkat semai hingga tingkat pohon. Jumlah jenis yang paling banyak dijumpai pada petak ukur untuk tingkat semai adalah bunga macan. Untuk jenis tumbuhan yang paling banyak dijumpai pada tingkat pancang adalah kayu kapur dan sirih hutan. Sedangkan untuk jenis tanaman yang paling banyak dijumpai pada tingkat tiang adalah langehe dan jenis yang paling banyak djumpai pada tingkat pohon adalah jati.
Selain itu, dapat disimpulkan bahwa pada petak ukur terdapat 4 stratum tumbuhan yaitu strata B, strata C, strata D dan strata E. Namun, diantara strata tersebut, paling banyak adalah merupakan strata C yaitu tumbuhan yang memiliki tinggi sekitar 4 � 20 m. Stratifikasi tajuk tersebut dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenis-jenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran).
B.  Saran
Sekiranya data hasil pengamatan ini masih belum sesuai maksimal, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui indeks kaenekaragaman jenis dan tingkat stratifikasi tajuk tumbuhan di lokasi TWA Batu Putih Tangkoko tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Koswara, Acep. Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan. 2008. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Marpaung, Boy Andreas. 002. Struktur Vegetasi. (didownload tanggal 15 April 2015)
http://id.wikipedia.org/wiki/Skala_waktu_geologi(didownload tanggal 15 April 2015)
http://www.pengertianilmu.com/2014/12/pengertian-stratifikasi.html(didownload tanggal 15 April 2015)

Saturday, August 27, 2016

Dampak Perladangan di Hutan

Makalah Dampak Perladangan di Hutan
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia kehilangan hutan aslinya sebanyak  72% dari luas hutan yaitu  lahan  yang rusak sebesar  101.73 juta Ha dan 59.62 juta Ha berada dalam kawasan hutan.Pada periode tahun 1970 hingga 1990-an, laju kerusakan hutan diperkirakan antara 0,6 sampai 1,2 juta ha per tahun.  Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World�s Forests, FAO (Food and Agricultural Organization) menempatkan Indonesia di urutan ke-8 dari sepuluh negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Dengan laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai 1,87 juta ha dalam kurun waktu 2000 � 2005, mengakibatkan Indonesia menempati peringkat ke-2 dari sepuluh negara, dengan laju kerusakan tertinggi dunia.   Banyak sekali faktor yang mempengaruhi kerusakan hutan tetapi faktor penyebab kerusakan hutan terbesar adalah faktor sosial.Salah satu faktor sosial itu adalah perladangan.

Makalah Dampak Perladangan di Hutan
Masalah perladangan berpindah di Indonesia dipandang sebagai kegiatan yang melanggar hukum. Isu pengurangan emisi, deforestasi, dan degradasi menambah pelik permasalahan �perladangan� yang sebenarnya sudah diterapkan oleh masyarakat tradisional secara turun-temurun dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Apalagi dengan kaitannya dengan emisi global, penggunaan api atau aktivitas lain di areal hutan yang dianggap meng-emisi-kan gas rumah kaca menjadi su hangat yang dihubungkan dengan banyaknya kampanye untuk mengurangi emisi dan makin menentang kegiatan perladangan itu sendiri.
 Mengingat berbagai macam masalah yang ditimbulkan oleh perladangan berpindah baik bagi hutan, manusia dan alam, masalah perladangan berpindah patut ditinjau lebih lanjut sehingga dan wawasan dalam mencari solusi untuk menangani perladangan berpindah dapat diketahui dan diaplikasikan.
B.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk menelaah tentang masalah perladangan berpindah, mengetahui penyebab masyarakat memilih perladangan berpindah, akibat yang ditimbulkan perladangan berpindah serta solusi dalam mengatasi kerusakan hutan akibat perladangan berpindah.
BAB II
PERMASALAHAN
Pedidikan masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari mata pencaharian menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah dibandingkan dengan menanam atau menebang pohon karena pohon membutuhkan jangka tumbuh yang cukup panjang dan penjualan kayu terbilang sulit karena harus mempunyai izin penebangan.
Perladangan liar  ini dapat merusak hutan karena jangka waktu rotasi perladangan yang dari waktu ke waktu semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan. Para ahli menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam periode 20 tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat diperbaiki. Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin mendesak. Tidak heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat menjadi 6 hingga 8 tahun bahkan kurang dari itu.
Selain konsekuensi penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan hutan. Definisi degradasi agak bersifat subjektif  memiliki arti yang  berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat.  Rimbawan memiliki persepsi  yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang  terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu  point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang  menjadi tertunda atau terhambat semuanya.  Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi  ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau.
Di kawasan dataran tinggi Indonesia khususnya di luar Pulau Jawa, sering ditemukan praktek-praktek pertanian yang kurang ramah lingkungan. Memang praktek-praktek ini didukung oleh sejumlah alasan tradisi, namun tetap saja berakibat pada terancamnya kelestarian hutan. Salah satu contohnya adalah pola tebas bakar. Pola ini sangat umum dilakukan para peladang. Pada bulan-bulan Juni hingga Agustus, lahan ditebas. Setelah kayu dan dedaunan dinggap cukup kering, pada bulan September dimulailah ritual pembakaran. Lahan hasil pembakaran tersebut siap untuk ditanami dengan berbagai macam tanaman palawija bergitu hujan turun.
Praktek ini ternyata sangat mengancam kelestarian hutan. Jumlah organisme baik makro maupun mikro menurun drastis sejak hutan ditebas hingga dibakar. Unsur-unsur hara tanah pun ikut berkurang akibat terbakar api atau pun terkikis air dan angin (erosi). Kondisi ini diperparah dengan diabaikannya pembuatan terasering dengan alasan durasi penggunaan lahan yang tidak terlalu lama (maksimal 2 tahun).
Masalah lainnya adalah masih banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk membersihkan lahan di hutan meskipun pemerintah telah mencanangkan program �zero burning� yaitu pembersihan lahan tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di Sumatera, dilaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1.    Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan;
2.    Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman pangan;
3.    Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagitanaman dan tanah;
4.    Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh;dan
5.    Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan pathogen
Akibat sistem tebas bakar inilah maka terjadi ketidakseimbangan unsur hara karena hara mineral hilang selama masa pertanaman dan tidak dapat dipulihkan hanya dalam waktu yang singkat.
Permasalahan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang juga semakin hangat diperdebatkan sejak masyarakat global paham akan emisi dan perubahan iklim global. Tidak dapat dipungkiri bahwa 20% emisi gas rumah kaca global terjadi karena pola penggunaan lahan dan perubahan yang terjadi di beberapa wilayah tropis. Para peladang dianggap  sebagai penyebab degradasi hutan. Muncul juga kehawatiran penerapan REDD dapat membatasi ruang gerak masyarakat terhadap sumber daya yang mereka miliki.
Keterkaitan deforestasi, pembangunan dan kemiskinan sangat kompleks dan bersifat spesifik. Namun demikian, penggunaan api sebagai metoda pembersihan lahan disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya deforestasi. Meski demikian, pada kenyataannya perubahan penggunaan lahan tanpa menggunakan api dapat menyebabkan hilangnya persediaan karbon dalam jumlah besar. Larangan penggunaan api dapat berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Jika dilaksanakan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap penghidupan masyarakat, REDD dapat memperburuk permasalahan konflik dan kemiskinan di pedesaan, dengan resiko riil berupa peningkatan penggunaan api/�kebakaran� sebagai senjata, tanpa memperhatikan manfaat lingkungan yang seharusnya bisa didapat.
BAB III
PEMBAHASAN
Perladangan berpindah tanpa rotasi yang cukup dan melalui cara pembakaran lahan hutan akan mengakibatkan kerusakan kenekaragaman hayati serta sumberdaya tanah dan air (erosi, kesuburan tanah menurun, meningkatnya air permukaan, rusaknya habitat satwa, berubahnya ekosistem kawasan, pemadatan tanah), bencana lingkungan (banjir, longsor, kekeringan sumber air), perubahan iklim lokal (meningkatnya suhu, berkurangnya hujan, menurunnya kelembaban) serta pencemaran lingkungan.
Bekas perladangan liar/areal terbuka ditandai dengan jenis-jenis vegetasi yang ada seperti alang-alang, sirih-sirihan, jenis Euphatorium dan Tremor. Salah satu yang bisa dilakukan untuk membuat lahan berpindah ini menjadi bisa layak kembali sebagai hutan adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut dengan pohon-pohon jenis pionir yang memang cepat tumbuh. Jenis-jenis pionir setempat yang potensial untuk ditanam antara lain: Jabon(Antrochepalus candamba), Binuang laki (Duabanga moluccana), Binuang Bini (Octomeles sumatrana), dan Sungkai (Peronema canescens). Sedangkan jenis cepat tumbuh antara lain adalah Melina (Gmelina arborea). Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia Mangium), dan jenis lainnya.
Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery).  
a.    Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebut sebelumnya.  
b.    Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis eksotik.  Dalam hal ini tidak ada upaya untuk  merecreate ekosistem asli.  Tujuannya hanya untuk mengembalikan hutan  pada kondisi stabil dan produktif.  Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli.  
c.     Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan. Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodiversitas asli dari suatu areal yang terdegradasi.
Akan tetapi, masih ada kegiatan ladang berpindah yang mendukung keseimbangan ekosistem. Salah satu contoh  kegiatan sistem perladangan berpindah yang tidak merusak hutan adalah yang dilakukan oleh orang Dayak di Kalimantan.Kebudayaan Dayak di Kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi panjang.
Semua  masalah ini tentu membutuhkan kebijakan yang adil dari pemerintah karena tidak semua kegiatan ladang berpindah dianggap dapat membuat hutan terdeforestasi. Hal-hal yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam menangani masalah perladangan berpindah antara lain adalah:
a.    Mengadakan dialog publik menyangkut masalah perladangan berpindah dan meningkatkan transparansi dalam pengambilan keputusan,. Diperlukan  adanya kejelasan dalam masalah fungsi hutan bagi masyarakat, hak penggunaan hutan dan hak pemanfaatan lahan (lembaga kehutanan dan tata kelola, serta isu pertanahan) dan perlu
b.    Menciptakan platform terpadu untuk menangani masalah hutan dan pertanian beserta kebijakannya.
c.     Meningkatkan kapasitas dalam penyelesaian konflik atas lahan berbasis pada Analisa sejarah hak (atas lahan) dengan menggunakan kerangka hukum yang ada, dimana pengelolaan hutan didelegasikan kepada Hukum Kehutanan.
d.    Mendukung pembangunan pasar bagi produk hasil hutan melalui sertifikasi yang membedakan domestikasi dan semi domestikasi produk dari sumber daya alam lain yang masih belum dibudidayakan dan masih memerlukan perlindungan.
e.    Menghargai masyarakat  lokal dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta mengkaji secara kritis subsidi bagi tanaman monokultur
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Alasan dilakukannya perladangan berpindah adalah demi memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar hutan yang  pendidikannya tergolong sehingga menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah. Akan tetapi, perladangan berpindah ini menyebabkan masalah yang merugikan hutan, manusia dan juga alam antara lain penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan hutan dan meningkatkan emisi global jika pembukaan lahan dilakukan dengan pembakaran. Cara yang dapat ditempuh jika sudah terjadi perladangan berpindah adalah dengan meregenerasi hutan dengan menanaminya tanaman pioneer sehingga hutan itu kembali produktif.
B. Saran
 Masalah perladangan berpindah perlu diperhatikan oleh pemerintah. Hutan yang terdegradasi akibat dijadikan areal ladang memang merupakan masalah serius, tetapi itu semua tak akan terjadi jika pemerintah menyediakan lahan khusus menanam tumbuhan produktif.  Pemerintah juga seharusnya memberikan pengetahuan kepada setiap masyarakat disekitar hutan tentang hak pemanfaatan hutan dan pertanian sehingga terlihat batas yang jelas dan tidak membingungkan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arkanuddin. 2008. Sistem Perladangan Orang Dayak. http://prof-arkan.blogspot.com/2012/04/sistem-perladangan-dan-kearifan_25.html. Diakses pada gari Kamis, 6 desember 2012
Kada,Zefirinus.2008.Kelestarian Hutan Indonesia. http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20081003033818. Diakses pada hari Kamis, 6 desember 2012
Sultan,Sudirman.2012. Prosedur Perlindungan Hutan. http://pengamananhutan.blogspot.com/2012/05/kenali-prosedur-perlindungan-dan.html. Diakses pada hari Kamis,6 desember 2012.
Utomo, Budi. 2008. Rehabilitasi Hutan. USU e-Resipotory.Medan

Friday, August 26, 2016

17 Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Hutan

A. Kerusakan hutan akibat ulah manusia (human destructions)
1. Illegal logging (Penebangan liar).
Penebangan liar bukan saja dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai tindakan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan memenuhi kebutuhan keluarga. Kegiatan ini juga dilakukan oleh para pengusaha, bahkan pengusaha yang mendapat ijin HPH/IUPHHK juga melakukan penebangan liar di luar areal yang telah ditentukan. Penebangan liar yang terjadi dilakukan pada lahan hutan produksi, hutan lindung, sampai ke dalam kawasan konservasi termasuk di dalamnya kawasan Taman Nasional, Suaka Margasatwa, dan Suaka alam pun ikut ditebang. Untuk masalah penebangan liar ini harus dipikirkan dan dicari jalan keluarnya secara serius cara penanggulangan, agar hutan tidak dibabat sampai habis.
2. Pembakaran hutan yang disengaja.
Masyarakat membuka lahan dengan cara membakar, bila kebakaran ini tidak terkendali dapat meluas dan menyebabkan kebakaran hutan yang lebih besar. Dengan cara membakar dianggap pembukaan dan pembersihan lahan lebih mudah dan murah.

Untuk menciptakan kondisi areal pertumbuhan yang baik pohon kayu putih pada hutan alam sering dilakukan pembakaran untuk mempermudah tumbuhan tersebut memperbaharui diri memunculkan tunas-tunas baru.
3. Perambahan hutan.
Perambahan hutan oleh masyarakat untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan dengan membabat dan menebang pohon merusak kondisi hutan alam. Masyarakat mengambil hasil untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari hutan dengan cara merusak. Ada juga perambahan hutan dilakukan karena diperalat oleh para �cukong� untuk mengincar kayu dan membuka lahan kelapa sawit.
4. Perladangan berpindah.
Pengertian dan definisi dari Perladangan berpindah adalah suatu sistem bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat secara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cara membuka lahan hutan primer maupun sekunder.
Perladangan berpindah dilakukan oleh masyarakat tradisional dalam pengolahan lahan untuk menghasilkan bahan pangan. Bercocok tanam secara tradisional dilakukan dengan membuka lahan baru ketika hasil panen dari suatu lahan mulai menurun. Perladangan berpindah adalah warisan turun-temurun karena sudah menjadi tradisi dalam bercocok tanam.
Perladangan berpindah memberikan kontribusi yang nyata terhadap kerusakan ekosistem hutan terutama pada pulau-pulau yang berukuran kecil. Selain itu perladangan berpindah dan kebakaran memiliki korelasi yang positif, karena musim berladang umumnya pada musim kemarau. Hasil penelitian menunjukan pada setiap musim kemarau terjadi kebakaran hutan karena faktor pembukaan lahan dengan cara membakar.
5. Pertambangan.
Usaha pertambangan yang dilakukan berbentuk pertambangan tertutup dan pertambangan terbuka. Pertambangan terbuka adalah pertambangan yang dilakukan di atas permukaan tanah. Bentuk Pertambangan ini dapat mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya; termasuk pertambangan yang dilakukan di areal hutan. Pertambangan terbuka menghilangkan semua vegetasi yang berada di permukaan karena tanah akan dieksploitasi dan diangkut untuk mengambil mineral tambang yang terkandung didalamnya.
6. Transmigrasi.
Tujuan utama program transmigrasi adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi.
Namun Kebijakan pemerintah untuk meratakan penduduk ke seluruh pelosok tanah air dengan program ini membawa dampak terhadap kerusakan hutan. Hutan dibuka untuk dibuat pemukiman transmigrasi, dan tiap transmigran mendapatkan lahan garapan seluas 2 hektar. Hutan primer maupun sekunder dibuka untuk kegiatan program pemerintah transmigrasi ini.
7. Pemukiman penduduk.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan dasar akan perumahan semakin meningkat. Terbatasnya daerah yang dapat digunakan sebagai daerah pemukiman membuat kegiatan ini dilakukan pada areal-areal yang ditetapkan sebagai kawasan lindung. Daerah-daerah yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, dipaksakan untuk dibuat pemukiman. Daerah berlereng terjal yang berbahaya juga ikut menjadi lokasi sasaran pembuatan rumah-rumah penduduk.
8. Pembangunan perkantoran.
Areal perkantoran tidak hanya terdapat pada daerah perkotaan yang ramai. Komplek perkantoran juga dibangun pada lahan-lahan hutan, terutama kabupaten yang baru dimerkarkan dari kabupaten induk. Kabupatenatau perangkat pemerintahan baru mencari dan membuka lahan hutan untuk membuat kawasan pemukiman, kawasan industri, kawasan perdagangan dan juga untuk areal perkantoran. Pembangunan yang terjadi ini akhirnya perlu dilakukan alih fungsi lahan.
9. Pembangunan infrakstruktur perhubungan seperti jalan, lapangan udara, pelabuhan kapal, dan lain-lain.
Salah satu penyebab masih banyaknya masyarakat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan karena sulitnya jangkauan transportasi. Indonesia dikenal dengan negara kepulauan dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 pulau, pulau besar maupun kecil. Masih banyak daerah-daerah yang terisolasi dan terbelakang karena belum adanya infrastruktur transportasi yang memadai.
Pembangunan infrastruktur perhubungan merupakan hal mendesak yang perlu dilakukan. Namun pembangunan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Seperti pembangunan infrastruktur jalan, adakalanya harus memotong hutan pada kawasan lindung maupun kawasan konservasi. Cukup banyak contoh pembuatan jalan yang melewati daerah Hutan lindung, Kawasan Konservasi, Taman Nasional dan kawasan lainnya yang sebenarnya tidak boleh diadakan penebangan dan pembukaan hutan. Kerusakan hutan lain juga terjadi dalam pembangunan infrastruktur lapangan udara, pelabuhan kapal dan lain-lain.
Pembangunan pelabuhan kapal yang dilakukan di pesisir pantai yang memiliki hutan pantai atau hutan mangrove sering merusakan keberadaan hutan-hutan tersebut. Dan banyak contoh lain yang dapat dilihat di sekitar kita, mengenai kerusakan lingkungan akibat pembangunan infrastruktur perhubungan.
10. Perkebunan monokultur.
Pembangunan perkebunan monokultur maupun hutan monokultur termasuk di dalamnya Hutan Tanaman yang dilakukan pada areal yang masih berhutan sering terjadi. Beberapa pengusaha yang hanya mencari keuntungan mengurus ijin konversi lahan menjadi perkebunan atau hutan tanaman, dengan sasaran tegakan tinggal yang ada pada areal tersebut dapat diambil dan dijual sebagai keuntungan. Kemudian mereka melakukan �land clearing� dan menanam tanaman-tanaman sejenis dengan pertimbangan ekonomis. Areal hutan yang terdapat beragam jenis dirubah menjadi tanaman sejenis atau monokultur. Tanaman monokultur ini sangat rentan terhadap bahaya erosi, penyebaran hama dan penyakit, dan penurunan biodiversitas.
11. Perkebunan kelapa sawit.
Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit telah dilakukan pada beberapa daerah di Indonesia. Investasi perkebunan kelapa sawit dilakukan oleh pengusaha dari dalam negeri maupun luar negeri terutama dari Malaysia. Dalam pertimbangan ekonomis dianggap sebagai sumber keuntungan yang besar. Beberapa pihak yang pernah terlibat dan merasakan akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit menjadi sadar akan dampak negatif dari kegiatan tersebut terhadap lingkungan. Keseimbangan ekosistem menjadi terganggu akibat penurunan biodiversitas, pencemaran lingkungan dari input peptisida yang berlebihan, sulitnya seresah kelapa sawit terdekomposisi dan pemulihan lahan kepada kondisi semula memerlukan waktu yang sangat panjang.
12. Konversi lahan gambut menjadi sawah.
Proyek pembangunan satu juta hektar lahan gambut menjadi sawah pernah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan mempertahankan swasembada beras. Akibatnya lahan hutan gambut menjadi berkurang dan dampak negatif yang ditimbulkan seperti meningkatnya bahaya kebakaran hutan, memberikan sumbangan terhadap pemanasan global, berkurangnya keanekaragaman hayati dan dampak negatif lainnya.
13. Penggembalaan Ternak dalam hutan.
Walaupun tergolong kecil bila dibandingkan dengan penyebab kerusakan hutan yang lain, namun penggembalaan ternak di anggap sebagai salah satu penyebab kerusakan. Kerusakan hutan akibat penggembalaan ternak dengan cara, ternak tersebut mengkonsumsi daun-daun dan semai-semai yang merupakan tumbuhan permudaan sebagai regenerasi dari hutan tersebut. Kerusakan lain yang terjadi juga seperti kerusakan batang akibat gigitan dan gesekan tanduk ternak. Pengembalaan ternak di dalam hutan menyebabkan pemadatan tanah hutan karena diinjak-injak oleh ternak. Hal ini akan mempengaruhi proses infiltrasi atau menyerapnya air ke dalam tanah menjadi berkurang sehingga proses runoff meningkat yang menyebabkan erosi di permukaan tanah.
14. Kebijakan pengelolaan hutan yang salah.
Kerusakan hutan juga dapat terjadi karena kebijakan yang dibuat lebih memperhatikan dampak ekonomis dibandingkan dengan dampak ekologis. Selain itu juga perbedaan persepsi tentang kelestarian hutan kadang terjadi karena dasar pemahaman yang berbeda. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa kebijakan pengelolaan hutan yang salah dari pemerintah sebagai suatu �pengrusakan hutan yang terstruktur� karena kerusakan tersebut didukung oleh perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
Persepsi dan pemahaman masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam terutama mengolah lahan-lahan milik mereka dengan menanam tanaman semusim yang lebih cepat menghasilkan dibanding dengan tanaman berumur panjang termasuk tanaman kehutanan.
15. Serangan hama dan penyakit.
Penyebaran hama secara luas dalam suatu hutan dapat terjadi diakibatkan oleh penggunaan peptisida yang berlebihan. Hama dan penyakit menjadi resisten dan tidak dapat dibasmi malah berkembang dengan pesat kemudian menyerang tumbuh-tumbuhan dan pohon di dalam suatu areal hutan.
B. Kerusakan hutan akibat alam (natural disasters).
15. Kebakaran hutan.
Kebakaran hutan merupakan penyebab kerusakan hutan yang setiap tahun terjadi di Indonesia, bila musim kemarau berkepanjangan pada suatu daerah. Indonesia ditunding sebagai negara pengekspor asap kebakaran hutan ke negara-negara tetangga. Selain dapat memusnahkan tumbuh-tumbuhan dan kehidupan fauna di sekitarnya, kebakaran hutan menghasilkan asap yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dan keselamatan penerbangan.
Api yang timbul pada kebakaran hutan terjadi akibat gesekan batang atau cabang pohon. Dari penginderaan jauh lewat satelit dapat dilihat "hot spot" yang muncul di dalam areal hutan bila terjadi suatu kebakaran hutan.
Selain musim kemarau yang berkepanjangan sebagai salah satu faktor penyebab terjadi kebakaran hutan, ada juga beberapa faktor pemicu terjadi kebakaran hutan yaitu pembukaan lahan gambut sehingga sinar matahari masuk ke lantai hutan dan menyebabkan areal gambut menjadi kering dan mudah terbakar.
16. Letusan Gunung Berapi.
Bencana alam gunung meletus merupakan suatu daya alam yang dapat merusak hutan dan habitat satwa liar bahkan memusnakan kehidupan yang ada di wilayah tersebut. Gunung meletus adalah gejala vulkanis yaitu peristiwa yang berhubungan dengan naiknya magma dari dalam perut bumi. Magma adalah campuran batu-batuan dalam keadaan cair, liat serta sangat panas yang berada dalam perut bumi. Aktifitas magma disebabkan oleh tingginya suhu magma dan banyaknya gas yang terkandung di dalamnya sehingga dapat terjadi retakan-retakan dan pergeseran lempeng kulit bumi. Peristiwa vulkanik yang terdapat pada gunung berapi setelah meletus (post vulkanik), antara lain: terdapatnya sumber gas H2 S, H2O,dan CO2 dan Sumber air panas atau geiser. Sumber gas ini ada yang sangat berbahaya bagi kehidupan.
17. Naiknya air permukaan laut dan tsunami
Permukaan air laut yang naik termasuk didalamnya bencana tsunami dapat mengakibatkan kerusakan hutan. Hutan-hutan di bagian pesisir menjadi rusak karena aktivitas alam ini. Walaupun hutan-hutan di pesisir dianggap suatu cara untuk mengurangi dampak kerusakan dari tsunami tetapi hutan tersebut juga ikut terkena dampaknya.