Memasuki tahun ketujuh ini, kami masih mengadu nasib di kota lain. Tuntutan dari sang bos yang terikat kontrak kerja dengan pabrik ratusan ton jadi alasan kami. Tujuan kami ialah Pasar Ikan Lamongan. Terletak di sudut kota Lamongan, yang beralamat di Jalan Kusuma Bangsa.
Akses ke pasar tersebut cukup mudah bagi siapapun. Bagi yang berasal dari barat (Semarang) ataupun timur (Surabaya), cukup turun ke terminal Lamongan. Setelah di terminal bisa jalan kaki turun di pinggir terminal. Jalan kearah timur, ada pertigaan, masuk sekitar 250 meter setelah kafe dan karaoke 'Rasa Sayang'. Jika naik becak / betor (becak bermotor), tanya pengemudi, nanti akan diantarkan. Tak jauh kok dari terminal Lamongan.
Petunjuk di atas cukup ya.
Kami warga Semarang dan sekitarnya malah memilih pasar ikan di Lamongan. Namanya juga mengadu nasib. Eh, bukan itu maksudku. Bukankah lebih enak di Semarang, kan. Efisien dan hemat. Pasar ikan Semarang atau biasa disebut pasar pathok (karena dulu terdapat kuburan), bisa disebut juga pasar kobong (tahun 90an pernah terjadi kebakaran), merupakan pijakan pertama bos saya merintis usaha. Bos saya adik kandung ibu. Anak nenek nomor tiga. Pasar kobong hanya buka setiap malam. Lagi pula ukuran pasar kobong lebih kecil dibandingkan pasar ikan Lamongan. Bisa dikatakan pasar ikan Lamongan salah satu pasar ikan terbesar di pulau Jawa.
Karena bos suplier udang. Dan beberapa titik pertambakan udang di sekitar Semarang telah dipercayakan pada kami untuk dipanen. Jadi kami tahu kualitas udang yang dijual di pasar tersebut.
Kami pedagang musiman. Hanya datang sekitar bulan februari hingga juli. Atau hingga puasa saja. Setelah itu, kami kembali ke Semarang.
Di pasar ikan ini jujur, nilai termahal. Lebih mahal dari miliaran uang yang dibelanjakan bos saya di pasar tersebut setiap bulan. Dari tahun 2009 hingga kini kami terus belajar akan hal itu. Kami acap kali, menemui para pedagang tak jujur. Berulang kali setiap bulan kami kehilangan jutaan rupiah. Bisa dikatakan akibat kelengahan kami yang dimanfaatkan oleh pedagang atau memang kepribadian mereka yang tak jujur. Sejak tahun 2009 kami melakukan pembelian secara cash. Modal ini yang menarik minat pedagang untuk menjual udangnya pada kami.
Tahun 2009, pertama kali kami datang, kami tak punya tempat tinggal. Kami tidur di pasar berteman nyamuk dan kekumuhan. Tahun 2010 Kami coba mengontrak sebuah rumah. Namun sama saja. Rumah yang kami tempat agak seram. Tahun 2011 kami balik lagi tidur di pasar, sembari mencari rumah yang dijual untuk jangka panjang. Tujuan kami ingin mengembangkan sayap dan menetap di sana setiap tahun. Karena aturan perda setempat mewajibkan harus punya domisili di pasar. Akhirnya pada tahun 2012 keinginan itu tercapai. Sebidang tanah berukuran 1000 m² beserta bangunannya dapat kami beli. Kami pun juga membeli lapak di pasar tersebut. Cukup fantastis. Bos rela mengeluarkan 1,3 milyar. Untuk membeli lapak dan rumah.
Kami melakukan pembayaran tunai setiap hari, kecuali bank tutup. Setiap hari ratusan juta kami ambil di salah satu bank di Lamongan. Uang dari Semarang dikirim dan kami mengambilnya untuk belanja.
Ojek Panggul, Pedagang dan Pengemis.
Hal menarik di pasar ikan ini ialah ojek panggul, pedagang dan peminta-minta.
Bisa dikatakan penghasilan mereka melebihi pegawai negeri swasta. Maksudku pegawai negeri sipil. Ojek panggul. Dalam setiap mengantar mereka meminta imbalan dari pedagang dan pengepul. Umpama saya pedagang. Saya mau jual barang ke pengepul. Nah ojek panggul akan menerima dari saya dan pengepul sekian ribu rupiah sekali antar, tergantung ukuran. Umpama ember cat 1000 hingga 2000. Blong ukuran kecil hingga besar Rp. 3000 - Rp. 5000. Bisa diakumulasikan seperti ini : seandainya 1 barang mendapat upah 10000/blong, jika dia mengirim 30 blong. Silakan hitung sendiri. Lumayan kan.
Cerita lainnya ialah pengemis dan pengamen yang berjumlah puluhan orang setiap hari. Bagi mereka, pasar merupakan ladang subur meminta uang. Jika dihitung secara kasar seperti ini : di pasar ada sekitar 500 pengadu nasib. Mereka terdiri dari pengepul, pedagang kecil seperti yang saya sebut, juga pedagang makanan di sekitaran pasar. Andai pengemis ataupun pengamen itu meminta setiap pedagang dan pengepul Rp. 500 x 500 = Rp. 250000. Belum lagi para pengemis dan pengamen ini jika mengambil keuntungan dari ikan yang jatuh, tidak ditimbang. Dengar-dengar para pengemis punya rumah yang layak tinggal. Semoga berita ini benar.
Pengamen lain yang buat saya agak merinding ialah bencong. Mereka datang setiap hari minggu.
Acap kali mereka mengganggu konsentrasi kasir. Lagi asyik membayar nota dan menghitung uang, tiba-tiba datang meminta uang. Tanpa memedulikan sang kasir sedang sibuk. Kesabaranmu diuji di sana. Kami sering cekcok dengan mereka. Bahkan ada juga ojek panggul yang tak jujur. Jika kami lengah mereka asal sebut. Padahal yang dikirim tak sesuai.
Warung nasi dan kopi.
Di salah satu sudut pasar kita akan menemukan berjejer warung. Kopi atau pun makanan. Saya selalu menyempatkan makan di warung Umi. Wanita paruh baya dari Madura. Suaminya bekerja di Arab sebagai supir.
Setiap pagi dan siang saya menyempatkan mampir. Kopi yang dia sajikan hasil olahan sendiri. Biji kopi digoreng dan diselep sendiri. Saat menggoreng akan tercium aroma kopinya di siang hari. Sungguh menggodaku.
Masakan Umi yang paling enak ialah Rawon. Sepuluh ribu rupiah sudah medapatkan nasi Rawon + 1 gorengan + teh. Namun saya jarang sarapan. Rawon ini hanya saya dapatkan sekitar pukul 10.00 WIB. Jika Umi sedang repot saya menyajikan sendiri makanan. Sering kali saya menambah telur. Dan harga tetap sama 10.000.
Sejak pukul 05.30 Umi sudah di pasar. Menyiapkan apapun untuk menyajikan semuanya sendirian.
Kalau saya bosan ke Umi saya menyempatkan ke warung Marpuah berjarak beberapa meter dari Umi. Di warung ini pula, kopi dibuat sendiri seperti halnya Umi. Bahkan jika siang saya sulit membedakan mana kopi masakan Umi dan Marpuah. Marpuah mempunyai masakan khasnya : Ikan Patin, ikan Lele, Ikan mujair, Kuah kuning dan Sayur bayem. Cuma 12.000 sudah bisa merasakan kenikmatan masakannya.
Keluarga Baru
Sistem yang kami bangun di pasar ini dengan cara kekeluargaan. Antar pedagang kami saling kenal. Bahkan sebelah kami, bos es batu, lapaknya baru kami beli, menganggap kami saudaranya. Keluarga dari sisi bisnis ataupun apa kurang tahu motivasi utamanya beliau mendekati kami. Bos es batu itu, bernama H. Jenni. Setiap kali datang ke Lamongan, kami pasti meminjam motornya. Begitu pun ketika saldo uang tunai masih sedikit. Berapapun kami pinjam tanpa anjungan ataupun materai, sebagai bukti peminjam. Lidah tak bertulang menjadi modal kami meminta tolong.
0 komentar:
Post a Comment