Kendaraan umum bergantian menginjakan kaki di batas garis putih. Segelas jus alpukat yang mesra dengan sedotan tepat di atas serbuk papan pijakan membuat ku cemburu bersama dengan sore yang menggelap. Entah kenapa kopi hitam saat ini tak hadir, mungkin dia juga cemburu dengan sore yang masih sibuk atau aku yang sengaja menghiraukanya. Kesekian detik waktu berbunyi dan orang-orang masih melangkah entah kemana tujuan mereka, bunyi gelas di sebelah kanan saya mengetuk indra kalau kopi hitam tenyata berada di sana dan hanya diam menatap mata si pelayan pemilik kedai.
Nalar mulai memadu dengan rasa untuk mengalirkan huruf-huruf imajinasi, bukan tak berpikir normal tapi aku hanya sedikit cemberut pada Tuhan yang tetap tersenyum dengan kehendaknya. Cemberut megagumi ciptaanNYA, cemberut dengan cemberutNYA sendiri yang ditiupkan kedalam jasad buta ini.
Sekilas ku teringat si hitam yang masih termenung menatap si cepak di depanya mengutak-ngatik smartphone yang lupa kalau hidup bukan hanya di dunia maya. Mungkin benar filosofi ngaur teman saya � Smartphone menjauhkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat�.
Sepakat atau tidak, biarlah realita yang menjadi hakim dan jaksa sedang saya dan si kopi menjadi saksi tidak ahli dengan kebodohan yang dihaluskan kata kekhilafan.
Tak lama kemudian segerombalan gadis-gadis cantik mendekat ke papan meja kosong dengan pasangan kursinya. Si gadis berwarna ungu dengan lantangnya membanting sebungkus rokok yang, mungkin dia lelah dengan sore yang telah gelap disertai batrei HP nya yang hampir habis.
Hari makin gelap, namun awan malas mengilang dan masih terlihat di sudut dunia. Dia sedikit nakal melawan realita yang telah terkonsep dalam gerakan jagad raya.
Para gadis di sebelah semakin ramai dengan alunan kata senonok yang mereka indahkan dengan hiasan asap rokok dan aku masih tetap dengan rasa syukur akan keberagaman ini, konsep jagad raya ini dan sebatang rokok yang juga masih di tangan kiri.
Ato Basahona
Manado, 21 September 2016
0 komentar:
Post a Comment