Propellerads

Friday, January 29, 2016

Oh Dik!

Oleh : Geriel Farah Faizah (yang dipublikasikan di grup sekolah menulis facebook)

Jogja hampir kelabu. Baru saja badanku berhasil keluar dari kotakan sempit shelter Trans Jogja. Aku menemukan senyum samarmu. Berjalan menyeberang zebra cross di depan Vrederburg. Sepertinya hujan baru saja reda, meninggalkan beberapa kubangan yang membuat langkahmu sesekali berjingkat menghindarinya.

“Hai,” niatnya menyapamu renyah, tapi entah, suara yang keluar dari tenggorok justru canggung, grogi, bernada rendah. Kiraku resah yang bercokol di dada akan seketika lenyap seperti hari-hari sebelumnya saat kita berjabat tangan dan sekadar basa-basi apa kabar. Ternyata resah itu semakin mendera, entah bagaimana caranya naik ke jantung dan ikut andil memompanya dalam detak yang sangat tidak beraturan. Aku semakin gusar apalagi menemukan jabatan tanganmu sedikit bergetar. Caramu melengos, ah pasti ada apa-apa di sana, di matamu. Sedangkan kita sama-sama tahu, ada rindu yang seharusnya terpecah dengan perbincangan panjang, gelak tawamu, membagi keluh-kesah hingga mereka-reka masa depan.

Oh Dik, membunuh waktu bersamamu bukan sebatas bercumbu menuntaskan nafsu, bukan sekadar membawamu kabur ke Kali Urang dan menelusuri lekuk tubuhmu yang sekarang hanya kau balut kaus V-neck dan celana tiga perempat. Caramu mengerutkan dahi, diam dan menatap tajam, serius berfikir, atau juga sedikit kemayu menyelipkan rokok menthol, mengebulkan asap dengan angkuh sebelum berkata-kata, lalu menyambung obrolan, dari Khatmandu hingga Karimun Jawa, Das Kapital hingga Pramoedya, inflasi, nilai tukar rupiah, hingga pelecehan seks perempuan-perempuan di Afrika, semuanya seolah tanpa muara. Mengalir terus, sederhana tapi penuh gairah. Semakin mengenalmu, semakin banyak kesempatan menyelusup ke ceruk-ceruk di mana pemikiranmu bertapa, aku semakin jatuh cinta. Tingkah manjamu yang tidak berlebihan, hobimu mengeratkan genggaman lalu mengelusnya lembut, atau pelukan hangatmu, aku hanya seperti selalu menemukan suara, “Tenanglah Mas, pulanglah ke mari kapanpun kau mau. Semua akan baik-baik saja.” Diantara jibunan tuntutan dunia, menemukan sore dan senyummu adalah garba menuju gua ketenangan tanpa terlalu banyak dentuman dan gesekan. Masa bodoh mereka di luar sana menyebutku terlampau terlena. “Bukankah cinta yang tulus sudah cukup, Mas?” katamu selalu meyakinkanku, setidaknya aku terlena oleh cinta yang tulus, toh nafsu hanya bumbu.

--- --- ---

Kita berjalan dalam diam, seperti dua orang yang tidak saling kenal. Aku membuntutimu, melangkah tergesa diantara orang-orang yang berjubel merburu suvenir. Kau tidak ingin bernostalgia sepertinya, sekadar mengangkat Nikon-mu dari kalungan. Lalu membidikkan lensa ke beberapa arah. Padahal katamu dulu Malioboro selalu cantik, menggoda untuk dipotret, auranya bak perempuan bergincu merah muda. Dulu kita sering hunting bersama bukan? Aku ketularan aliran street photography-mu, hingga murtad dari landscape. “Jalanan punya segalanya, Mas. Mau drama model apa saja, asal Mas jeli. Aliran yang paling mudah mengungkap banyak cerita.” katamu dulu. Kau yang mengajarkan bagaimana candid denagan POI yang akan tampak begitu menarik, setelan aperture, memilih lensa, hingga interaksi dengan obyek.

Aku baru sadar, kita sudah daritadi melewati Bringharjo. Kujajari langkahmu, “ Eh Dik, kita mau kemana?” Datar saja kau ucapkan, sebuah kedai donat premium di dalam Malioboro Mall. “Padahal aku kangen dawet yang di dalam Bringharjo, gimana kalau ke sana saja?” Langkahmu terhenti, nah, akhirnya bertemu matamu. “Tempat seramai itu Mas. Obrolan kita…” dari matamu aku tahu, kata-katamu tercekat di tenggorok, dicekat sesak yang sedari tadi menyumpal ulu hati. Kau membuang pandangan, artinya usahaku membuat kita tidak sekaku ini kau tolak mentah-mentah. Baiklah Dik, obrolan kita memang Dewa sore ini, terserah apa maunya akan membawa kita kemana selanjutnya, hanya obrolan. Ah, begini benar!
Kita berbelok ke Malioboro Mall, kotakan kaca besar di sebelah kanan pintu masuk, kedai yang tidak terlalu ramai sore ini. Sementara di luar gerimis mulai merintis, pendingin ruangan dan dingin hujan membekukanku, juga mungkin membuat bibirmu kelu. Aku memperhatikan caramu terdiam, menatap kosong pada rintik air di luar. Kau masih suka gerimis, caramu menatapnya seolah menginginkan menari di bawahnya. Bukankah kita pernah berlarian di bawah gerimis waktu gagal memotret senja di Ratu Boko? Kau kedinginan tapi sangat bahagia waktu itu. Lalu kita naik Trans Jogja menuju kontrakanmu. Sesekali kau kagumi caraku memotret kota dengan rintik gerimis pada dinding kaca bis. “Sendu,” ucapmu, lalu kusambung, “Ya, sendu seperti wajahmu.” Kau tergelak, tawamu lepas memamerkan deretan gigi rapi hasil behel dua tahun katamu. Oh Dik, bahagia memang milik kita waktu itu.

Sejak kapan di meja kita ada dua cangkir coklat panas dan tiga buah donat warna-warni? Aku terlalu larut dalam lamunan, mungkin kau juga. Sekarang kau seruput pelan coklat panasmu. Aku menunggu, tapi tidak tahu menunggu apa.

“Jadi…” trimakasih Dik, akhirnya kau mengawali.

“Jadi… aku…” semalam sudah kususun apa yang ingin aku katakana. Tapi kemana semua. Oh Dik, aku sebenarnya tahu, kau tahu apa yang akan kita bicarakan. Social mediaku telah gamblang menceritakan semuanya, kan?

“Foto-foto di Instagram-mu, Mas.”

“Iya, Dik. Sebenarnya sore ini aku ingin memberikan ini,” kuambil dari ransel lalu meletakkannya di meja. Adakah warna jingga di sana semakin menohok ulu hatimu? Aku juga tahu setelah gerimis kau menggilai senja yang jingga, Jangan kau gigit bibir bawahmu sekuat itu Dik, perih. Berhentilah, apa yang kau tahan, air mata? Toh matamu tetap berkaca-kaca. Matamu kau paksa tak mengalihkan pandangan, meski tanpa berniat menyentuh benda itu sama sekali.

“Aku hanya tiba-tiba lupa berekspresi, Mas.” Nafasmu sesak, kau ambil oksigen sepanjang yang kau kuat, “Mas..” emosimu tertahan, dahimu tiba-tiba bercucuran keringat, di ruangan sedingin ini dan Jogja yang gerimis? 
Aku menatap matamu. Pasti juga bisa kau baca apa yang ingin meluap dari lelakimu ini. Banyak sekali hal yang ingin kuutarakan, namun tak bisa Dik, aku tiba-tiba bodoh dan terbata, “Maafkan aku, Dik,” hanya itu yang mampu kukeluarkan, sangat lirih.

“Maafkan aku juga, tidak bisa berpura-pura memberimu doa, Mas. Sakit, Mas. Aku juga tidak bisa memberimu selamat. Maaf.”

Tuhan, rasanya seperti ada paku yang dipalu tepat di gendang telinga. Nyeri, ngilu, sakitnya semenyiksa ini. Aku hanya tampak begitu kejam, seperti menuli, tak punya hati. Oh Dik, ingin memelukmu dan menampung tangisanmu di bahuku. Kita pernah mengobrolkan semua ini sebelumnya. Pernah juga saling meyakinkankan bahwa kita tidak akan serapuh ini ketika semua ini terjadi.

“Memang pada akhirnya harus begini, Mas. Sudah, jangan khawatirkan aku.”

Jemariku bergerak hendak menggenggammu, kau menarik diri. “Dik, aku selalu mencintaimu,” kataku.

“Dunia yang tidak pernah mencintai kita,” nadamu lelah dan pasrah. Kali ini benar-benar jatuh air matamu, tidak peduli beberapa pasang mata memperhatikan kita. “Kenapa saling mencintai saja tidak pernah cukup, Mas? Aku mencintaimu bukan sebatas kamu top dan aku bot.” Aku juga Dik, aku pakai hati denganmu. Sayang aku tetap tak bisa menjawab pertanyaan, “ Kenapa aku harus lagi-lagi kehilangan?”

Seharusnya aku membawamu lari ke Belanda, hidup tentram dan sama-sama mewujudkan mimpi-mimpi kita. Seharusnya aku tidak memilih pergi. Lagi-lagi kau harus bertemu pecundang yang tak berani mempertaruhkan diri. Masih kuingat getir suaramu di suatu sore gerimis di Parang Tritis. “Kenapa dunia, manusia-manusia itu, harus mengendalikan segalanya? Mengendalikan cara berfikir, mengendalikan persepsi, mengendalikan mana yang benar dan yang salah. Mas, cintapun harus dikendalikan mereka? Cinta kan hanya aku dan kamu yang tahu, yang menjalani. Kenapa harus tunduk pada kendali mereka, persepsi mereka, benar salah mereka?” Aku menyimpan kata-kata itu, termasuk ekspresi marah dan kecewamu yang tak tahu hendak kau luapkan pada siapa.

Menyembunyikan cinta kita tidak pernah semudah menyembunyikan vigel di dalam sneakers usang di pojok rumahku. Kalau sampai ketahuan ibu, aku hanya akan bilang itu minyak bulus penumbuh rambut. Semuanya penuh konsekuensi, dan aku lelakimu yang pecundang ini tak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan. Aku memilih memaksa diri tunduk pada persepsi mereka, benar-salah mereka.

“Aku harus pergi mas. Terimakasih untuk semuanya.” Suaramu masih sesenggukan, dalam sekali tangismu sore ini. Nafasmu teresengal-sengal, aku ingin menahan kepulanganmu, menarik pergelanganmu. Tapi aku juga tidak tahu, jika terus di sini aku bisa memperimu apa. Oh Dik, lelakimu ini hanya mampu memandang kau berjalan ke luar kedai yang mulai ramai lalu tertelan kerumunan dan hilang. Sementara orang-orang di sekitar meja bertanya-tanya melalui pandangan mereka.

Aku menyesap coklat yang tadi kau pesankan, terlalu pahit. Kubalik benda jingga yang telah menamparmu meski tanpa bergerak sedikitpun. Aku membaca di sampulnya, ada namaku Satriya Astapraja, dan nama calon istriku, Tulip Sasmita Prihantari. Ada pula foto kami, aku menggendongnya di punggungku dengan latar belakang jalanan Jakarta waktu senja. Foto yang tadi kau sebut ada di akun Instagram-ku dengan hastag ‪#‎prewed‬. Dan dipojok bawah itu, namamu, Diki Rahadian Soetopo. Aku sendiri yang mengetik huruf-huruf itu, mencetaknya diatas label nama, dan baru tadi di atas Trans Jogja kutempel di sana.

Aku melihat keluar, masih gerimis. Semoga kau sedang menari di bawahnya, menyembuhkan luka. Semoga setiap luka memang ada obatnya. Semoga Tuhan berhenti menggodamu dengan kebahagiaan semu. Oh Dik!

--- selesai ---

0 komentar: