Sebelum masuk ke tulisan ini, simaklah tulisan saya sebelumnya http://bit.ly/1mlIYLD
Bercerita sebuah buku memang unik dibahas. Cerita, pengetahuan bahkan proses pembuatannya mampu membuat menarik setiap pembacanya. Penawaran demi penawaran turut andil dalam mengembangkan buku tersebut. Jauh sebelumnya banyak buku dilarang peredarannya. Sebut saja karya Pramoedya Ananta Toer, Widji Thukul, hingga Pidi Baiq, pernah merasakan bukunya dilarang beredar. Namun seiring berjalan waktu, karya mereka menghiasi industri buku masa kini.
Dilan, 1990. Merupakan buku yang dicekal era 90an. Karena ada 1 kalimat yang diduga kontroversi, dengan menyinggung presiden yang berkuasa saat itu. Beruntunglah kita saat ini. Dilan 1990 dan Dilan 1991 dicetak ulang. Pramoedya Ananta Toer, beliau memilih dijebloskan di penjara bertahun-tahun karena karyanya. Bahkan info dari berbagai sumber, 500 sampai 5000 lembar : kliping dan tulisannya dihanguskan dari peredaran. Namun, Pram tak kecewa. Berulang kali beliau menulis di penjara, karyanya tetap masih dinikmati saat ini. Akhirnya berhasil melewati orde lama dan orde baru. Widji Thukul, mungkin tak seberuntung Pidi Baiq dan Pramoedya Ananta Toer. Puisi-puisi perlawanan beliau diberangus. Bahkan dokumen-dokumen yang telah siap cetak juga disita. Tahun 1997-1998, Thukul, dinyatakan tak kembali ke rumah hingga kini.
Ketiga penulis tersebut mampu melewatkan masa kelam bukunya. Hanya Thukul yang tak beruntung, diantara keduanya.
Buku berupa catatan seseorang yang mampu hidup di zaman tertentu. Generasi 90an mungkin mengenalnya dengan diary, generasi sekarang, media sosial dianggap sebagai buku hidupnya. Melalui timeline, media sosial merekam jejak pemilik akun, menggeser posisi diary di generasi 90an.
Setiap orang berhak mencetak buku. Yup. Buku merupakan hal sakral untuk dibagikan cerita, keilmuan bahkan catatan pinggirnya. Bagi mahasiswa tingkat akhir, buku ini sangat ditakuti.
Sebuah karya yang harus ditempuh beberapa tahun menuju kelulusan. Buku menakutkan itu bernama Skripsi. Menggali ide, menulis, berpikir, cari referensi kemudian dipertaruhkan dihadapan penguji yang berakhir revisi tanpa bantuan penyunting, selain penulisnya. Banyak diantara kita menunda beberapa bulan bahkan bertahun, untuk menulis karya itu. Sadar atau tidak, kemalasan bertemu kekasih (pembimbing), peliknya.
Kok malah curhat ya?
Bukan hanya itu saja. Buku bagi penulis baru, bagai bertemu dosen pembimbing dan dosen penguji, saat akan diajukan ke penerbit mayor. Eksistensi penulis dipertaruhkan. Mampu diterima pasar atau tidak, harga pertaruhan itu. Sayangnya seperti mahasiswa tingkat akhir yang mengajukan judul atau bahkan bab per bab, yang tak kunjung diterima dihadapan dosen pembimbing.
Belum lagi ketika sudah dicetak. Musuh besarnya, pembajakan. Bisa jadi harganya turun puluhan persen. Hasilnya tidak seberapa. Namun prestige dikenal jadi sangat bagus.
Cara paling ampuh mencari informasi penerbitan indie. Namun terjal tetap menghadang. Persyaratan penerbitan indie menjadi polemik tersendiri bagi penulis baru. Biaya cetak, dan administrasi.
Pilihan sulit bukan?
0 komentar:
Post a Comment