Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Showing posts with label Cerita. Show all posts
Showing posts with label Cerita. Show all posts

Friday, May 27, 2016

Silaturahmi ke Sekolah dan Temanku

Baca sebelumnya Malaikat di Kesialanku

Paginya, saya bangun. Mandi, siapkan beberapa stel pakaian. Tak lupa minta saku mingguan ibuku. Tiap minggu saya meminta Rp. 100.000,00, untuk kebutuhan makanku di Semarang. Saya masih punya sisa saku di lemari. Ku simpan uang itu untuk ke pesta pernikahan temanku.

Saya berangkat pukul 09.10 pagi dari rumah menuju Kudus. Lebih kurang Satu jam menggunakan motorku. Motor pemberian kantorku. Supra 1997. 

Saya ikuti jalani hingga Kudus menuju Pati. Saya memilih jalan lingkar Kudus-Pati. Sesampainya di lampu Megawon. Saya ingat jika hari itu sabtu. Saya pun membelokkan ke jalan Jenderal Sudirman Km.4 ke arah barat traffic light Ngembalrejo.

Cukup 3 menit dari belokan traffic light ini. Saya masuk ke halaman sekolahku. SMA 1 Bae Kudus. 

Kuparkir motor di halaman parkir guru. Saya buka helm. Tukang kebun yang dulu, hingga saya lulus 2009, menyapaku : soko ngendi mak? (Dari mana mak (mak = Demak, nama kotaku, panggilan akrabku)) 
"Dari rumah." Jawabku.

Kami berbincang sebentar. Nostalgia. Saya lalu pamit. Masuk ke ruang guru. Kusapa satu persatu guruku. 

Diam sambil berjabat tangan, saya mengingat nama guruku. Saya buka memori otakku. Guru yang kutemui ini, dulu mengajar apa?. Terus saja saya membuka ingatan hampir 7 tahun lalu.

Wali kelas, 12 Ips 1 hingga 12 IPS 4. Masih kuingat. Bu Asri, bu Dewi, Pak Bambang (wali kelasku 12 IPS 4), kebetulan wali kelas 12 IPS 2 tak ada. Tak lupa satu guru, yang selalu kukunjungi ketika bada lebaran : Ibu Alfiah. Wali kelasku saat kelas 10-8. Dia bagai Ibuku. Entah energi apa yang buat saya mengaguminya. Aku suka doanya, setiap bersilaturahmi : Semoga menjadi orang sukses dan berguna !

Tak semua guru saya salami. Karena beberapa dari mereka tergolong baru. Malah ada temanku, di IPA 3 jadi guru. Saya lupa namanya. 

Setiap saya salami. Mereka mengingat. Saya juga. Pertanyaan dari mereka tergolong klasik. Kamu kerja, kuliah, atau bagaimana?.

Saya pun jawab ulang ke setiap guru : Saya kuliah di Universitas (tak kusebut namanya) jurusan teknik. Angkatan 2011, baru 5 tahun.

Tanggapan mereka : kamu dulu IPS, kok bisa masuk teknik. Saya beri alasan masa depan: kebetulan peluang kerja di teknik makin banyak.

Setelah di ruang guru saya pamit. Berkeliling sebentar. Update ke path. Kemudian ke koperasi, gedungnya berganti dan dipindah sejak 2012. Pengelola koperasi ini dua wanita.  Lagi-lagi saya tak ingat namanya. Hanya mengingat wajah mereka. Mereka ingat saya, tanpa nama. 

Puas ketemu mereka semua. Saya berkeliling. Bangunan sekolahku nampak berbeda. Jauh lebih baik.

Saya kembali ke parkiran, merekam salah satu sudut sekolahku.

Saya temui kembali tukang kebun di parkir sekolah. Masih seperti dulu. Hanya gurat wajah dan uban nampak di rambutnya. Pak Mus.

Selesai menemui pak Mus dan satpam. Saya pamit menuju Jekulo sebelum ke Pati, mampir ke temanku, Baskoro.

Lebih kurang lima belas menit kutempuh. Sambil mengingat rumahnya. 

Di pintu gerbangnya, saya peradukan gembok dan pintu besi. "Dak..dak..dak.."

Temanku baru bangun tidur. Sementara waktu menunjuk pukul 11.36. Saya dipersilakan masuk, dan kuparkir motorku di halamannya yang luas.

Dia tanya alasanku berkunjung dan menawariku minum. Sempat cerita dia mengontak beberapa teman. Saya mengiyakan dan akan berkeliling hingga magrib. Karena saya akan ke Pati. 

Dia pamit mandi. 

Saya sibuk mengamati smartphoneku. Satu pesan di LINEku. teman sufiku beri pesan sudah sampai stasiun Poncol. Dia menanyakan padaku arah ke Pati. Saya tunjukkan angkutan menuju terminal Terboyo, lalu ke Pati, harus naik apa.


Setelah itu temanku keluar temuiku. Mengobrol ngalor-ngidul. Dan mengajakku ke sebelah teras, tempat nongkrong kami. Dia mengambil laptop kerjanya. 

Teman yang dikontak tiba. Anjar. Dia bekerja di salah satu bank swasta di negara ini. Kami saling menimpali kesibukan masing-masing. Di teras tempat nongkrong kami, dia mengambil gitar kesayangannya. Kami jamming hingga magrib.

Malaikat di Kesialanku.

Sepulang dari Yogyakarta, setelah bersilaturahmi ke maiyahan Yogyakarta, dan temanku hingga beberapa hari. Aku pulang bada salat jumat dari terminal Jombor menuju Sukun, Banyumanik. Saya lupa mengontak teman sufiku . Lupa dia sudah sampai mana.

Ada kisah menarik buat saya setelah dari Yogyakarta. 
"Saya sampai sukun, Banyumanik pukul 17.00 WIB. Turun dari bus. Saya kemudian menuju angkutan kota (angkota) menuju Jatingaleh. Sialnya angkota itu ngetem agak lama. Saya belum salat duhur dan ashar. Lupa jamak qashar.
Saya sempat menanyai supir angkota. Perkembangan dari masa ke masa, pekerjaannya. Dia mengungkapkan kegelisahan setelah kendaraan makin memenuhi jalan.
Selang 10 menitan dia supiri angkotanya. Melewati lampu merah tugu Diponegoro Tembalang menuju turunan Gombel dan sampai Jatingaleh. Saya turun, memberinya pecahan 5000 tanpa kembalian. Agak mahal angkota ini!.

Jalur perempatan PLN Jatingaleh padat. Mobil yang keluar tol memadati pintu keluar. Untuk menyeberang menuju stadiun jati diri -jalan lebih mudah menuju sampangan- saya harus menghentikan salah satu mobil. Polisi kewalahan.
Saya pun jalan kaki. Kulihat angkutan ngetem. Ketika kudekati kosong. Tak bersupir. Kesialan beruntun buat saya. Saya teruskan jalan. Tak lupa mengontak temanku. Namun temanku menolak membantuku. Makin sial hari ini. 
Saya terus susuri jalan ini. (Terus terang saya buta nama jalan, jadi tak mengenal nama jalan kulalui ini.). Jalan terus hingga menuju Unika. Jalanan menanjak. Saya lumayan capek memanggul tas dan membawa helm. Dari Yogyakarta belum makan. Tanpa asupan apapun selama perjalanan. Uang tinggal beberapa ribuan saja. Saya ingat bahan bakar motorku. Ingin mampir minimarket atau warung. Saya tahan. Berharap ada yang berhenti menolongku. 
Tepat di depan pintu Unika. Saya berhenti sejenak. Berpikir dan merapal doa. Hingga kuucap : ratusan kendaraan lewatiku. Tak satupun ingin menolong orang, sepertiku.

Saya jadi ingat tragedi jalan ini. Banyak begal. Apa ini penyebab mereka tak menoleh dan membantu.

Saya pun terus jalan. Hingga turunan Unika. Ada wanita menggunakan matic diam, menunggu seseorang. Ketika dekat dia berbicara padaku. Saya mengira dia tersesat.

Dia : mas, mau kemana?
Saya : sampangan mbak. Bagaimana mbak?
"Kalau dari jembatan besi ke kanan atau ke kiri", lanjutnya.
Ke kanan. Kenapa memangnya? tanyaku.
Dia : Kalau berkenan, boleh saya bantu. Aku antar, ajaknya.
Boleh. Terima kasih.
Mas bisa mengendarai motor kan?
Saya : Bisa. 
Kami pun berboncengan. Saya mengendarai motornya. Dalam pikiranku : nih orang baik sekali. Apa penyebabnya ya?

Kemudian saya pun bertanya : mbak enggak takut? Di sini kan rawan begal. Enggak curiga sama saya? Atau bagaimana ?
Dia : kemarin sih mas, kata temanku, ada ibu-ibu dibegal. Luka di kepalanya. Saya tadi lihat mas jalan dari atas. Kukira mas sama temanmu, kok bawa helm. Ketika di bawah tanjakan. Eh mas sendirian. Naluriku ya menolong mas. Kadang tiap di jalan ketemu bapak-bapak atau siapa pun di jalan, pasti kuboncengi. Kuantar mas.

Saya diam sejenak. 
Kutanya lagi : maaf mbak jadi ngerepoti. Omong-omong mbak asal dari mana? Kuliah, kerja?
Dia : saya dari lombok. Kuliah di Universitas Negeri Semarang.
Saya diam beberapa menit kemudian mengangguk.
Lombok, NTB mas. Mas dari mana? Kok bawa helm sendirian? lanjutnya.
Saya : jauh juga ya mbak. Saya dari Jogja. 
Saya pun ingat beberapa teman Lombok di Jogja. Ingin tanya padanya. Tapi saya tak enak.
Iseng kemudian saya tanya : Tahu tembakau Senang?
Dia diam belum menjawab. Selang beberapa detik dia jawab :
Maaf mas. Saya tak tahu tembakau itu. Mas tadi pulang dari Jogja. Penelitian?
Enggak mbak. Saya cuma main dan berkunjung ke temanku. Saya janji pada mereka berkunjung. 
Dia : Eh mas, asli mana kok, sampai jogja.
Demak mbak.

Sampai di pertigaan jembatan besi. Saya ingin turun. Kasihan dia jika harus ke atas, Unnes."

Obrolan ringan kami lainnya berlanjut hingga tak terasa saya berada di depan asramaku. Berulang kali saya ucapkan terima kasih.
Kami pun tak saling mengenal. Tak menanyai namanya. Hanya saja saya berharap pada Tuhan, kelak kami bertemu lagi. 

Siapa pun kamu. Entah membaca ini atau tidak. Kamu masih terngiang di pikiranku. Terima kasih mbak.


Versi media sosialku : Path yang sinkron ke fb, dan tumblr.








Lanjutan ceritanya :
http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/05/berkunjung-ke-suluk-maleman-pati.html

Friday, April 15, 2016

Kenangan di Kudus

Smartphone bergetar pukul 20.00, pemberitahuan dari Line. Sepupu beri kabar agar saya ikut truknya. Saya lalu telpon kantor untuk pastikan truk berangkat. Eh gak nyangka jam delapan tadi truk sampai Kudus. Saya bergegas menemuinya ke Kudus. Mampir bentar, minum es jeruk di angkringan langganan. Segelas es jeruk cukup mengisi kerongkongan.

Selesai minum saya menyetop bus di pinggir jalan. Tak lama pukul 20.38 saya dapat bus. Naik bus dengan ongkos Rp. 7.000 (sewaktu SMA di kudus, sampai 2009, ongkos Rp. 3000).

Pelan bus merambat di jalan. Tak terasa setengah jam saya berdiri diantara penumpang lain. Agak pegal. Karena Dua puluh kilometer lebih saya berdiri.

Sesampai di Kudus. Saya minta turun di RS Mardi Rahayu. Depan RS. Mardi Rahayu, biasanya truk kami, parkir untuk isi es batu. Belum sampai mardi rahayu, bus yang saya tumpang berbelok arah kanan menuju lingkar tanjung dari Lampu merah perempatan PT. Pura Barutama, Jati.

Sial. Kondektur memaki supir yang tak memberitahu akan lewati situ. Sayapun bergerak turun diantara sesaknya penumpang bus. Gantian saya mengumpat : "Sial!! Kenapa harus diturunkan di sini."

Sayapun harus berjalan kaki dari lampu merah ini menuju pabrik es yang berjarak hampir 2km. Agak cepat saya jalan. Sembari mengingat masa silam di Kudus. Sepanjang jalan beberapa bangunan nampak baru. Tak seperti saat saya sekolah, dulu.

Jika jalan kaki seperti ini. Saya akan Flasback masa di sekolah. Dulu, tiap pagi, saya juga harus jalan kaki hampir dua kilometer, di pinggir jalan menuju sekolah, tanpa rasa capek. Dan Sekarang terulang. Tapi lumayan pegal untuk berjalan kaki.

Hampir 15 menit kaki melangkah. Saya melihat truk kami, terparkir di Pabrik es.
Karena kebetulan supir baru, saya sempat salah menyapa orang. Orang yang kusapa bukan supir truk tersebut. Tetapi, pegawai pabrik es. Agak canggung. Saya pura-pura kenal saja dan mengobrol.

Banyak cerita yang diungkapnya. Satu persatu memori muncul, sembari ingat beberapa tempat. Dia agak kaget, ketika saya tahu nama-nama tempat di kota ini. Djarum, Pabrik Gula Rendeng dan nama lain. Desa dengan hasil panen tebunya. Letak strategis pabrik rokok berdiri hingga nama sekolahku.

Kudus, 15-04-2016
Mampir kesini ya.

Cerita : Jumat Berkah (?)

Di kampus, saya menemui 2 dosen, Kaprodi, dan pengampu tribologi  yang menyambi beberapa mata kuliah lain. Pertemuan itu membahas tawaran Tugas Akhir. Kaprodi kutemui karena meminta izin untuk pindah kelas lain, karena UTS bertabrakan. Sekaligus menanyakan tawaran tugas akhir.

"Permisi, pak" kataku.
"Kamu lagi, har. Ada apa? Dispensasi lagi?" ujar Kaprodi.
"Bukan kok pak. Saya mau tanya dua hal. Pertama, UTSku bersamaan bagaimana pak? " jawabku.
"Kok bisa bersamaan, apa kamu gak lihat jadwal?" sambil cari surat pemindahan jadwal UTS. 
"Ini diisi" lanjutnya.

"Sudah kok, pak. Sejak awal sudah tabrakan. Karena memang saya mengulang mata kuliah tersebut." jelas saya sembari menyerahkan surat dari beliau.

Kaprodi itu lalu mengecek surat itu. Beberapa kata diubah dengan bolpoin. Dan menyerahkan pada saya.

Saya pun kemudian bertanya padanya. "Bapak, maaf. Kira-kira punya tema untuk Tugas akhir apa?"
"Kamu yakin bisa? Soalnya kamu paling lambat di antara temanmu lain" sembari menjawab pesan singkat di Whatsapp-nya. Nada dering grup terdengar samar.
"Kalau saya mau paksa diri sendiri, saya mampu kok pak. Buktinya Kerja Praktek kemarin cuma 1 semester" sanggahku, optimis.

"Kalau kamu mau, kamu teliti bahan rem di laboratorium. Kemarin ada adik kelasmu, ada yang mau ambil tema itu. Kamu gabung dengan dia" Kaprodi menjelaskan.

"Kira-kira untuk penelitian Tugas Akhir itu berapa pak?" alibi saya melarikan diri. Karena memang untuk masalah biaya nyerah kalau mahal.
"Buat alat uji rem cakram +/- 1.500.000, kalau kamu mau dengan adik kelasmu. Bisa dibagi dua."
"Iya, pak" sekaligus pamit.

Setelah menemui Kaprodi tersebut. Saya menemui dosen Tribologi. Mumpung masih ingat materi yang disampaikan kemarin kamis. 

Karena beliau sedang berbincang dengan staf. Saya pun menunggu, sembari melihat laboratorium. Dosen ini berkantor di lab. 

Setelah selesai berbincang. Saya ke tempat duduknya. 

"Mesti neg meh bimbingan, diskusi, opo liyane wektune dipepetke. Ben ora ono kuliah, sakwise iki. (pasti kalau mau bimbingan, diskusi, atau lainnya di waktu yang mepet. Biar tak ada kuliah setelah ini.)" ungkap beliau sembari memakai sepatu. 
"Saya bukan mau bimbingan atau apa, pak. Saya cuma minta waktu bapak sebentar saja. Dan membahas Tugas Akhir yang bapak tawarkan kemarin. Boleh?" rayuku. Dosen ini, pernah bimbing saya Kerja Praktek dan menjudge saya sebagai mahasiswa keras kepala.

"Iya silakan. Tapi waktunya gak banyak?" mendongakkan kepala sambil lihat jam. Jam menunjukkan 09.40 WIB.

"Saya juga tahu pak. Karena saya juga kuliah di kelas bapak hari ini." saya memelas.

"Kalau kamu mau ambil judul yang kemarin. (Saya sengaja tak jelaskan apa penelitian saya nanti. Karena ini berkaitan dengan program kerja Universitas pada mahasiswanya) Beberapa hal juga harus kamu pelajari." jelasnya sambil melihatku.

Saya lalu mengambil buku catatan. Menulis beberapa hal penting.
"Kamu harus punya Ansys 15, entah bagaimana caranya, untuk pembelajaranmu. Di lab, ada programnya, kalau kamu mau. Tapi kamu juga harus menguasai materi itu. Cari tutorial tersebut. Nanti teknisnya bisa kami mintai tolong mahasiswa Universitas lain untuk membantumu. Kamu cari juga paper, jurnal, atau karya ilmiah lain. Nanti kita pelajari." panjang lebar dia jelaskan seperti itu. Saya berulang kali tanya, untuk catatan. 

Setelah penjelasan itu, beliau kembali melihat jam dinding dan menunjukan pukul 09.50. Dan bersiap ke kelas. Saya pun mengular dibelakangnya.
Di kelas, saya tak perhatikan mata kuliahnya. Karena pengulangan mata kuliah beliau, sedikit saya paham. Beliau berpesan, kuliah akan berjalan 30 menit. Saya pun sibuk dengan smartphoneku, sembari cari materi yang disarankannya. Tak terasa penjelasan di kelas berjalan sesuai janjinya.

Saya keluar kelas, kemudian menemui kawan angkatan atas saya. Kami pun mengobrol sebentar. Kemudian Saya mengajukan tawaran tugas akhir bersamanya. Diapun antusias. Kami bertukar nomor handphone untuk kelanjutan nanti.

Di Asrama Kampus.

Pulang dari kampus saya menuju ke kamar. Beristirahat sejenak. Sayup-sayup terdengar suara tape recorder dari masjid. Sesekali mataku tak mau diajak kompromi. Kupaksa agar tetap melek. Untuk membunuh ngantuk kudengar salah satu lagu dari handphone kawan. Efek rumah kaca featuring Barasuara berjudul 'Sebelah mata' live konser. Salah satu lagu pembangkit mood. Bosan menunggu azan tak berkumandang. Saya coba telpon kantor. Menawarkan diri untuk isi weekend. Setelah selesai berbincang melalui handphone.

Beberapa menit kemudian, panggilan alam terdengar. Suara yang tak asing bagi siapapun. Panggilan untuk salat jumat.

Ada kawan saya, sebut saja R, yang punya hobi unik yang sama denganku. Malam untuk begadang dan pagi hingga siang digunakan untuk tidur. Bagi sebagian ahli kesehatan hobi ini kategori gejala skizofrenia. Tapi bagi kami, hobi ini cara menyendiri yang baik. Karena otak seolah bersih tanpa beban pikiran seperti siang yang disibukkan aktivitas. Cara ini efektif untuk menulis atau berdoa.

Kemudian saya bangunkan dia. Saya bisikkan ke telinganya, dan menggoyangkan tubuhnya : "Ndes tangi, mengko neg mati lho". Kuucapkan berulang.  Dia paham caraku membangunkan tidurnya. "hmmm..." bergumam dan membuka matanya.

Saya pun menuju kran, berwudu. Sementara dari kamar mandi ada kawan lain keluar. Sebut saja B. Lalu, Dor..dor..dor..dor.. menggedor pintu dengan sangat keras. Saya tahu, R, sudah bangun. Selesai wudu saya menemui B.

Saya coba ajak bicara : "le nggugah kancane rodo alun, opo ora iso? Lawange ora digedor, ora iso po? (Bangunkan teman agak pelan, apa tidak bisa? Pintu tidak digedor apa tidak bisa?)"
Diapun menyangkal : "ben tangi, wayahe jumatan (biar bangun, waktunya salat jumat)"

Saya kembalikan sikap dia kalau dibangunkan :"koe wae nguripke alarm jam 3 rak tangi, opo iku rak nganggu? Digugah pas kon salat wae, angel kok, gedor-gedor kancane? (Kamu saja hidupkan alarm jam 3 tidak bangun. Apa itu tidak mengganggu? Dibangunkan untuk salat saja, susah kok, gedor-gedor temanmu?)"
Dia kemudian menyontohkan pengalaman dibangunkan gurunya : "aku wae biyen ditangiake guruku digedor-gedor ben tangi.(aku dulu kalau dibangunkan guruku digedor-gedor biar muridnya bangun).

Karena tak mau terusan debat. Saya meninggalkannya. Lalu menuju masjid. Saya duduk di serambi masjid dengarkan khotbah. Khatib berkhotbah gafatar sebagai aliran sesat. Karena bosan bahasan menyesatkan orang saya pura-pura dengar.

Khotbah selesai, lalu muadzin iqamat.
Kami berjamaah salat jumat. Rakaat pertama, sang imam enak bacaan alqurannya. Rakaat kedua pikiran saya ambyar karena mengingat kejadian sebelum berangkat masjid.



Semarang-Demak, 15 April 2016
Baca juga MEMAHAMI CERITA

Thursday, March 31, 2016

Ceritaku di Pasar Lamongan

Memasuki tahun ketujuh ini, kami masih mengadu nasib di kota lain. Tuntutan dari sang bos yang terikat kontrak kerja dengan pabrik ratusan ton jadi alasan kami. Tujuan kami ialah Pasar Ikan Lamongan. Terletak di sudut kota Lamongan, yang beralamat di Jalan Kusuma Bangsa. 

Akses ke pasar tersebut cukup mudah bagi siapapun. Bagi yang berasal dari barat (Semarang) ataupun timur (Surabaya), cukup turun ke terminal Lamongan. Setelah di terminal bisa jalan kaki turun di pinggir terminal. Jalan kearah timur, ada pertigaan, masuk sekitar 250 meter setelah kafe dan karaoke 'Rasa Sayang'. Jika naik becak / betor (becak bermotor), tanya pengemudi, nanti akan diantarkan. Tak jauh kok dari terminal Lamongan.

Petunjuk di atas cukup ya.

Kami warga Semarang dan sekitarnya malah memilih pasar ikan di Lamongan. Namanya juga mengadu nasib. Eh, bukan itu maksudku. Bukankah lebih enak di Semarang, kan. Efisien dan hemat. Pasar ikan Semarang atau biasa disebut pasar pathok (karena dulu terdapat kuburan), bisa disebut juga pasar kobong (tahun 90an pernah terjadi kebakaran), merupakan pijakan pertama bos saya merintis usaha. Bos saya adik kandung ibu. Anak nenek nomor tiga. Pasar kobong hanya buka setiap malam. Lagi pula ukuran pasar kobong lebih kecil dibandingkan pasar ikan Lamongan. Bisa dikatakan pasar ikan Lamongan salah satu pasar ikan terbesar di pulau Jawa.

Karena bos suplier udang. Dan beberapa titik pertambakan udang di sekitar Semarang telah dipercayakan pada kami untuk dipanen. Jadi kami tahu kualitas udang yang dijual di pasar tersebut.
Kami pedagang musiman. Hanya datang sekitar bulan februari hingga juli. Atau hingga puasa saja. Setelah itu, kami kembali ke Semarang.

Di pasar ikan ini jujur, nilai termahal. Lebih mahal dari miliaran uang yang dibelanjakan bos saya di pasar tersebut setiap bulan. Dari tahun 2009 hingga kini kami terus belajar akan hal itu. Kami acap kali, menemui para pedagang tak jujur. Berulang kali setiap bulan kami kehilangan jutaan rupiah. Bisa dikatakan akibat kelengahan kami yang dimanfaatkan oleh pedagang atau memang kepribadian mereka yang tak jujur. Sejak tahun 2009 kami melakukan pembelian secara cash. Modal ini yang menarik minat pedagang untuk menjual udangnya pada kami.

Tahun 2009, pertama kali kami datang, kami tak punya tempat tinggal. Kami tidur di pasar berteman nyamuk dan kekumuhan. Tahun 2010 Kami coba mengontrak sebuah rumah. Namun sama saja. Rumah yang kami tempat agak seram. Tahun 2011 kami balik lagi tidur di pasar, sembari mencari rumah yang dijual untuk jangka panjang. Tujuan kami ingin mengembangkan sayap dan menetap di sana setiap tahun. Karena aturan perda setempat mewajibkan harus punya domisili di pasar. Akhirnya pada tahun 2012 keinginan itu tercapai. Sebidang tanah berukuran 1000 m² beserta bangunannya dapat kami beli. Kami pun juga membeli lapak di pasar tersebut. Cukup fantastis. Bos rela mengeluarkan 1,3 milyar. Untuk membeli lapak dan rumah.

Kami melakukan pembayaran tunai setiap hari, kecuali bank tutup. Setiap hari ratusan juta kami ambil di salah satu bank di Lamongan. Uang dari Semarang dikirim dan kami mengambilnya untuk belanja.

Ojek Panggul, Pedagang dan Pengemis.

Hal menarik di pasar ikan ini ialah ojek panggul, pedagang dan peminta-minta.
Bisa dikatakan penghasilan mereka melebihi pegawai negeri swasta. Maksudku pegawai negeri sipil. Ojek panggul. Dalam setiap mengantar mereka meminta imbalan dari pedagang dan pengepul. Umpama saya pedagang. Saya mau jual barang ke pengepul. Nah ojek panggul akan menerima dari saya dan pengepul sekian ribu rupiah sekali antar, tergantung ukuran. Umpama ember cat 1000 hingga 2000. Blong ukuran kecil hingga besar Rp. 3000 - Rp. 5000. Bisa diakumulasikan seperti ini : seandainya 1 barang mendapat upah 10000/blong, jika dia mengirim 30 blong. Silakan hitung sendiri. Lumayan kan.

Cerita lainnya ialah pengemis dan pengamen yang berjumlah puluhan orang setiap hari. Bagi mereka, pasar merupakan ladang subur meminta uang. Jika dihitung secara kasar seperti ini : di pasar ada sekitar 500 pengadu nasib. Mereka terdiri dari pengepul, pedagang kecil seperti yang saya sebut, juga pedagang makanan di sekitaran pasar. Andai pengemis ataupun pengamen itu meminta setiap pedagang dan pengepul Rp. 500 x 500 = Rp. 250000. Belum lagi para pengemis dan pengamen ini jika mengambil keuntungan dari ikan yang jatuh, tidak ditimbang. Dengar-dengar para pengemis punya rumah yang layak tinggal. Semoga berita ini benar.
Pengamen lain yang buat saya agak merinding ialah bencong. Mereka  datang setiap hari minggu.

Acap kali mereka mengganggu konsentrasi kasir. Lagi asyik membayar nota dan menghitung uang, tiba-tiba datang meminta uang. Tanpa memedulikan sang kasir sedang sibuk. Kesabaranmu diuji di sana. Kami sering cekcok dengan mereka. Bahkan ada juga ojek panggul yang tak jujur. Jika kami lengah mereka asal sebut. Padahal yang dikirim tak sesuai.

Warung  nasi dan kopi.

Di salah satu sudut pasar kita akan menemukan berjejer warung. Kopi atau pun makanan. Saya selalu menyempatkan makan di warung Umi. Wanita paruh baya dari Madura. Suaminya bekerja di Arab sebagai supir. 

Setiap pagi dan siang saya menyempatkan mampir. Kopi yang dia sajikan hasil olahan sendiri. Biji kopi digoreng dan diselep sendiri. Saat menggoreng akan tercium aroma kopinya di siang hari. Sungguh menggodaku. 

Masakan Umi yang paling enak ialah Rawon. Sepuluh ribu rupiah sudah medapatkan nasi Rawon + 1 gorengan + teh. Namun saya jarang sarapan. Rawon ini hanya saya dapatkan sekitar pukul 10.00 WIB. Jika Umi sedang repot saya menyajikan sendiri makanan. Sering kali saya menambah telur. Dan harga tetap sama 10.000.

Sejak pukul 05.30 Umi sudah di pasar. Menyiapkan apapun untuk menyajikan semuanya sendirian. 

Kalau saya bosan ke Umi saya menyempatkan ke warung Marpuah berjarak beberapa meter dari Umi. Di warung ini pula, kopi dibuat sendiri seperti halnya Umi. Bahkan jika siang saya sulit membedakan mana kopi masakan Umi dan Marpuah. Marpuah mempunyai masakan khasnya : Ikan Patin, ikan Lele, Ikan mujair,  Kuah kuning dan Sayur bayem. Cuma 12.000 sudah bisa merasakan kenikmatan masakannya.

Keluarga Baru

Sistem yang kami bangun di pasar ini dengan cara kekeluargaan. Antar pedagang kami saling kenal. Bahkan sebelah kami, bos es batu, lapaknya baru kami beli, menganggap kami saudaranya. Keluarga dari sisi bisnis ataupun apa kurang tahu motivasi utamanya beliau mendekati kami. Bos es batu itu, bernama H. Jenni. Setiap kali datang ke Lamongan, kami pasti meminjam motornya. Begitu pun ketika saldo uang tunai masih sedikit. Berapapun kami pinjam tanpa anjungan ataupun materai, sebagai bukti peminjam. Lidah tak bertulang menjadi modal kami meminta tolong.