Propellerads

Tuesday, July 29, 2014

Ensiklopedi Pemikiran Emha Ainun Nadjib

  • Kenapa kita tak bersedia merasa sebagai anak yang sedang belajar, sehingga ketidakmampuan itu wajar dan tak perlu ditutup-tutupi. Kenapa kita cenderung menciptakan diri menjadi nabi-nabi kecilyang bersabda dengan gagah perkasa
  • Tak seorang pun mampu mengada tanpa karena.
  • Yang kita kehendaki dari anak-anak kita terutama adalah kepatuhan dan ketertiban dalam ukuran-ukuran kita sendiri. Kita kurang memiliki tradisi empati untuk membayangkan dan sampai batas tertentu membiarkan anak-anak kita menjadi diri mereka sendiri.
  • Sastra sekuler tidak otomatis steril dari Tuhan dan ketuhanan, seperti halnya atheism hanyalah tahap atau batas pengetahuan ketuhanan tertentu, atau kita tidak bisa menyatakan, kita hidup di bumi dan Tuhan nun di sana. Semua terletak dalam ruang lingkup Tuhan. Oleh karena itu tidak usah kaget apabila menjumpai sebuah karya sastra sekuler tiba-tiba terasa sedemikian mendalam kadar Religiusitasnya.
  • Kesadaran satu adalah proses perjalanan menuju Tuhan atau menempuh metode di dunia ini untuk tiba kembali pada-Nya. Manusia menempuh karier, meraih status, nama baik, dan hiasan harta benda, yang seluruhnya itu diorientasikan kepada penemuan Tuhan. Karier, nama baik, harta benda adalah thariqat menuju Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri
  • Manusia mesti memutuskan sesuatu untuk menemukan dirinya kembali, memilih tempatnya berpijak, menentukan kedudukannya. Di tengah ilmu yang makin menumbuhkan ruh. Di tengah pengebirian agama, pendangkalan kebudayaan, ironi kenyataan yang palipurna, penindasan yang disamarkan, penjajahan dengan senyuman. Ini zaman darurat, apa yang bias kau perbuat? Mengubah masyarakat? Itu impian sekarat.
  • Kehidupan berhenti ketika seseorang memilih aman daripada gelisah dan resiko.
  • Proses apapun, apalagi perlawanan dan pembebasan, mestilah ditempuh dengan kerja keras terus-menerus, penguasaan atas segala yang diperlukan oleh proses itu, serta persediaan waktu yang tidak pendek.
  • Puisi bukan apa-apa. Ia hanya bikinan manusia. Sedang manusia bukan apa-apa, kecuali ia yang bekerja agar ia lebih dari sekedar bukan apa-apa. Apapun saja bukan apa-apa kecuali Tuhan.
  • Saudaraku, dimana saja aku adalah aku, sebagaimana di hutan pun engkau adalah engkau.
  • Di tengah seribu hal yang mensumpekkan, tak kurang jua yang meringankan.
  • Yang terkenal belum tentu bermutu, yang bermutu belum tentu dikenal.
  • Kita terseret untuk membenci orang kaya, atau mencintai kemiskinan, saking getolnya membela orang miskin. Jadi sama halnya dengan setiap orang memeras orang miskin, karena sangat getol dengan kekayaan. Artinya, apakah untuk menjadi kaya harus melalui memiskinkan orang dahulu?
  • Kambing jangan seenaknya menyimpulkan bahwa harkatnya lebih tinggi daripada ayam, karena makanannya rumput dan dedaunan sementara ayam makan debu dan ulat-ulat kotor. Sebab kebudayaan ayam memiliki perspektif nilai-nilainya sendiri, memiliki acuan estetika dan hukum kesehatannya sendiri, yang tidak bias dibandingkan dengan kerangka acuan kambing.
  • Persetubuhan itu baik, tapi jika dilakukan tidak pada tempat dan waktunya, ia menjadi pemerkosaan. Korupsi itu toh hanya mengambil, Cuma yang diambil bukan haknya.
  • Keburukan itu tidak ada. Keburukan adalah kebaikan yang tidak diletakan pada ruang dan waktu yang semestinya. Sama halnya dengan kebencian, sesungguhnya ia adalah gelar dari cinta yang disakiti.
  • Zaman ini adalah zaman yang paling merasa tahu segala sesuatu, tetapi dimana-mana terjadi kedunguan dan ketidaktahuan terhadap hakikat kehidupan dibanding peradaban-peradaban masa silam. Alangkah sakit jiwanya.
  • Zaman sekarang adalah zaman yang mengaku paling sehat dan memuncaki ilmu dan tekhnologi kesehatan, tetapi berderet-deret penyakit baru muncul. Alangkah sakit jiwanya.
  • Zaman sekarang adalah zaman dimana nilai-nilai, substansi, makna kata, hakikat realitas, dijungkir-balikan secara sengaja seperti menaruh bola mata dibalik ketiak. Alangkah sakit jiwanya.
  • Orang yang kehilangan, setidaknya akan ingat bahwa ia kehilangan. Tapi kalau terlalu lama ia merasa kehilangan sesuatu, akhirnya yang hilang bukan hanya sesuatu itu, tetapi juga rasa kehilangan itu sendiri.
  • Yang ada tinggi rendah itu hanya nilai. Kalau manusia ya sama saja.
  • Manusia apapun posisinya harus belajar bergaul dalam kesejajaran harkat, dalam keadilan dan keseimbangan nilai diantara mereka.
  • Baik orang penindas maupun orang yang tertindas layak kita cintai. Hanya saja, cara kita mencintai harus berbeda. Kaum tertindas kita cintai dengan santunan dan sumbangan perubahan, sedang kaum penindas kita cintai dengan cara menegur atau mendongkelnya.
  • Tidak ada barang yang hilang, paling-paling pindah tempat.
  • Kenapa pengetahuan kalian tidak membuat kalian mengerti?
  • Khilaflah pandangan yang mengatakan bahwa manusia berhak dan mampu menyutradarai dirinya sendiri secara total. Namun lebih khilaf lagi jika dikatakan bahwa manusia, rakyat, lahir ke dunia hanya sekedar untuk menjalani penyutradaraan.
  • Kita dilarang membiarkan kebodohan. Apalagi kebodohan yang sombong.
  • Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada sesama manusia.
  • Biarlah ia menipu, biarlah ia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak hamba-hamba-Nya menipu-Nya setiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan menghentikan terbitnya matahari gara-gara dia jengkel ditipu manusia?
  • Jangan sampai kita mengeksploitasi persahabatan atau kemanusiaan untuk hal-hal yang bersifat professional.
  •  Saya bukan seorang yang professional yang setiap orang yag menemui saya harus mematuhi sistem etika yang saya berlakukan berdasarkan bidang professional saya. Saya hanya seorang awam, manusia biasa, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan setiap orang.
  • Sebagaimana saya juga mendambakan ada orang lain yang mendengarkan hati saya, maka saya belajar mendengarkan hatinya. Betapapun melelahkan.
  • Salah satu unsur cinta dewasa adalah empati: mengambil kepentingan pihak lain yang kita cintai menjadi concern (perhatian) kita. Lalu kekasih kita haus, maka kita yang gugup mencarikan air minum. Kalau kekasih kita terluka, perasaan kita yang mengucurkan darah. Kata penyair Sutardji Calzoum Bahri: yang terluka padamu, berdarah padaku.
  • Cinta dewasa yang matang adalah kesediaan untuk berkorban. Untuk hal-hal yang menyenangkan, kekasih yang kita dahulukan. Sebaliknya, untuk hal-hal yang menyengsarakan, kita yang berdiri di garis depan.
  • Kalau ada manusia yang satu-satunya cirri kualitas dan wataknya adalah “Tidak boleh dibantah”, maka derajat dan mutunya persis dengan bayi. Apakah seorang ibu membantah tangis bayinya? Apakah ia mempertanyakan kenapa bayi itu buang air kecil di depan tamu misalnya?
  • Kaum muda kita itu bagian dari komunitas mudatsirun (orang-orang yang berselimut). Oleh apa? Oleh banyak segi-seg pendidikan ketidakcerdasan, ketergantungan, tapi ironinya juga keberkuasaan. Pantas Tuhan bilang: Qum..! berdirilah. Mandirilah. Mandiri pemikiran, mandiri sikap, mandiri pilihan, mandiri politik, mandiri ekonomi, mandiri budaya, hanya dengan cara itu mereka punya perangkat untuk memenuhi amanah: Fa’angdzir..! berilah peringatan, lakukan control social. Beroposisilah terhadap kezaliman dan kepalsuan.
  • Nilai perjuangan di mata Allah dan hakikat kebenaran tidak ditentukan oleh berhasil tidaknya suatu perjuangan. Melainkan ditentukan oleh kesetiaan daya juang sampai batas yang seharusnya dilakukan.
  • Saya sangat mencintai manusia, yang baik ataupun yang jahat. Yang baik saya cintai dengan memujinya, yang jahat saya cintai dengan mengkritiknya, ishlah atau apa pun yang berorientasi kepada kebaikan dan keselamatan.
  • Renungkanlah: betapa untuk bergembira saja anak-anak kita tidak mampu menemukan bentuk yang pantas. Renungkanlah: betapa kita telah gagal mendidik anak-anak kita tentang bagaimana cara bersyukur yang berbudaya.
  • Saya sama sekali tidak khawatir bahwa budaya seks akan menjadi peradaban, seperti saya juga tidak percaya bahwa manusia akan sungguh-sungguh menjadi binatang. Tapi hal-hal sepele seperti itu membuat kita berfikir dimana sebenarnya letak kaum pemikir, filosof, budayawan, negarawan, agamawan dan lain-lain?
  •  Tak ada dosa apa pun dan tak ada kehilangan apa pun. Kecuali kita kini masih seorang purba yang melarang anak-anak kita main sepakbola hanya karena permainan itu milik belanda.
  • Menang debat belum tentu mengubah keadaan.
  • Kita memang bangsa besar yang luar biasa. Kita tersenyum, ada kepentingan atau tidak. Beda dengan di Jerman atau negara kapitalis lain. Di sana, kalau ada pelayan tersenyum, itu bukan mensenyumi anda sebagai manusia. Yang disenyumi adalah uang yang akan kau belanjakan.
  • Pikiran itu bekerja dengan sendirinya, seperti juga jantung dan usus. Bukankah seseorang tiba-tiba pada suatu malam sunyi memperoleh idea tau ilham? Atau mendadak terpikir sesuatu olehnya?
  • Kalau ia susah payah narik taksi sekedar untuk cari makan, alangkah ruginya ! hal demikian cukup dilakukan oleh ayam. Bukankah sambil menyetir taksi, dia bias merenungkan sesuatu hal, bias berdzikir dengan ucapan yang sesuai dengan tahap penghayatan atau kebutuhan hidupnya, bias mengamati macam-macam manusia, bias belajar kepada sebegit banyak peristiwa.
  • Kalian berbicara bahwa dunia sudah semakin rusak dan akan semakin rusak. Siapa yang merusak? Kalian sendiri.
  • Allah meninggikan langit dan meletakan perimbangan. Demikianlah hokum nilai Allah. Karena itu orang disuruh shalat, yaitu menyesuaikan diri dengan hokum keseimbangan itu.
  • Manusia tidak sempurna: dia harus selalu berendah hati dan siap mengakui kekurangan dan kelebihannya.
  • Atasan manusia hanyalah Allah. Hanya Allah atasan manusia. Bahkan malaikat disuruh bersujud kepada Adam.
  • Di Akhirat kelak, seluruh hakikat hidup kita mengemukakan dirinya secara jujur, tak bisa kita rencanakan, tak bias kita politisasi atau manipulasi.
  • Ada orang berjuang, berteriak-teriak, dan melaksanakan perjuangannya. Ada orang berjuang, tetapi tidak berteriak, karena teriakan mengganggu strateginya, namun mewujudkan perjuangannya. Ada orang berjuang dan tidak sibuk mengumumkan di Koran bahwa ia berjuang. Ada orang berteriak-teriak tetapi tidak berjuang. Ada orang yang tidak berteriak-teriak dan tidak berjuang… dengan berbagai variabelnya.
  • Ada orang yang mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti. Ada orang mengerti tetapi tidak mengerti bahwa ia mengerti. Ada orang tidak mengerti tetapi mengerti bahwa ia tidak mengerti. Ada orang tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti… dengan berbagai variabelnya.
  • Perkara Pilkades, Pilkada, Pilpres itu membutuhkan pelaku-pelaku dengan tingkat kecerdesan intelektual yang tinggi, bahkan kecerdasan spiritual, juga mentalitas yang canggih.
  • Saya seorang munafik, anda pasti buan. Saya hamper tidak pernah melakukan perbuatan apa pun yang saya maksudkan benar-benar untuk perbuatan itu sendiri. Hati saya penuh pamrih tersembunyi, hati saya sarat strategi penipuan. Tak hanya kepada orang lain, tapi juga diri sendiri.
  • Kalau saya shalat, bukan saya benar-benar shalat. Itu saya ngakali Tuhan. Shalat saya hanya alat untuk kemungkinan tambahan agar tercapai kepentingan tertentu. Misalkan shalat saya bertujuan agar cita-cita saya tercapai, di bidang kekuasaan, kenaikan pangkat, atau pembengkakan deposito bank saya.
  • Kalau saya berbuat baik kepada masyarakat, misalkan bikin pengobatan massal, memacu pemberantasan narkoba, member bantaun dan santunan kesana kemari, jangan dipikir tujuan utama saya adalah deretan kebaikan-kebaikan itu. Ada yang lebih focus dikandungan hati saya, misalkan ingin jadi pemimpin.
  • Jangan percaya kepada saya dan apa pun yang saya lakukan. Belajarlah meningkatkan dan merangkapkan kewaspadaan intelektual maupun spiritual. Saya seorang yang fasih bicara, mampu memesonakan orang banyak dengan ayat-ayat Tuhan yang saya bacakan, mampu memukau public dengan uraian-uraian ilmu social aplikatif empiris, tetapi kalau indicator atau parameter yang anda pakai untuk menilai saya adalah ucapan-ucapan saya, maka anda orang dungu.
  • Maksiat kepada Allah tidak hanya dosa akidah dan akhlaq, tapi juga kebodohan, salah satu sandangan rutin bangsa Indonesia. Manusia itu ahsanu taqwiim, makhluk unggulan Allah, cirri utamanya adalah pernikahan antara otak (Hardware, system saraf kesadaran) dan gelombang elektromagnetik dari Allah yang Ia sebut akal (software).
  • Salah satu jenis kebodohan bangsa Indonesia yang “saru” alias “gak ilok” adalah menjual hak demokrasi kerakyatannya dengan menerima atau menukarkannya dengan uang sogokan beberapa puluh ribu dari calon penguasa.
  • Manunggaling kawulo lan gusti : Allah dan rakyat bersatu di dalam hati pemimpin. Kalau pemimpin mengingkari Allah, Rakyat yang menangis. Kalau pemimpin menyakiti hati rakyat, Allah yang Murka
  • Semoga semua pihak tidak terkurung oleh kekerdilan emosi, nafsu subyektif yang tak dikasih helm oleh akal sehat, dan tetap percaya pada masa depan kemanusiaan dan kasih sayang Allah, yang jauh lebih besar disbanding presiden, MPR, DPR, dan Negara.
  • Betapa tak terhitung jumlah bahasa di negeri kita, sehingga betapa rawan pula itu semua dari disinformasi dan diskomunikasi.
  • Berapa puluh ribu bahasa etnik, dengan ratusan ribu macam dialeknya. Bahasa Indonesia yang seolah-olah merupakan bahasa pemersatu, itu terbagi lagi menjadi bahasa politik, bahasa birokrasi, bahasa hukum, bahasa dagang, bahasa ilmuwan, bahasa seniman, bahasa artis, bahasa wadam, bahasa pasar, bahasa preman, juga bahasa prokem yang juga punya unikum sendiri-sendiri di setiap daerah. Ditambah lagi berkembang secara dinamis dari generasi ke generasi.
  • Kalau di suatu siang yang panas gerah selintasan angin menerpa badanmu dan mengusap rambutmu, maka angin menjadi bagian dari dirimu. Segala sesuatu yang kaupandang, kaudengar, kaurasakan, kaualami, apalagi memasuki dirimu, bagian dari ingatan dan kesadaranmu, bagian dari sejarahmu. Menjadi file hard disk-mu, hidden atau unhidden.
  • Soekarno, Soeharto, SBY, Hitler, Iblis, Malaikat, apa saja, tak bisa hilang dari komprehensif hidupmu. Semula ia sekedar kita sangka merupakan “bagian dari” dirimu, suatu saat engkau menemukan ia adalah dirimu.
  • Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal-usul kebenaran dan kebathilannya, posisi halal haramnya. Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu.
  • Jangan berfikir bahwa pelaku korupsi hanya koruptor saja, sebab mereka melakukan korupsi “berkat” adanya factor-faktor lain yang komprehensif yang memungkinkannya untuk melakukan korupsi. Tegasnya, kita semua “menanggung dosa” sistemik dan structural atas penyalahgunaan obat terlarang, atas korupsi, juga atas munculnya apa yang kemudian terpaksa kita sebut sebagai aliran sesat.
  • Para ilmuwan itu lebih tertarik kepada satu tikus yang sakit disbanding jutaan tikus yang sehat. Ini hokum alam. Sakit lebih menonjol dibanding sehat. Kacau lebih menggairahkan disbanding damai. Buruk lebih laku dibanding baik. Jahat lebih sensasional dibanding mulia. Hancur lebih mudah dipasarkan dibanding bangkit. Curang lebih nendang dibanding jujur. Bentrok lebih nikmat dipergunjingkan daripada rukun.
  • Kalau member karena diminta apa hebatnya?, tetapi kalau tidak diminta kita tetap member, itu baru nikmat.
  • Tak ada hak saya untuk tidak suka kepada pengemis atau apa saja dan apa pun saja, karena mereka semua ciptaan Tuhan. Mana berani saya tidak suka karya Allah
  • Dalam menjalankan kehidupan ini, untuk kepentingan pribadi, keluarga, group, kelompok, komunitas, dan apa pun yang terkait dengan pribadi saya, sungguh-sungguh tidak boleh ada pengemisan, proposal, iklan, promosi, mengajukan diri, mencalonkan diri, atau apa pun saja yang ada frekuensi kepengemisannya.
  • Saya tidak punya keberanian memaknai kata do’a sebagai permohonan, permintaan, mengemis kepada Allah, meskipun Allah sangat mendengarkan orang yang memohon kepada-Nya. Pengertian do’a yang agak mendekati tepat atau enak, mungkin adalah menyeru atau menyapa. Berdo’a adalah menyapa Allah. Kita sapa Dia karena Dia tahu persis apa yang kita inginkan dari-Nya. “menyapa” itu statusnya “memberi”, maka lebih potensial untuk dibalas pemberian oleh Allah. Sedangkan “memohon” ya “meminta”, potensi untuk diberi lebih kecil dibanding menyapa. Sekurang-kurangnya begitulah logika saya.
  • Kalau thawaf saya beraninya menjauh-jauh dari ka’bah, karena tahu diri ini kotor tak terkira. Kalau lancang mendekati ka’bah, saya takut Allah memelototiku sebagai manusia yang tak tahu diri, GR, merasa bersih, merasa pantas dekat-dekat rumah-Nya.
  • Tak ada Nabi punya statement bahwa dirinya baik, tak ada rasul menyatakan bahwa dirinya tidak kotor. Adam menyebut dirinya kotor, juga Yunus. Muhammad menangis dalam sujudnya tiap malam meskipun secara obyektif ia hamper tak berdosa, tak member hak sedikitpun dalam hidupnya pada kerakusan, kesombongan, hedonism, bahkan kepada kekayaan. Allah menyediakan baginya gunung emas dan jabatan Nabi yang raja, Mulkan-Nabiyya, namun dia memilih sebagai abdan-Nabiyya, nabi yang jelata.
  • Allah menyatakan kalimat yang tak perlu ditafsirkan, “Yang kau buang-buang itu bisa jadi baik bagimu, dan yang kau junjung –junjung itu bisa jadi mencelakakanmu”
  • Sopan santun Jawa menyebut Nabi Muhammad dengan kanjeng Nabi. Dalam bahasa Arab: Sayyid, semacam sir, sayyidina Muhammad. Beliau pernah bilang, “saya jangan di sayyid-sayyid-kan” maka masyarakat Muhammadiyah cenderung tidak memakai gelar sayyidina. Panggil ngoko saja: Muhammad. Tetapi kalau kita menyebut pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan dengan “dahlan” saja, “si dahlan”, atau dulu ketika dia masih sugeng kita menyapa beliau “mau kemana lan?”, teman-teman Muhammadiyah banyak yang tidak siap juga.
  • Sudah terpecah dan terkeping sampai seberapa PKB juga NU? Tidak. Kita ambil perspektif lain. Itu bukan bentrok, bukan perpecahan. Itu romantisme demokrasi, itu dinamika ijtihad (perjuangan pemikiran), itu produk wajar dari tradisi berfikir merdeka, salah satu prinsip yang membuat manusia bernama manusia.
  • Kalau jumlah pemeluk Islam ada sejuta, maka dimungkinkan ada sejuta aliran. Dipersilahkan setiap orang memberlakukan tafsirnya masing-masing, dan satu-satunya yang berhak menagih pertanggungjawaban adalah Tuhan.
  • Saya orang yang tidak perduli hokum. Ada hokum atau tidak, saya tidak akan menyakiti hati manusia. Ada KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada Jaksa, Hakim, atau tidak, saya tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi,pengacara atau tidak, saya tidak akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa-apa saja.
  • Akal sehat dan nurani di kedalaman dadaku ini sudah cukup mampu menghalangiku untuk tidak berbuat buruk kepadamu, untuk tidak menyakiti keluargamu, untuk tidak mencuri, memerkosa, atau apa pun yang mencelakakan kehidupan kita bersama.
  • Aku sudah lama berlatih mencintai manusia serta berlatih untuk tidak dicintai manusia, berlatih untuk tidak menghormati, untuk diremehkan, dihina, dipinggirkan, tanpa itu semua mengurangi rasa cintaku pada manusia.
  • Hukum tidak mengerti kecuali dirinya sendiri. Ia tidak mengakui segala sesuatu yang di luar dirinya
  • Benar-benar tidak penting siapa seseorang. Apa jabatan atau status sosialnya. Dunia akhirat yang penting adalah apa yang dia lakukan untuk orang banyak. Dicatat atau tidak, diketahui atau tidak, dipuji atau tidak, mendapat tanda jasa atau tidak.
  • Orang yang baik dan tokoh yang hebat bisa tiba-tiba menyandang dosa besar karena ia tidak mempersepsi sesuatu melalui metodologi tabayyun yang maksimal. Tabayyun itu konfirmasi dan rekonfirmasi, check and richek, mendata lengkap, melakukan mapping secara obyektif, menyelenggarakan analisis secara adil, kemudian mengambil kesimpulan dan keputusan yang arif dan indah.
  • Tuhan berfirman dengan pola komunikasi diskusi, “Yang kalian benci dan singkirkan itu mungkin justru yang baik dan kalian perlukan. Sementara yang kalian junjung-junjung tiap hari, itu mungkin yang berbahaya bagi kalian”
  • Kita bangsa bersuku-suku, tetapi cita-cita kita satu. Kita bermacam-macam budaya, tetapi gawang kehidupan satu. Kita punya banyak agama, ragam nilai, pilihan-pilihan di segala sisi kehidupan, tetapi obsesi kita satu. Satu cita-cita itu ialah menjadi kaya.
  • Yang melimpah jauh lebih baik dibanding Tuhan. Korupsi jauh lebih dipercaya dibanding hakikat dan metabolism rezeki. Orang lebih tertarik kepada kekayaan dibanding keshalehan. Orang lebih tergiur kepada kejayaan dibanding kemuliaan hidup.
  • Menjadi kaya adalah isi utama kepala manusia Indonesia, dan untuk itu dipilih cara dan jalan yang paling bodoh dan malas: akting menjadi pemimpin, ustadz, artis, wakil rakyat, lembaga zakat dan infak atau apa pun
  • Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis dan shalat taubat kepada Allah gara-gara seekor unta terpeleset nun jauh disana, namun masih di wilayah tanggung jawab kekhalifahannya.
  • Kekuasaan adalah jalan paling popular untuk mencapai cita-cita supaya kaya. Maka tidak ada agenda apa pun yang lebih diutamakan dibanding apa pun dalam kehidupan bangsa Indonesia melebihi agenda politik. Siang malam, tiap bulan, tiap tahun, headline, ngrumpi, obrolan gardu, apa pun saja sesungguhnya berpangkal dan berujung pada agenda politik.
  • Kita bisa seminggu penuh ngelembur mencatati kacaunya feosalisme dan hebatnya demokrasi, atau sebaliknya.
  • Tugas pemerintah mengolah modal kekayaan Negara untuk kesejahteraan rakyat lahir bathin.
  • Derajat pemerintah ada di bawah maqam rakyat. Tugas mereka mengolah modal kekayaan Negara untuk diantarkan kepada rakyat. Demokrasi adalah satu jenis kendaraan untuk mengantarkan kesejahteraan itu.
  • Pemerintah dilarang main-main, sok kuasa, lupa hakekat demokrasi dan rakyat, merasa dri di atas rakyat, dan lupa bahwa rakyat bisa hidup tanpa pemrintah sementara pemerintah tak bisa ada tanpa rakyat.
  • Kekayaan Negara tercecer-cecer mubajir, di kuasai maling dan kaum serakah yang derajatnya sama dengan ayam yang nothol-nothol nasi berceceran.
  • Para ahli wirid meminjam kata-kata Allah SWT minhaitsu la yahtasib : mereka akan menjumpai kenyataan jauh di luar yang mereka perhitungkan. Berbagai rekayasa tidak jujur, hati yang tidak adil, dan pikiran yang tidak objektif yang menimpa rakyat Indonesia di tengah impitan dan timbunan masalah-masalah, lambat atau cepat akan mengalami produk dari ‘minhaitsu la yahtasib’ mereka melakukan tipu daya, dari local sampai internasional, dan mereka akan kejagul karena Allah SWT adalah Maha Penipu Daya.Tinggal rakyat yang di tipu daya itu mempercepat dengan tangis mereka kepada Allah SWT, atau membiarkan irama Allah SWT berlangsung apa adanya.
  • Presiden dan seluruh jajaran pejabat birokrat adalah pembantu rumah tangga rakyat.Rakyat membayarnya, menyediakannya kantor, rumah dinas, kendaraan, serta segala kelengkapan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah pihak yang di pilih, rakyat adalah pihak yang memilih. Yang memilih lebih tinggi derajatnya dan lebih berkuasa dari yang dipilih apalagi yang membayar dan yang di bayar. Yang membayar adalah bos yang di bayar adalah karyawan. Rakyat adalah juragan pemerintah adalah buruh.
  • Seluruh pasal konstitusi, hukum, dan aturan-aturan apapun dalam kehidupan bernegara, mengacu pada derajat kedaulatan rakyat yang terletak di atas kepala pejabat.
  • Kantor yang di tempati walikota itu bukan pemerintah, melainkan gedung Negara. Pemerintah tidak punya gedung, lha wongorang-orang pemerintah saja di gajih oleh rakyat. Itu gedung Negara, Negara adalah aplikasi otoritas rakyat. Esensinya itu adalah gedungnya rakyat. Juga obil yang di kendarai walikota adalah mobilnya rakyat. Dan apa saja di badan walikota yang berasal dari keuangan Negara, itu adalah kepunyaan rakyat.
  • Orang Indonesia gumunan, latah, dan gampang di bikin mabuk. Cukup di serbu dengan iming-iming. Segala yang memabukkan di masukkan ke Indonesia.
Hakikat Keberagaman
  • Pluralisme adalah hakekat hidup yang diciptakan oleh Allah.
  • Kata Nabi “menyingkirkan duri dijalanan adalah sebagian dari iman”hadits ini menunjukan universalitas perbuatan seseorang. Kalau di desa saya Jombang dulu, kalau mau pemilu, orang berfikir berdasarkan Parpol. Ada seorang anak bernama Tarwi membawa karung, tapi kemudian dia jatuh, orang nggak mau menolong karena dia Golkar. Berarti mereka kalah oleh duri yang menusuk siapa saja, dan beras yang bersedia di makan siapa saja. Filosofi duri tadi adalah menolong, titik.! Pokoknya berbuat baik adalah berbuat baik, titik.! Kalau ada yang lapar kasih makan, titik.! Tak perlu memandang apa agamanya, madzhabnya, ataupun parpolnya. Itulah hakikat dari keberagamaan
  • Antara etika, sainstika, dan estetika itu harus dinikahkan.
  • Teologinya masing-masing antara satu agama dengan agama lainnya, tapi budayanya bisa dikerjasamakan, ekonominya bisa dikerjasamakan, politiknya bisa dikerjasamakan. Bahkan dalam politik internasional, itu banyak kerjasama-kerjasama antara orang-orang Islam dengan orang-orang Kristen. Karena tidak semua orang Kristen politiknya sama dengan Josh Bush
  • Islam saya peluk, itu adalah kenikmatan dan kesucian di dalam diri saya, dan itu saya tutupi dan tidak boleh dilihat-lihat orang. Sebagaimana alat kelamin kita itu suci, sehingga harus ditutupi. Makanya jangan kita bikin alat kelamin itu tidak suci. Bentuknya saja yang lucu..!
  • Khusus bidang teologi kita sesama umat beragama tidak boleh berdebat, dan nggak usah ngomong-ngomong, karena itu aurat. kecuali berdebat masalah penanganan masalah rakyat, pengairan, atau energy alternative. Itu boleh-boleh saja.
  • Tidak ada masalah lurahnya Muslim, cariknya Katolik, kamituwonya Hindu, kabayannya Gatholoco, atau apapun. Jangankan kerja sama dengan sesama manusia, sedangkan dengan kerbau dan sapi pun kita bekerja sama nyingkal dan nggaru sawah.
  • Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
  • Sudah terpecah dan terkeping sampai seberapa PKB, juga NU? Tidak. Kita ambil perspektif lain. Itu bukan bentrok, bukan perpecahan. Itu romantisme demokrasi. Itu dinamika ijtihad (perjuangan pemikiran). Itu produk wajar dari tradisi berpikir merdeka: salah satu prinsip yang membuat manusia bernama manusia.
  • Yang paling penting itu bukan karir atau jabatan, tapi yang penting adalah kebersamaan menuju progresifitas
  • Kita diminta untuk menghadap ke depan, memperhitungkan, membaca, menganalisis, sehingga kita memiliki kesatuan arah bersama-sama.
  • Kita masih berfikir personal, parsial dan individual. NU berfikir secara NU dan untuk NU, Muhammadiyah berfikir secara Muhammadiyah dan untuk Muhammadiyah, padahal yang dibutuhkan Indonesia adalah berfikir bersama-sama.
  • Antar umat beragama harus berhubungan secara mesra dan santai
  • Tidak ada orang NU yang naik haji, tidak Muhammadiyah yanh shalat. Yang ada adalah hamba Allah yang beribadah. Tidak peduli dia NU atau Muhammadiyah. Bahkan ada masjid yang di PKS-kan.
  • Mau liberal, radikal, fundamentalis, atau apa saja, jangan ikut siapa-siapa kecuali ikut pemikiranmu sendiri yang orisinil.
  •  Ada Kristen, Islam, Hindu, Kebathinan, dsb. Tinggal bertanding, mana yang akan diterima oleh Tuhan.
  •  Kalo kambing, biarkan dia jadi kambing. Kalau kerbau, biarkan dia jadi kerbau. Yang penting jangan kambing di kerbau-kerbaukan, atau kerbau di kambing-kambingkan.
  • Orang yang saling mencintai itu akan saling memberi dan saling mengalah
  • Kita jangan kampungan..! kalau ada nyanyian yang lagamnya seperti gereja dan berbahasa inggris dianggap Kristen, kemudian jika yang berbahasa Arab dianggap Islam. Misalkan ada orang membaca mutholaah, “kana rojulun yadribu kalban” kita ucapkan “amin Ya Allah.!” Karena berbahasa Arab.
  • Yang diagungkan orang-orang modern seperti di kampus-kampus adalah sains, namun melupakan etika. Dan yang diagung-agungkan oleh kyai dan santri di pesantren-pesantren adalah etika, namun melupakan sains. Padahal keduanya harus seimbang
  • Setiap kita menutup pembicaraan kita, selalu ditutup dengan kalimat “Wabillahi taufik wal hidayah”. Taufik adalah rahmat persatuan, yaitu kita bersatu padu dengan satu sama lain yang berbeda, untuk merumuskan kehidupan yang lebih mulia. setelah itu Allah akan memberikan hidayah. Maka sebelum hidayah turun, maka harus mendapat taufik dulu, yaitu rahmat persatuan. Karena hidayah itu tidak akan turun sebelum taufik tercipta.
  • Kalau Tuhan tidak menerima hamba-Nya, lantas akan pergi kemana hamba-hamba-Nya itu selain kepada keharibaan-Nya.
sumber :
1. http://menjawabdenganhati.wordpress.com/category/emha-ainun-nadjib/ 
2.https://www.facebook.com/notes/maiyah-net/ensiklopedi-bersumber-dari-httpmenjawabdenganhatiwordpresscom20100117ensiklopedi/210025149032546
3. ditulis oleh Sanghyang Mughni Pancaniti,  dan sedikit diedit dalam susunan kata.

0 komentar: