Propellerads

Tuesday, April 5, 2016

Tujuh Belas Ribu Kartu Nama

Oleh : Cak Nun , 8 Oktober 1983

Bersurat kepada seseorang yang "selama tujuh tahun, tiap hari, pukul 11 siang hingga 2 malam, bergaul di tengah ribuan hostes, massage girls atau apa pun namanya di tiga streambath terkenal". Sesudah membaca tulisan saya tentang "martabat wanita modern", ia tulis surat imbauan itu karena "banyak pertanyaan di benakku yang tak mendapat jawaban".
Ia membantah asumsi saya tentang motivasi ekonomis para pelacur. Karena "delapan dari sepuluh 'wanita ribuan' yang kuamati itu rata-rata sudah punya rumah, cukup mewah, bahkan sampai dua biji, biasanya yang satu dikontrakkan". Dikatakan jarang yang sekadar punya motor roda dua. Tabanas mereka aduhai. Penghasilan selama empat bulan rata-rata tujuh belas juta rupiah, bisa untuk membeli Honda Accord mutakhir. Bagaimana mungkin?
"Tiap hari mereka meladeni lima sampai tujuh pamong negeri kelas menegah. Ada hostes top kerja lima tahun punya 17.000 kartu nama. Saingannya kerja enam tahun dapat 15.000 kartu nama. Bonus ekstra mereka selalu fantastis." Oke. Tapi apa sesungguhnya "kartu As" mereka ini, hingga memperoleh duit begitu banyak?
"Ialah bermain tidak hanya di tempatnya!" Baiklah sebut nama Allah, tapi yang dimaksud tentu anu, anu, dan anu (maaf, ini sudah disensor---red.). Jumlah angka tentu gampang diterobos, karena negoisasi dilakukan pada kondisi psikologi yang revolusioner dan penuh nafsu dan kesusu.
Tentu "dampak kultural"-nya macam-macam. "Di rumah, mereka tak puas melayani suami sehabis di 'kantor' makan 6-7 manusia. Soal buang air seni terasa panas dan perih, itu biasa. Tapi batuk tak mau sembuh, buang air besar seperti menyiksa padahal bukan menderita wazir, bernapas terasa sesak padahal tak sakit asma ......" Hmmm.
Dikemukakan, semula tak banyak yang melakukan pariwisata liar seperti itu. Sering juga bermula "normal" saja, tapi akhirnya---yah, Adam tak cukup makan sebiji khuldi. Dampak lain? "6/10 tiap enam bulan menggugurkan kandungan."
Ada beberapa pengemukaan data yang saya sensor demi stabilitas. Tapi yang penting sahabat kita ini menyuruh saya mengira-ngirakan, berapa banyak uang yang dikorup untuk kegiatan yang "telah, sedang, dan akan terus berlangsung" ini.
Bayangkan, katanya. (Jelas, kalau sekadar membayangkan saja saya jago). "Peraturan perizinan hitam atas putih itu nol besar. Saya berani sumpah, saya bukan orang kejam yang mau memfitnah." Ia berkata bahwa sudah ada tempat begituan yang jadi abu karena kutukan Allah, tapi kini sudah berdiri megah pasar kelamin baru, tempat hiburan Martini kontemporer menjadi perangsang korupsi. "Wanita-wanita itu pada hakikatnya pemalas, pemeras, dan pemacu penyelewengan."
Ia menghimbau : "Apakah Bapak-bapak tidak menyadari timbulnya keresahan sosial bila hal itu terus berlanjut? Telah kusaksikan ratusan keluarga berantakan karenanya----keluarga para hostes maupun konsumen." Ia tidak rela "kemajuan bangsa Indonesia terhambat dan terkotori oleh beberapa bagian dari masyarakat yang berlepotan kemaksiatan dan bejat moral."
Demikianlah, seperti orang kehujanan tanpa bisa berteduh, dengan murung saya membaca akhir suratnya yang menghimbau saudara-saudaraku, agar bersedia menghimbau. Marilah kita ini kemerdekaan ini dengan imbau-menghimbau. Sebab mungkin hanya itu kemampuan pamungkas kita.

Diambil dari buku "Slilit Sang Kiai".

Baca lainnya disini

0 komentar: