Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, May 27, 2016

Silaturahmi ke Sekolah dan Temanku

Baca sebelumnya Malaikat di Kesialanku

Paginya, saya bangun. Mandi, siapkan beberapa stel pakaian. Tak lupa minta saku mingguan ibuku. Tiap minggu saya meminta Rp. 100.000,00, untuk kebutuhan makanku di Semarang. Saya masih punya sisa saku di lemari. Ku simpan uang itu untuk ke pesta pernikahan temanku.

Saya berangkat pukul 09.10 pagi dari rumah menuju Kudus. Lebih kurang Satu jam menggunakan motorku. Motor pemberian kantorku. Supra 1997. 

Saya ikuti jalani hingga Kudus menuju Pati. Saya memilih jalan lingkar Kudus-Pati. Sesampainya di lampu Megawon. Saya ingat jika hari itu sabtu. Saya pun membelokkan ke jalan Jenderal Sudirman Km.4 ke arah barat traffic light Ngembalrejo.

Cukup 3 menit dari belokan traffic light ini. Saya masuk ke halaman sekolahku. SMA 1 Bae Kudus. 

Kuparkir motor di halaman parkir guru. Saya buka helm. Tukang kebun yang dulu, hingga saya lulus 2009, menyapaku : soko ngendi mak? (Dari mana mak (mak = Demak, nama kotaku, panggilan akrabku)) 
"Dari rumah." Jawabku.

Kami berbincang sebentar. Nostalgia. Saya lalu pamit. Masuk ke ruang guru. Kusapa satu persatu guruku. 

Diam sambil berjabat tangan, saya mengingat nama guruku. Saya buka memori otakku. Guru yang kutemui ini, dulu mengajar apa?. Terus saja saya membuka ingatan hampir 7 tahun lalu.

Wali kelas, 12 Ips 1 hingga 12 IPS 4. Masih kuingat. Bu Asri, bu Dewi, Pak Bambang (wali kelasku 12 IPS 4), kebetulan wali kelas 12 IPS 2 tak ada. Tak lupa satu guru, yang selalu kukunjungi ketika bada lebaran : Ibu Alfiah. Wali kelasku saat kelas 10-8. Dia bagai Ibuku. Entah energi apa yang buat saya mengaguminya. Aku suka doanya, setiap bersilaturahmi : Semoga menjadi orang sukses dan berguna !

Tak semua guru saya salami. Karena beberapa dari mereka tergolong baru. Malah ada temanku, di IPA 3 jadi guru. Saya lupa namanya. 

Setiap saya salami. Mereka mengingat. Saya juga. Pertanyaan dari mereka tergolong klasik. Kamu kerja, kuliah, atau bagaimana?.

Saya pun jawab ulang ke setiap guru : Saya kuliah di Universitas (tak kusebut namanya) jurusan teknik. Angkatan 2011, baru 5 tahun.

Tanggapan mereka : kamu dulu IPS, kok bisa masuk teknik. Saya beri alasan masa depan: kebetulan peluang kerja di teknik makin banyak.

Setelah di ruang guru saya pamit. Berkeliling sebentar. Update ke path. Kemudian ke koperasi, gedungnya berganti dan dipindah sejak 2012. Pengelola koperasi ini dua wanita.  Lagi-lagi saya tak ingat namanya. Hanya mengingat wajah mereka. Mereka ingat saya, tanpa nama. 

Puas ketemu mereka semua. Saya berkeliling. Bangunan sekolahku nampak berbeda. Jauh lebih baik.

Saya kembali ke parkiran, merekam salah satu sudut sekolahku.

Saya temui kembali tukang kebun di parkir sekolah. Masih seperti dulu. Hanya gurat wajah dan uban nampak di rambutnya. Pak Mus.

Selesai menemui pak Mus dan satpam. Saya pamit menuju Jekulo sebelum ke Pati, mampir ke temanku, Baskoro.

Lebih kurang lima belas menit kutempuh. Sambil mengingat rumahnya. 

Di pintu gerbangnya, saya peradukan gembok dan pintu besi. "Dak..dak..dak.."

Temanku baru bangun tidur. Sementara waktu menunjuk pukul 11.36. Saya dipersilakan masuk, dan kuparkir motorku di halamannya yang luas.

Dia tanya alasanku berkunjung dan menawariku minum. Sempat cerita dia mengontak beberapa teman. Saya mengiyakan dan akan berkeliling hingga magrib. Karena saya akan ke Pati. 

Dia pamit mandi. 

Saya sibuk mengamati smartphoneku. Satu pesan di LINEku. teman sufiku beri pesan sudah sampai stasiun Poncol. Dia menanyakan padaku arah ke Pati. Saya tunjukkan angkutan menuju terminal Terboyo, lalu ke Pati, harus naik apa.


Setelah itu temanku keluar temuiku. Mengobrol ngalor-ngidul. Dan mengajakku ke sebelah teras, tempat nongkrong kami. Dia mengambil laptop kerjanya. 

Teman yang dikontak tiba. Anjar. Dia bekerja di salah satu bank swasta di negara ini. Kami saling menimpali kesibukan masing-masing. Di teras tempat nongkrong kami, dia mengambil gitar kesayangannya. Kami jamming hingga magrib.

Malaikat di Kesialanku.

Sepulang dari Yogyakarta, setelah bersilaturahmi ke maiyahan Yogyakarta, dan temanku hingga beberapa hari. Aku pulang bada salat jumat dari terminal Jombor menuju Sukun, Banyumanik. Saya lupa mengontak teman sufiku . Lupa dia sudah sampai mana.

Ada kisah menarik buat saya setelah dari Yogyakarta. 
"Saya sampai sukun, Banyumanik pukul 17.00 WIB. Turun dari bus. Saya kemudian menuju angkutan kota (angkota) menuju Jatingaleh. Sialnya angkota itu ngetem agak lama. Saya belum salat duhur dan ashar. Lupa jamak qashar.
Saya sempat menanyai supir angkota. Perkembangan dari masa ke masa, pekerjaannya. Dia mengungkapkan kegelisahan setelah kendaraan makin memenuhi jalan.
Selang 10 menitan dia supiri angkotanya. Melewati lampu merah tugu Diponegoro Tembalang menuju turunan Gombel dan sampai Jatingaleh. Saya turun, memberinya pecahan 5000 tanpa kembalian. Agak mahal angkota ini!.

Jalur perempatan PLN Jatingaleh padat. Mobil yang keluar tol memadati pintu keluar. Untuk menyeberang menuju stadiun jati diri -jalan lebih mudah menuju sampangan- saya harus menghentikan salah satu mobil. Polisi kewalahan.
Saya pun jalan kaki. Kulihat angkutan ngetem. Ketika kudekati kosong. Tak bersupir. Kesialan beruntun buat saya. Saya teruskan jalan. Tak lupa mengontak temanku. Namun temanku menolak membantuku. Makin sial hari ini. 
Saya terus susuri jalan ini. (Terus terang saya buta nama jalan, jadi tak mengenal nama jalan kulalui ini.). Jalan terus hingga menuju Unika. Jalanan menanjak. Saya lumayan capek memanggul tas dan membawa helm. Dari Yogyakarta belum makan. Tanpa asupan apapun selama perjalanan. Uang tinggal beberapa ribuan saja. Saya ingat bahan bakar motorku. Ingin mampir minimarket atau warung. Saya tahan. Berharap ada yang berhenti menolongku. 
Tepat di depan pintu Unika. Saya berhenti sejenak. Berpikir dan merapal doa. Hingga kuucap : ratusan kendaraan lewatiku. Tak satupun ingin menolong orang, sepertiku.

Saya jadi ingat tragedi jalan ini. Banyak begal. Apa ini penyebab mereka tak menoleh dan membantu.

Saya pun terus jalan. Hingga turunan Unika. Ada wanita menggunakan matic diam, menunggu seseorang. Ketika dekat dia berbicara padaku. Saya mengira dia tersesat.

Dia : mas, mau kemana?
Saya : sampangan mbak. Bagaimana mbak?
"Kalau dari jembatan besi ke kanan atau ke kiri", lanjutnya.
Ke kanan. Kenapa memangnya? tanyaku.
Dia : Kalau berkenan, boleh saya bantu. Aku antar, ajaknya.
Boleh. Terima kasih.
Mas bisa mengendarai motor kan?
Saya : Bisa. 
Kami pun berboncengan. Saya mengendarai motornya. Dalam pikiranku : nih orang baik sekali. Apa penyebabnya ya?

Kemudian saya pun bertanya : mbak enggak takut? Di sini kan rawan begal. Enggak curiga sama saya? Atau bagaimana ?
Dia : kemarin sih mas, kata temanku, ada ibu-ibu dibegal. Luka di kepalanya. Saya tadi lihat mas jalan dari atas. Kukira mas sama temanmu, kok bawa helm. Ketika di bawah tanjakan. Eh mas sendirian. Naluriku ya menolong mas. Kadang tiap di jalan ketemu bapak-bapak atau siapa pun di jalan, pasti kuboncengi. Kuantar mas.

Saya diam sejenak. 
Kutanya lagi : maaf mbak jadi ngerepoti. Omong-omong mbak asal dari mana? Kuliah, kerja?
Dia : saya dari lombok. Kuliah di Universitas Negeri Semarang.
Saya diam beberapa menit kemudian mengangguk.
Lombok, NTB mas. Mas dari mana? Kok bawa helm sendirian? lanjutnya.
Saya : jauh juga ya mbak. Saya dari Jogja. 
Saya pun ingat beberapa teman Lombok di Jogja. Ingin tanya padanya. Tapi saya tak enak.
Iseng kemudian saya tanya : Tahu tembakau Senang?
Dia diam belum menjawab. Selang beberapa detik dia jawab :
Maaf mas. Saya tak tahu tembakau itu. Mas tadi pulang dari Jogja. Penelitian?
Enggak mbak. Saya cuma main dan berkunjung ke temanku. Saya janji pada mereka berkunjung. 
Dia : Eh mas, asli mana kok, sampai jogja.
Demak mbak.

Sampai di pertigaan jembatan besi. Saya ingin turun. Kasihan dia jika harus ke atas, Unnes."

Obrolan ringan kami lainnya berlanjut hingga tak terasa saya berada di depan asramaku. Berulang kali saya ucapkan terima kasih.
Kami pun tak saling mengenal. Tak menanyai namanya. Hanya saja saya berharap pada Tuhan, kelak kami bertemu lagi. 

Siapa pun kamu. Entah membaca ini atau tidak. Kamu masih terngiang di pikiranku. Terima kasih mbak.


Versi media sosialku : Path yang sinkron ke fb, dan tumblr.








Lanjutan ceritanya :
http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/05/berkunjung-ke-suluk-maleman-pati.html