Propellerads

Thursday, June 16, 2016

Aku Penuhi Janjiku, Kak.

Perkenalanku dengan seseorang membuatku makin erat. Kali pertama konser di Yogyakarta, hampir delapan tahun di salah satu Stadion kota tersebut. Aku tak menyangka jika akhirnya hubungan ini berlanjut hingga lama.

Kakak beradik, Clara dan Betty, yang berasal dari Sidoarjo, Jawa Timur. Mereka pegiat dan juga perintis komunitas Sheilagank 7 Jawa Timur.
Sebenarnya aku tak menyadari jika kak Clara dan kak Betty, saudara sekandung. Aku mengetahui hal itu setelah konfirmasi beberapa teman.

Hubungan pertemanan ini kurasa biasa. Seperti teman lainnya. Perbedaan usia dengan mereka membuatku berjarak. Kami sering berkomunikasi melalui sosial media : Facebook, twitter dan lainnya. Sekadar bertanya kabar. Bahkan sebagai ucapan terima kasih atas pertemanan ini. Maka catatan ini bagian tribute for them.

Aku cerita tentang kak Clara. Wanita  ini sering dipanggil mama Clara, oleh kawan seperjuangannya di komunitas. Dia bagai ibu yang ayomi anak ketika dia jadi komunitas. Hubungan pribadiku dengan cukup baik. Kadang jika aku sms atau tanya melalui telepon, sering kupanggil Mama juga.

Kami saling terhubung satu sama lain antar Sheilagank basecamp : Semarang dan Jawa Timur, atau kota lainnya. Tahun 2008 hingga 2012 kita sering bertemu setiap konser di Yogyakarta. 

Pernah suatu kali kami terlibat bersama dalam pembuatan Video Klip "Mudah Saja" Sheila on 7 pada April 2009. Kami sama-sama melihat proses pembuatan Video Klip tersebut. 

Dia pun akhirnya berpacaran sesama Sheilagank. Vai, temanku dari Kudus. Kebetulan di tahun itu kami juga buat nama untuk komunitas di Kudus. 

Kakak beradik itu sering datang ke Yogyakarta. Dua orang ini jauh-jauh dari Surabaya, bersama beberapa temannya yang lain, datang untuk menikmati konser dan silaturahmi. 

Lebih dari lima tahun pacaran. Mama (Clara) dan Vai memilih menikah. Pernikahan mereka berlangsung di Surabaya 30 Agustus 2014. Menyenangkan jika antar komunitas saling menikah. Ibarat sebuah puzzle, satu persatu, tersusun dalam sebuah bangunan.

Sayangnya, ketika mereka melangsungkan aku tak datang. Karena beberapa hari sebelumnya salah satu kakak kandung menikah. Sebetulnya aku telah pamit pada orangtuaku. Agar aku bisa ke Surabaya. Tapi orangtua tak beri izin. Aku turuti perintahnya Karena aku diundang pernikahan mama Clara, namun aku tak hadir. Aku mengucap janji pada diriku. Jika kelak adiknya menikah aku akan hadir. Bagaimana pun nantinya aku ke Surabaya atau Sidoarjo.

Pernikahan mama Clara ( facebook/ Fadhila Nur Husna)


Menepati Janjiku.

Karena  janji itu aku benar-benar menunggu kabar baik kak Betty. Kami dekat tidak secara personal. Tetap lebih keinginanku untuk jaga silaturahmi dan pertemanan. Membuatku ingin sekali menghadiri pernikahan. Aku menunggu kabar baik itu.

Melalui pesan line dia pun mengirimkan undangan pernikahannya. Dia dinikahi oleh pria bernama Samanta. Teman karibnya sejak lama. Pesan line itu dikirim pada awal Januari 2016. Aku senang kabar itu. Kak Betty melangsungkan resepsi dan akad nikah pada 16 Januari 2016. Akad nikah berlangsung di rumahnya di Sidoarjo, Sementara resepsinya di masjid Agung Surabaya.

Aku tanya ke dia : teman di Semarang yang diundang siapa?. Maksudku tanyakan itu karena nanti ada teman yang bersamaku. Dia menjawab : " aku juga mengundang Catur, dek." tulisnya di Line. Catur, salah satu teman yang juga pernah jadi ketua komunitas di Semarang. 

Aku pun mengontak Catur. Memastikan kehadirannya di Surabaya. Dia setuju. Kami pun janjian berangkat menggunakan Kereta Api. Saya pun memesan 2 tiket berangkat, tapi tak pesan tiket pulang. Karena uangku kurang untuk membayar 4 tiket pulang pergi. 

Kami pesan tiket tanggal 16 Januari 2017 pukul 11.45 dari stasiun poncol. Resepsinya pada pukul 19.00, kami masih punya beberapa jam di Stasiun Turi, Surabaya.
Saya, Vai, Catur, Miftah dan Nozha Mbah ( instagram/vai)


Aku dan Catur bersama pengantin (WhatsApp/Betty)
Kebersamaan kami dan Sheilagank Jatim (facebook/ Emmy Kurniati)


Sehari di Surabaya

Sabtu 16 Januari 2016, Kami berangkat. Sebetulnya aku kurang yakin siang itu. Aku keluar dari asramaku pukul 10.00-an. Cukup banyak waktu untuk menunggu Catur, yang dari Kab. Grobogan, sampai di stasiun. Tetapi saat aku sampai stasiun 10.30, Catur belum beri jawaban. 

Karena aku tak biasa sarapan.
Aku menuju minimarket stasiun untuk membeli air mineral dan roti. Cukup untuk mengganjal perutku hingga sore nanti. Aku amati sekitar stasiun, sembari mengecek smartphoneku. Menunggu Catur datang. Dia memberi informasi kedatangannya. Tapi akan sampai stasiun mepet. 

Pukul 11.35, aku makin cemas. Catur belum tiba juga. Padahal 10 menit kereta akan berangkat ke Surabaya. Aku pun menuju security di pintu masuk. Aku berbincang dengan petugas tersebut. Dan menyampaikan maksudku. Aku berpesan : "pak jika ada orang dengan nama yang tertera di tiket ini, mohon berikan. Sudah aku telepon orangnya". Petugas itu pun mengiyakan.

Sepuluh menit lagi kereta api akan berangkat. Antrian di pintu masuk menuju kereta api agak padat. Aku tinggalkan tiketku ke petugas tadi. Aku masuk ke gerbong 1 di nomor 11, dan Catur 12. Kami bersebelah. Tetapi ketika PPKA meniup peluit panjangnya. Catur belum masuk ke gerbong. "Mati aku... Catur ketinggalan" batinku.

Pukul 11.47 Catur menelpon di WA. "Aku sudah sampai depan pintu masuk. Kamu di mana?" tanyanya. "Kereta telah jalan. Kamu terlambat beberapa detik. Tiketmu aku titipkan sekuriti depan. Kamu minta dia" samar-samar dia juga berbicara pada security tadi. "Kalau kamu mau naik, ke Tawang saja. Kamu kita ketemu di gerbong" lanjutku. Beberapa penumpang mendengar suaraku yang agak tinggi di gerbong. "Oke, ketemu di Tawang ya." jawabnya.

Aku lemas dan makin cemas. Jika Catur tak ke Tawang. Karena saya bakal sendiri ke Surabaya. Tiketnya hangus dan bakal rugi besar. Jarak Poncol - Tawang, hanya beberapa ratus meter. Aku harap dia sampai Tawang tak lebih lima menit. Karena transit kereta api, juga tak bakal lama. Aku hibur diri dengan membaca buku. Aku lupa judulnya apa. Karena beberapa bukuku hanya berserakan di lemari. Tanpa ada kelanjutan membaca hingga tuntas.

Tiba-tiba smartphoneku berdering. Catur menelponku. "Aku sudah di gerbong. Kamu dimana?" sambungnya di telepon " gerbong depan. Cari kursi agak depan ya. Aku di sana." jawabku. Beberapa detik kemudian aku berdiri sambil mencarinya. 


"Alhamdulillah, kamu sampai juga" batinku. Kami bersalaman. Lalu bercerita banyak. Nostalgia di komunitas Sheilagank Semarang beberapa tahun lalu. Dia pun bertanya perkembangan komunitas tersebut. Kemudian dia memberi saran untuk ke depan. Aku ambil buku untuk mencatat ucapannya. Tahun ini komunitas tersebut berusia 8 tahun. Dia memberi ide untuk ulang tahun.

Setelah bercerita banyak tentang itu. Kami diam sejenak. Aku lebih tertarik hijaunya sawah di sepanjang kanan kiri rel kereta api. Desa-desa di sepanjang Semarang-Surabaya yang kami lalui memang kaya hasil pertanian.

Kereta api berhenti sejenak menaik turunkan penumpang di Stasiun : Ngrombo ( Grobogan ), Cepu (Blora), Bojonegoro, Babat , Lamongan dan Stasiun Besar Pasar Turi ( Surabaya ). Pegawai kereta juga nampak berlalu lalang : menyewakan bantal, jual makan dan mengecek tiket penumpang. 

Namun nasib kami agaknya kurang baik. AC kereta api mati sejak di stasiun Cepu. Tepat di atas depan tempat duduk kami. Saya dan Catur masih belum merasakan kegerahan karena kami asyik bercerita dengan sebelah kami. Tetapi penumpang yang duduk di deret kursi kami tampak geliat kurang nyaman.
Kami masih asyik saja. Belum kegerahan. Penumpang lain mulai mengipasi badannya dengan koran dan kipas dari bambu. Kami menunggu pegawai kereta api yang bertugas memaintenance. Untuk segera memperbaiki AC tersebut.

Karena kewalahan dan perlu dimaintenance di Stasiun, pegawai tersebut menawarkan kami pindah di gerbong lain. Kami setuju atas saran tersebut. Kami pindah sebelum memasuki stasiun Babat, Lamongan

Kereta berhenti agak lama ketika mendekati Stasiun Lamongan, di persimpangan rel kota. Karena rel lebih tinggi dari jalan dan agak miring beberapa derajat. Kereta kami berhenti hampir 20 menit, karena dari arah Surabaya kereta lain akan melintas. 

Kami di dalam gerbong agak terganggu setelah seorang pria berteriak meniru lagu yang dia dengar melalui smartphone-nya. Suara falsnya membuatnya harus kena marah sekitar gerbong ini.

Seorang pria paruh baya, duduk disamping kami. Kami sapa dia dan mengakrabinya. Kami lalu bertanya : "pak, dari Stasiun Pasar Turi ke masjid Agung Surabaya (resepsi kak Betty), enaknya naik apa?" (jujur kami buta jalan kota Surabaya ). Si bapak beri arahan jalan. Dan dia kasih alternatif untuk naik taksi. Kami mengiyakan.

Si bapak kemudian bercerita masa lalunya di Semarang. Dia menyebut nama-nama daerah di masa mudanya. Usahanya berupa besi tua dan rongsokan. Kami tak salah orang. Dia baik hingga kami sampai Surabaya ditawarkan untuk naik taksi.

Macetnya kereta api di sekitar Lamongan hingga puluhan menit jadi tidak terasa. Setengah jam lagi sampai di stasiun pasar Turi, ungkap si bapak.

Kami menikmati perjalanan ini dan sesekali bercerita jika nanti di Surabaya. Pulang dari Surabay baru dirancang saat itu. Alternatif kami hanya dua : naik kereta api atau bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP).

Setelah kereta jalan memasuki stasiun Lamongan, lanjut menuju stasiun Pasar Turi, Surabaya. Namun agaknya jadwal kereta api ini terlambat setengah jam dari jadwal semestinya. 

Lima menit sebelum masuk Stasiun Pasar Turi, tampak bangunan 'agak kumuh' warga di pinggir rel. Jika begini aku ingat kota-kota besar lain. Setiap Kota besar memiliki masyarakat miskin yang tinggal di bangunan kumuh.

Kami sampai di stasiun Pasar Turi, Surabaya. Bapak di sebelah tempat duduk kami kemudian mengajakku keluar dari gerbong. Kami membuntutinya. Dia mengarahkanku ke taksi, sebelum mengambil motor yang dia titipkan di stasiun. Kami patuh. Tapi tak langsung ke taksi tersebut.

Calo, tukang becak dan taksi juga menawariku. Kami belum merespon. Kami masih punya banyak waktu untuk berpikir. Naik taksi atau bus kota. Bus kota tak melewati Masjid Agung Surabaya, saran tukang becak yang bicara pada kami. Tukang becak terus mengikuti kami agar kami naik becaknya. Kami hiraukan dengan alibi ambil uang di ATM. Tapi tetap saja dia menungguku. 

Di ATM salah satu sudut Stasiun ini, kami masih ditunggui. Setelah Catur selesai mengambil uang, dia pun keluar ATM. Kami temui tukang becak dan ucapkan terima kasih, sembari beri uang Rp 10000, karena telah menungguku, tetapi kami tolak.

Di lain sisi, supir-supir taksi juga menawariku. Kami tawar harga hingga setuju di angka Rp.70.000 untuk jarak Stasiun Pasar Turi sampai Masjid Agung Surabaya. Kami pun masuk dan naik tak di tersebut. Tak kusangka ketika kami masuk di mobilnya, bukan taksi umum : blue bird atau lainnya. Tetapi taksi dari koperasi stasiun.


Lebih dari sepuluh menit kami sampai di masjid Agung Surabaya. Kami kemudian melihat lihat. Beberapa rombongan jamaah juga tampak memakai baju putih. Aku mengira akan ada pengajian. Kami kemudian masuk dan mencari tempat resepsi, yang akan dimulai pukul 19.00 WIB. Kami menuju ke selatan dan menemukan bingkai ucapan yang ditujukan pada kak Betty. Kami memastikan kembali undangan itu pada layar smartphoneku. Dan benar di gedung lantai dua masjid ini, resepsi akan berlangsung.

Ketika kami akan menuju gedung, kami melihat Vai. Dia sibuk membawa paketan dan bungkusan untuk resepsi. Kami sapa dia, dan dia meminta kami membantunya. 

Kami yang agak kumal karena perjalanan Semarang - Surabaya 5 jam. Kemudian mencari kamar mandi. 

Setelah mandi, azan maghrib berkumandang. Kami menuju masjid di bawah gedung ini dan bergegas ikut jamaah. 

Masjid ini menampung ribuan jamaah. Ada beberapa takmir masjid yang mengarahkan jamaah untuk merapikan shaf. 

Setelah salat kami kemudian berpikir ulang. Pilihan kami mengecek jadwal kereta api dalam smartphone atau pergi ke terminal Bungurasih. Website PT. KAI menunjukkan ada bangku kosong. Kami cari minimarket di sekitar masjid. Kami jalan sekitar 500 meter menuju perumahan setelah bertanya pada warga sekitar. 

Kami kemudian memesan dua tiket pulang ke Semarang. Beruntung beberapa jam sebelum kereta api berangkat masih bisa dipesan. Padahal jika di jadwal kereta api jurusan lain, harus dua hari sebelum keberangkatan.

Kami kembali ke resepsian. Tampak mulai ramai tamu undangan. Kami bertemu kembali Vai dan Mama. Dia menunjuk ke arah kami, dan mengatakan kepada kak Betty : "lihat ke sana, siapa tuh yang datang?". Dengan wajah sumringah kak Betty tersenyum kedatangan kami. Kami kemudian bersalaman dan mengucap terima kasih kedatangan kami. Hal yang sangat membanggakan pertemanan kami. Datang dari jauh dan membuatnya tersenyum.

Kami menuju photo booth yang disediakan, mengingat acara belum dimulai. Tampak puluhan orang mengikuti upacara ini dengan menunggu pengantin masuk ke ruang resepsi. Kami kemudian ikut antri setelah berpoto.

Sampai setelah diatas panggung kami dihentikan oleh kak Betty. Dia meminta kami berhenti sejenak dan meminta fotografer : "mas tolong fotokan kami. Dia datang datang dari Semarang". Antrian di belakang kami kemudian berhenti sejenak memberi waktu pada kami.

Kami kemudian bersalaman. Dan menuju sajian pernikahan ini. Dan menunggu teman-teman Sheilagank 7 Jawa Timur. Tampak Fadhila, Galih, Dita, Emmy, Nozha mbah dan lainnya.

Musik yang disajikan pun tak lengkap jika tak ada Sheila on 7 dalam list ini. Hari Bersamanya, Kisah Klasik dan lainnya. 

Kami pun bertemu dan saling sapa antar komunitas. Sheilagank Semarang dan Sheilagank 7 Jawa Timur. Sebelum acara selesai kami pun diminta bernyanyi. Tiga sampai lima lagu turut menutup acara ini. 

Pulang dari Resepsi

Pesta pernikahan usai. Kami yang tadi menikmati jamuan, berpoto dan bernyanyi bersama-sama, harus berpisah dengan teman-teman. Kami pun akan melanjutkan perjalanan pulang. Tiket kereta yang berangkat dari stasiun Pasar Turi, Surabaya menuju Poncol, Semarang sudah kubeli. Jadwal di kereta api menunjukkan pukul 06.00 pagi. 


Kami berdua berembuk dan memohon pada Vai, kakak ipar Kak Betty, Suami mama Clara, untuk mengantarkan kami ke stasiun. Kami akan tidur malam di stasiun. Tetapi Vai mencegah kami, dia meminta kami mampir di rumahnya. Kami menolak tawarannya, dengan berbagai alasan. 

Setelah berembuk, kami membantu bawa pernak-pernik resepsi di mobil. Mobil yang akan mengantarkan kami. Setelah semua beres, orangtua, mama Clara, dan kak Betty pulang. Tetapi hanya kami berempat : Aku, Catur, Samantha, dan Vai, dan beberapa barang yang belum dibawa pulang. Kami duduk diantara tangga halaman masjid, sambil menunggu mobil itu kembali.

Kami banyak mengingat masa-masa 2008-2010. Kabar Sheilagank dan Sheila on 7, materi wajib yang diceritakan. Tak jauh itu, tiba-tiba Vai : "Aku tuh kangen Semarangan, kangen angkringan dan pernak perniknya." Nostalgia dia ketika jadi mahasiswa di Semarang. "Malam kalau lapar pergi ke luar cari makan, ya di angkringan. Di Jawa Timur, kalau pulang kerja pas malam mampir ke angkringan susah. Rata-rata warung kopi." cerita Vai. "Memang aku juga kalau ke Lamongan  mau makan di angkringan hampir tiada." timpalku. Canda dan cerita lampau yang kami rasakan makin akrab. Kami kemudian bercerita lain hingga tak terasa mobil yang kami tunggu tiba.

Setelah beres, kami diantar ke stasiun oleh Vai dan rombongan. Kami juga berucap terima kasih. Mereka pun begitu. 

Di stasiun, kami bengong. Sempat mikir sejenak mau ngapain. Tidur diantara kursi tunggu atau begadang di salah satu sudut minimarket. Catur memilih ke minimarket. Dan kami pun melangkahkan kaki di sana. Kami duduk di depan minimarket ini. Sambil menunggu pagi, kami nikmati kopi yang kami pesan di minimarket tersebut.(minimarket tak bisa kutolak, jika di dalam stasiun. Mencari warung kopi tengah malam belum tentu ada). Kami menikmati kopi sambil mendengarkan percakapan dialek jawa timuran pengunjung minimarket lain, di belakang tempat duduk. "Kon ki nyapo" dan dialek lainnya. Khas dengan nada agak tinggi. 

Setelah mereka pergi kira-kira pukul satu dini hari. Kami bunuh sepi dengan smartphone. Lalu lalang tukang ojek menawarkan jasanya, kami tolak halus. 

Nyamuk-nyamuk berdengung di telingaku. Aku makin asik dengan kopiku hingga habis. Kemudian Catur mengajakku ke bangku tunggu stasiun, dua puluh meter dari langkah kami. Dia pamit ingin tidur sekitar pukul 02.30 WIB. Tapi aku belum mengantuk. Sementara nyamuk kian meradang menghisap darah kami. 


Terima kasih.

0 komentar: