Propellerads

Tuesday, July 29, 2014

Triangulasi

Oleh : Canny Watae


Global Positioning System (GPS) membantu sebuah obyek menentukan lokasi tepatnya di permukaan bumi menggunakan minimal 3 satelit yang mengorbit di luar angkasa. Satelit pertama akan menentukan suatu luasan di mana kemungkinan lokasi obyek berada. Satelit kedua akan membentuk daerah arsiran dalam luasan tersebut (yang lebih kecil) di mana obyek lebih mungkin berada. Satelit ketiga akan memastikan obyek berada pada titik mana di dalam arsiran tersebut. Ini disebut Triangulasi. Perangkat GPS (sudah sangat umum karena rata-rata dibenamkan di smartphone anda) akan mengolah ketiga sinyal satelit dan menyajikan data lokasi di layar. Dengan teknologi termaju yang ada saat ini di kalangan sipil, minimal 3 satelit adalah syarat mutlak. Kasus hilangnya pesawat Malaysia flight 370 masih misteri karena sinyal PING dari pesawat nahas itu hanya dimonitor oleh satu satelit saja, yang kemudian hanya bisa “merekomendasi” area pencarian yang sangat luas. Militer (negara maju) mungkin sudah punya sistem penjejakan obyek dengan hanya satu satelit saja. Namun jikalau sudah ada pun, tidak akan diumbar ke publik luas terkait kerahasiaan sistem persenjataan yang tidak boleh diketahui pihak mana pun selain Militer itu sendiri.
Pemilu Presiden di Indonesia baru saja melewati tahapan krusial pemungutan dan penghitungan suara. Untuk negara mini seukuran Singapura atau Swiss, penanganan penghitungan suara adalah pekerjaan yang sangat mudah. Hanya menghitung beberapa juta suara yang terkelompok ke dalam beberapa ribu kotak suara saja. Untuk negeri yang besarnya milyaran kali gajah seperti Indonesia, penghitungan tidaklah mudah. Semesta data yang mencakup 190 juta suara itu terkelompok ke dalam 470 ribu lebih kotak suara. Amerika Serikat dengan jumlah pemilih lebih banyak daripada Indonesia bisa relatif lebih cepat melakukan penghitungan suara karena fully-computerized. Sedari awal penghitungan suara dapat dilakukan oleh mesin. Kertas (ballot) suara dapat dibaca oleh mesin, lalu mesin mengeluarkan angka perhitungan.
Di Indonesia, kertas suara sedari awal tidak dibaca oleh mesin. Suara dihitung manual, lalu hasilnya dicatat manual dengan tangan, lalu dihitung lagi secara manual di tingkat kelurahan, lalu ke tingkat kecamatan (masih banyak yang manual, ada yang mulai menggunakan mesin), lalu ke kabupaten (mulai menggunakan mesin), lalu ke tingkat provinsi (sudah menggunakan mesin), dan terakhir ke tingkat nasional (menggunakan mesin).
Dengan demikian, hasil penghitungan tingkat nasional rentan terhadap ketidaksesuaian dengan data paling awal. Karena, sistem ini rentan terekspos human-error dan terutama: utak-atik data pada tingkat manual di bawah. Untuk itu, Triangulasi adalah kunci pengecekan data.
Jika seorang Kepala Dinas mengatakan unit kerjanya berhasil mencapai target penerimaan PAD sebesar 25 Milyar rupiah, maka seorang Wartawan yang baik tidak akan menerima mentah-mentah klaim tersebut. Sebelum menulisnya menjadi berita, si Wartawan harus melakukan cek triangulasi terlebih dahulu. Ia akan ke kantor Dinas Pendapatan, lalu ia setidaknya mencari info anonim dari dalam Dinas terkait. Data berupa segitiga dengan titik sudut Kepala Dinas, Data Dinas Pendapatan Daerah, dan Sumber Anonim. Dari situ, berita dapat dituliskan. Bisa jadi judulnya adalah: Klaim PAD 25 Milyar, Kepala Dinas Bohong. Atau: Raih PAD 25 Milyar, Disetor Hanya 20 M. Atau: Sukses Besar, Dinas Berhasil Raih PAD 25 Milyar.
Begitu pula hasil penghitungan suara Pilpres. Sepanjang tidak ada yang keberatan, pengecekan tidak perlu dilakukan. Jika ada yang keberatan, maka sebagai kewajiban konstitusional semua lembaga Negara, pengecekan harus dilakukan.
Segi tiga data suara Pilpres sangat mudah ditentukan. Sudut pertama adalah KPU, sudut kedua adalah Capres, dan sudut ketiga adalah aparat keamanan. Unsur terakhir ini sudah jamak melakukan pengumpulan data untuk keperluan analisis intelijen (itu tugas mereka untuk menjaga stabilitas Negara). Masih ada sudut ke-4 sebenarnya, tetapi bersifat lemah, yaitu Warga. Dengan terbenamnya fasilitas kamera pada telepon seluler low-end sekalipun, Warga dengan mudah mendokumentasi hasil perhitungan suara di TPS masing-masing. Di bawah sumpah, data Warga yang bersifat lemah menjadi kuat dan valid oleh pengadilan.
Data dari sudut KPU sebagaimana saya uraikan di atas memiliki eksposur kerentanan tinggi. Pola perhitungan manual pada beberapa jenjang adalah titik terlemahnya. Data sudut pertama ini perlu dikonfrontasi dengan data dari sudut Capres. Jika konfrontasi data ini masih juga belum menghasilkan kesepakatan, maka sudut ketiga dapat digunakan. Atas perintah Mahkamah Konstitusi, aparat keamanan dapat membuka data mereka. Bisakah? Bisa. Apa sih yang lebih tinggi dari Konstitusi di Negara berlandas dan beratap Konstitusi ini?
Sudut data KPU sendiri bukanlah sudut yang tajam. Mengapa? KPU mengacu pada data rekap berjenjang dari bawah, pada saat yang sama KPU juga memaparkan data kepada publik via situs internet. Jadi, KPU sendiri memiliki 2 data. Data pertama (rekap berjenjang) yang rentan kesalahan, data kedua (lembar C1 di situs) yang rentan perubahan. Adalah menarik untuk membandingkan apakah hasil rekap berjenjang sama persis dengan total suara pada data C1 di server.
Karena diletakkan di tempat terbuka, meskipun di”kunci”, pihak-pihak dengan kemampuan khusus bisa meretas masuk dan melakukan modifikasi data. Pihak mana pun yang memanen data dari sini (media massa, warga spontan, maupun institusi pendidikan) tidak dapat memastikan apakah panenan data-nya data asli atau data modifikasi. Jika hasil perhitungan panen data itu meleset 1 suara saja dari hasil rekap nasional KPU, maka dapat dipastikan ada modifikasi data.
Kemarin saja, sudah ada yang“meng-audit” celah keamanan server KPU tempat data dirumahkan. Si “auditor” mengklaim berhasil meretas masuk ke dalam sistem. Bukti yang sempat dipublikasikan melalui sebuah “escrow blog” (blog sementara, karena tidak mungkin si auditor menunjukkan diri atas dasar pertimbangan hukum), sangat mengesankan. Si auditormenunjukkan beberapa password administratur pengelola situs. Yang paling mengesankan adalah si auditor menunjukkan adanya aplikasi “Real Count” yang sebenarnya ada di server KPU, yang, entah mengapa selama ini tidak pernah dipublikasi oleh KPU. Sampai-sampai, warga, media, dan institusi harus bergotong-royong memanen data. Aplikasi “Real Count” yang beralamat di IP address 103.21.228.33 itu menghilang dari tempatnya pada sore setelah alamatnya terpublikasi di pagi hari kemarin. Dan sampai tulisan ini menjelang saya Update ke Status, alamat itu masih belum berpenghuni lagi. Padahal, menurut domain registrar APNIC, alamat itu adalah benar dialokasikan untuk KPU RI.
Sudut data dari Capres relatif lebih tajam daripada sudut KPU. Karena, di tiap TPS Capres menempatkan Saksi. Capres yang tidak menempatkan Saksi di TPS punya harapan tambahan dengan cara membandingkan data rekap manual KPU dengan data C1 di server KPU. Ketidaksamaan data menunjukkan adanya modifikasi yang tentu saja memberatkan KPU sebagai tergugat. Jika data Capres yang diajukan sebagai bukti bersifat modifikasi, maka si Capres yang menanggung resiko hukumnya.
Sudut ketiga datanya bersifat sangat tajam. Karena merekalah aparat keamanan. Mereka mengambil data apa adanya. Aparat tidak akan berani macam-macam karena toh Kontestasi Pilpres ini adalah ajang seleksi calon Panglima Tertinggi mereka nantinya.
Persidangan di Mahkamah Konstitusi, jika ada Capres yang menggugat, akan menjadi arena Triangulasi Data Pilpres. Masalahnya adalah bukan pada berapa besar selisih suara yang terbentang antar kedua Capres, tetapi apakah selisih tersebut tercipta atas dasar kejujuran dan keadilan, yang adalah landas utama pelaksanaan Pemilu.

sumber : https://www.facebook.com/canny.watae/posts/10152582974383984

0 komentar: