Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, October 2, 2015

Ketika Kita Berbeda


Saat itu usiaku masih empat belas tahun. Rayhan menyapaku di koridor sekolah saat itu dan akhirnya kami memiliki percakapan kecil. Percakapan kecil, yang kutahu saat ini, maknanya lebih berat daripada yang bisa kami sadari sebagai murid kelas 2 SMP ketika itu.

“Ima, nanti kamu mau qurban sapi atau kambing? Kan padimu di rumah banyak,” Rayhan berkata dengan nada meledek, dia masih usil dan suka menganggu sejak SD. “Mbahmu juga banyak tuh sawahnya.”

Apa hubungannya jenis hewan qurban dengan luas sawah Mbah Putri? Jelas-jelas itu adalah barang yang berbeda. Aku mendengus.“Nggak tahu, Ray.”

“Kok nggak tahu? Kan acaranya sebentar lagi,” tuntutnya. Senyum menyebalkan tersungging di bibir Rayhan.

“Eh, bapakmu kalau shalat menghadap ke mana? Kiblat, apa yang lain?”

Aku gelagapan, tidak siap dengan pertanyaannya itu. “Ya kiblat, dong!” aku menjawab refleks. Jawaban yang kutahu adalah jawaban yang benar bagi mereka yang mendengarkan percakapan kami di koridor. Jawaban itu yang diajarkan Bu Narti–guru agama kami–di sekolah. Jadi jawaban itu benar, karena guru di sekolah yang mengajari. Titik.

“Ah, masaaaaa?” godanya lagi. Benar-benar dengan nada yang menyebalkan dan penuh ketidakpercayaan. “Beneran menghadap ke kiblat?”

Dia tahu sesuatu! batinku gelisah. Aku memilih pergi cepat-cepat dari koridor sekolah yang makin ramai. Tak mau orang lain mendengar percakapan ini. Banyak pertanyaan langsung muncul di kepalaku. Mengapa anak seusianya sudah mengetahui sampai sejauh itu? Apa memang masalah perbedaan keyakinan keluarga kami adalah bahan buah bibir yang lumrah untuk para orang tua di depan anaknya? Aku menghela napas. Aku berumur empat belas tahun dan aku sudah tahu kalau keyakinan keluarga kami berbeda dengan orang lain. Jadi mengapa Rayhan yang seusiaku juga tidak boleh tahu?

Ya, itu karena “tahu” belum tentu “memahami”. Tapi apakah dia harus berbicara selantang itu di koridor sekolah yang padat murid-murid? Aku malu!

“Biarkan saja Rayhan itu, Ima. Yang penting kan niatnya,” jawab Bapak ketika sore itu aku bertanya kenapa tidak mengirimkan satu ekor kambing saja untuk qurban, agar Rayhan dan orang-orang di belakang kami yang bergunjing segera diam. “Kita masih bisa membantu sesama dengan cara lain. Hal baik kan nggak cuma satu jalan saja. Kalau Bapak qurban supaya kamu nggak diledek Rayhan, tentu saja hal itu menjadi sesuatu yang keliru.”

Aku sesenggukan.

Meskipun tergolong warga yang mampu, Bapak tidak mengirimkan seekor kambing untuk disembelih di bulan Dzulhijjah. Sebagai gantinya, setiap waktu-waktu tertentu di penanggalan Jawa, terutama bulan Suro, Bapak akan membuat tumpeng dan panggang[1] untuk dibawa ke punden–makam leluhur desa kami–pada acara bersih desa. Kadang-kadang kalau pertanian kami lancar rezekinya, Bapak akan menggelar wayang kulit. Saat itulah aku akan bertemu para pria berpakaian hitam, berbelangkon, dan berkumis lebat yang merupakan teman-teman baik Bapak. Mereka menyebut diri mereka “tunggal sak perguruan[2].

Walaupun keyakinan kami berbeda, Bapak menaburkan kegembiraan yang sama bagi penduduk Desa Sidoredjo–desaku. Aku menemukan binar antusias yang sama di mata para penonton wayang kulit, sama seperti ketika melihat mereka memperhatikan deretan hewan qurban di masjid. Memang di bulan Suro tidak ada acara membagi daging sapi atau kambing, namun kulihat wajah mereka ketika mendapat jajanan pasar dari punden saat ngalap berkah[3] sama bahagianya ketika mendapat potongan daging mentah dari Pak Ustadz.

Mbah Putri sendiri selalu menyediakan apem, setundun pisang raja, kopi, rokok, dan bunga-bungaan setiap malam Jum’at Legi, di salah satu pojok rumahnya. Katanya untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal. Dan Bapak akan berdiam diri malam hari saat jam ganjil, jam sembilan atau jam sebelas malam, seperti bersemadi. Katanya, Bapak sedang menghadap Yang Maha Kuasa.

Dan Bapak menghadap ke timur, bukan ke kiblat.

Rayhan pasti sudah lama menyadari hal itu. Hal yang membuat kolom agama di KTP keluarga kami kosong.

***

KTP keluarga kami kosong bukan karena kami ateis, kami memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti yang telah kusebutkan sebelumnya. Sesuai dengan pasal 64 ayat 4 UU nomor 24 tahun 2013, pengosongan kolom agama pada KTP diperuntukkan untuk para penganut aliran kepercayaan. Bukan untuk ateis. We believe in God, but what we believe is not called religion.

Sebenarnya ada opsi selain pengosongan kolom pada KTP itu, yaitu dengan menuliskan “aliran kepercayaan”. Namun kami, para penganut kepercayaan, menolaknya. Apalah arti sebuah nama? Kami tak butuh frasa pada kartu identitas untuk mendefinisikan hubungan kami pada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada yang dapat mendefinisikan hal itu. Tak perlu ada labelisasi. Label hanya berlaku di dunia yang fana, sedangkan yang kami percayai bertahan dalam kefanaan. Kolom yang kosong tak berarti tidak menyembah Tuhan, bukan? Seperti halnya kolom yang berisi tak berarti menyembah Tuhan. Banyak kutemui orang-orang yang terisi kolom agama di KTP-nya tak pernah beribadah, atau paling tidak jarang beribadah dan masih melakukan hal-hal buruk yang dilarang agamanya. Ya, beragama belum tentu bertuhan. Begitu juga sebaliknya. Setidaknya, itu yang aku percayai sampai detik ini.

Terimalah bahwa cara kita berbeda.

***

Desaku ini bernama Sidoredjo dan terletak di Lereng Gunung Kelud, Kediri, Jawa Timur. Tempat banyak kepercayaan animisme dan dinamisme masih hidup di benak banyak penduduknya. Dan kami semua hidup rukun dan damai.

Di Sidoredjo, saat jarum jam menunjuk pukul empat pagi, dapur-dapur berlantai tanah dan beratap genting tanpa plafon sudah mengepul. Penghuni desa kecil ini sudah berangkat ke sawah atau ke pasar sebelum subuh. Tapi hari itu kedamaian pagi di Sidoredjo terusik dengan bunyi besi beradu besi yang memekakkan telinga. Kecelakaan karambol terjadi tepat di depan rumahku. Aku–yang masih bersiap untuk ke sekolah–keluar rumah dengan tergopoh-gopoh bersama Ibu, ingin tahu. Beberapa orang telah bergerombol lebih dulu dari kami. Pecahan kaca terserak di atas aspal dan kulihat tiga motor bertumpuk jadi satu.

Len goblok! Ngerem dadakan ora digawe utekke!”[4] maki pengendara yang selamat.

Tak jauh dari tempatku berdiri, tiga orang bapak-bapak menggotong tubuh gadis SMA yang pingsan, saat itulah aku yakin bahwa aku mengenali tubuh itu.

“Karina!” seruku. Aku bisa melihat pergelangan tangannya bengkok dengan cara yang janggal. Sepertinya anak itu patah tulang.

***

Aku tidak begitu dekat dengan Karina. Kami pun tak pernah bercakap-cakap lama sebelumnya. Kutahu dari tetangga, Karina menjadi yatim sejak ayahnya meninggal ketika usianya sepuluh tahun, kini ibunya yang berprofesi sebagai penjahit adalah tulang punggung bagi keluarga.

Aku pasti akan melihat ibunya mengantre potongan daging sapi mentah di masjid setiap Idul Qurban dan aku akan melihat tiga adiknya berebut jajan pasar saat ngalap berkah bersih desa. Ketika Natal tiba, Maria dan Yakob sering meminta bantuanku membungkus hadiah dan aku akan menemukan nama keluarga Karina di antara daftar keluarga yang perlu diberi santunan Natal, entah itu berupa baju, telur, atau kue. Karina adalah bagian dari warga desa kami yang disantuni. Jadi aku cukup mengerti keengganannya ke rumah sakit, walaupun dibiayai Pak Rustandi–si sopir angkutan umum serampangan penyebab kecelakaan karambol pagi tadi. Keluarga Pak Rustandi sendiri selalu disantuni setiap tahun dari masjid Pak Imam. Orang susah bertemu orang susah.

Jadi di sinilah kami sekarang, di kediaman Pak Tedjo, salah satu teman paguyuban Bapak yang ahli pijat dan totok syaraf. Pak Tedjo mengobati Karina dengan telaten, dilumurinya tangan Karina dengan minyak kelapa, beberapa jenis bunga yang diremas, dan jeruk nipis.

“Nah, dibebat dulu satu minggu, nanti kamu ke sini lagi, ya,” kata Pak Tedjo ramah.

Aku mengucapkan terima kasih. Begitu juga ibu Karina. Namun ketika kami beranjak pergi, Karina menangis, membuat kami kebingungan.

“Kenapa, Rin?” tanyaku heran.

Karin menyeka air matanya. “Aku harus latihan dengan Bu Resti setiap hari sepulang sekolah. Lomba itu sebulan lagi dan sekarang… satu minggu lagi juga aku belum bisa memastikan apakah tanganku ini bisa kembali seperti sedia kala.”

Ah iya, aku ingat. Karina adalah salah seorang wakil dari sekolahku untuk mengikuti kejuaraan tari tingkat provinsi. Aku menatapnya prihatin. Karina pasti patah hati.

***

Aku adalah tipikal orang yang tidak bisa diam, apalagi kalau tahu aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang membutuhkan bantuanku. Kata Bapak, kita harus saling membantu, tanpa pandang bulu. Jadilah aku meminta bantuan Pak Tedjo, yang istrinya punya sanggar tari, untuk melatih Karina sampai bisa, sebagai ganti dia tidak bisa berlatih di sekolah. Dia harus bisa menarikan tari pendet, gambyong, dan tari bali untuk lomba antarprovinsi itu. Selagi tangannya mendapatkan perawatan dari Pak Tedjo secara gratis, Karina bisa berlatih tari-tarian untuk perlombaan itu.

Kecelakaan hari itu membuat kami dekat. Aku yang tak pernah mempunyai sahabat dekat, kini memiliki Karina. Ya, sejak dulu aku terbebani dengan perbedaanku. Sebenarnya tak ada yang perlu dirisaukan. Bapakku cukup banyak berkontribusi bagi lingkungan, beliau pun dikenal masyarakat luas, tidak ada catatan kriminal, atau apa pun. Jadi Bapak mendapatkan banyak pemakluman atas apa yang menjadi pilihan keyakinan keluarga kami. Tapi tetap saja pengertian seperti itu tidak diteruskan sampai ke generasiku. Aku seakan bisa mendeteksi kapan tatapan mata menelisik teman-teman tertuju padaku. Sekalipun Rayhan menyembunyikannya dengan candaan, atau Maria menyembunyikannya dengan senyuman. Aku tahu mereka tak bisa memberikan pemakluman yang sama.

Seperti yang sudah kuduga, Karina berhasil terpilih mewakili sekolah dengan mudah, dia pun menang telak di lomba antarprovinsi itu. Persahabatan kami serasa lengkap.

“Imaaaa!” Karina memelukku kegirangan setelah mendapat piala kejuaraan tari tradisional. Praktis kini Karina, sahabatku, adalah siswa SMA terbaik se-Jawa Timur dalam hal menari.

“Kariiiin!” Aku memeluknya, seakan kami telah lama tidak bertemu. Padahal baru kemarin lusa aku mengantarnya naik bis ke Surabaya, untuk ikut lomba tari itu. “Selamat, yah! Aku ikut seneng. Mana pialanya yang setinggi pinggang itu?”

Karin malah mengeluarkan sebuah gelang dari dompet kecilnya. “Ah, itu bisa menunggu. Ini, aku baru saja beli ini, kembaran buat kita. Gelang persahabatan.”

Aku menatap gelang persahabatan itu dengan takjub. Ini menjadi penanda persahabatanku dengannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memiliki sahabat.

“Terima kasih, ya Ma. Berkat kamu, aku masih bisa terus menari.”

Aku tersenyum gembira. Tulus dari hatiku. Kami beragam, kami tak sama, kami meyakini suatu hal yang sama dengan cara yang berbeda, tetapi sampai detik ini kami masih bisa hidup berdampingan dengan tenang dan saling membantu. Sungguh damai dan tenteram hidup di Sidoredjo. Aku ingin selamanya hidup di desa ini, bersama warganya yang memiliki toleransi tinggi. Aku melirik Karina di sampingku. Kami sama sekali tak sama, Karina dibesarkan tidak dengan keyakinan seperti aku. Tapi pertemanan kami berjalan sejauh ini.

Ya, awalnya aku memang mengira aku dan Karina bisa selamanya berteman. Awalnya.

Kejadiannya terjadi begitu cepat. Sekelompok orang baru memasuki Sidoredjo dengan mudah. Warga Sidoredjo tidak menaruh curiga sama sekali, justru kami akan menyambut kedatangan orang baru dengan ramah. Seperti mendapat saudara baru.

Dan dari situlah awal mula segalanya.

Suatu malam pintu rumahku digedor-gedor kasar. Bapak membukanya. Ada lima pria tinggi dan gempal berbicara dengan Bapak dengan nada yang menurutku tidak santun, dan sama sekali tidak ramah. Ibu segera menyuruhku menemani adik-adikku, Astari dan Bagas, di kamar belakang.

“Ada apa, Bu?” tanyaku takut.

“Tidak ada apa-apa, ayo sudah, temani adikmu.”

Aku sudah mencium kejanggalan itu beberapa minggu sebelumnya. Pasti mengenai paguyuban kami. Orang-orang baru itu dengan mudahnya membaur dengan masyarakat, tapi tidak dengan kami. Mereka bertanya banyak hal tentang paguyuban kami lewat orang-orang di sekitar kami yang sama sekali bukan pengikut paguyuban kami. Kemudian dengan cepat mereka menyimpulkan bahwa kami “aliran sesat”.

Dua kata itu ibarat bom waktu yang kini ditekan pemicunya. “Aliran sesat” menjadi label bagi paguyuban kami di setiap sudut Sidoredjo. Para warga yang mulanya tak peduli, atau mungkin selama ini berusaha tak peduli, kini bereaksi. Bahkan puluhan orang yang dinafkahi keluarganya oleh Bapak selama bertahun-tahun, dari bekerja sebagai buruh tani ataupun hasil paro sapi, mempertanyakan hal-hal yang menjadi keyakinan kami, mereka mulai mempertanyakan kami.

Orang-orang baru itu pun seperti menyiramkan bensin pada api. Reaksi warga Sidoredjo semakin menjadi-jadi. Kami mendadak seperti terasing di tanah kelahiran sendiri. Mengapa mereka mau percaya pada informasi yang disebarkan tidak dari sumbernya? Seperti mengunyah makanan yang sudah dikunyah orang lain terlebih dulu lalu menelannya. Menjijikkan.

“Ma, apa kamu tidak bisa mengusahakan agar orang tuamu kembali ke jalan yang benar?” Pertanyaan Karin sepulang sekolah beberapa waktu lalu menusukku seperti sembilu. Jalan yang benar? Tahu apa dia? Aku tak menjawabnya. “Ima, segeralah bertobat!”

Kalimat Karin terasa menghunjamku. Aku hanya mengangguk. Tak ada yang pernah benar-benar mengerti. Aku cepat-cepat berlalu dan kini aku kembali menyeleksi orang-orang yang ingin mengobrol denganku. Seperti dulu.

“Ibu,” aku keluar dari kamar Bagas. Kulihat ibu merapikan barang-barang dengan tergesa. Semua dimasukkan ke karung dan kain sekenanya. Aku terperanjat, “Kita mau ke mana?”

Raut gelisah terpancar dari wajah Ibu. Aku tahu kami tidak baik-baik saja. Pemuda-pemuda yang tadi menggedor pintu rumah kami kini terdengar berbicara kasar pada Ayah. “Karin, kita pergi sekarang.”

“Apa?” tanyaku kaget.

“Kita pergi sekarang!” Ibu menaikkan nada bicaranya. Seperti frustrasi menekan gundah yang tak kuasa dikekangnya. “Kemasi barangmu secepatnya, seadanya. Kita pergi sekarang!”

Aku terlalu bingung untuk membantah. Kubuka gudang tempat kami menyimpan koper-koper, lalu menata baju-baju dengan cepat. Aku bisa melihat langit menjadi merah, lalu dengan segera menyadari itu tercipta karena kobaran api. Sanggar paguyuban kami dibakar!

“Ibu! Mereka sedang apa!?” aku memekik, melihat sanggar paguyuban di depan rumah kami dilalap api. Kelamnya malam menyembunyikan orang-orang yang ternyata sudah mengelilingi sanggar paguyuban di samping rumahku. Kobaran api itu menyingkap gelap yang menyelimuti wajah mereka, membuat raut-raut itu mudah terlihat. Aku mengenalinya. Aku tak mungkin salah melihat siluet Maria, Yakob, Pak Rustandi, Bu Imam….

“Biarkan saja, Ima!” sergah Ibu, membuyarkan fokusku menatap orang-orang yang dulu begitu kukenal kini tak lagi berusaha menolong kami. Ibu sudah selesai mengemasi peralatan dapur di dalam karung. Bapak sudah memarkirkan mobil pikap di samping rumah. “Ayo kita pergi.”

Aku menahan tangis. Di mana perginya semua orang itu? Di mana perginya mereka yang menyumbang tumpeng saat acara bersih desa meskipun kita tidak satu keyakinan? Di mana perginya mereka yang kami bantu? Di mana perginya mereka yang semalam suntuk menonton wayang yang digelar Bapak? Di mana perginya mereka yang bekerja untuk Bapak? Di mana mereka yang hidup dari usaha pertanian Bapak?

Mereka tidak pergi ke mana-mana. Mereka ada di barisan itu. Mereka ada, berjajar rapi ketika kami meninggalkan rumah dengan pikap dan barang-barang kami yang seadanya, di depan kobaran api sanggar paguyuban kami yang membumbung tinggi, melihat kami seperti tontonan.

“Apa kita salah, Bu?” tanya Astari, adik bungsuku yang masih SD. “Kita salah apa, Bu?”

“Sesat! Sesat!” teriakan orang-orang baru itu terdengar mengiringi kepergian kami. Para warga yang sudah kukenali, hanya diam menonton. Hatiku mendidih di dalam. Ibu menutupi telinga Astari dengan protektif. Tak ingin kata-kata kasar itu menghantui pikiran adikku yang malang.

Ibuku tidak menjawab pertanyaan Astari. Pikiranku melintas cepat dengan hati membara. Salah? Kita? Bagaimana dengan Pak Rustandi yang baru saja ketahuan memiliki anak dari wanita lain? Bagaimana dengan Rayhan yang ayahnya menjadi tersangka korupsi? Bagaimana dengan Bu Murniasih yang dulu pernah mencuri ayam Mbah Putri? Apakah ada yang benar-benar… benar? Kenapa mereka semua menjadi sok suci!?

Aku bisa melihat wajah mereka dari pikap. Wajah Pak Rustandi yang kosong, wajah Bu Murniasih yang tak berani membalas tatapanku, wajah Maria yang menyiratkan permintaan maaf, wajah Rayhan yang menunjukkan rasa puas setelah sekian lama tanyanya terjawab, dan Karina… ia tak terlihat.

Bapak selalu bilang, kita hanya menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda. Apakah kami salah?

“Ibu, kenapa kita pergi?” Bagas merengek, menuntut jawaban.

“Biar Tuhan yang membalas orang-orang itu di akhirat nanti!” jawab ibuku getas. Bibirnya geram.

Kemudian aku bertanya, dengan pandangan nanar. “Ibu, bagaimana kalau di akhirat nanti kita bertemu lagi dengan orang-orang itu, dan saat menunggu bertemu dengan Tuhan, ternyata… Tuhan kita sama?”

“Sudahlah, Ima, sudahlah. Ada beberapa orang yang memang tak akan pernah mengerti,” Ayah melajukan pikapnya dengan pasrah.

Aku menitikkan air mata. Mereka boleh membumihanguskan apa yang kami miliki dan menghancurkan apa yang kami percayai. Namun kami tidak akan berhenti untuk tetap percaya pada keyakinan kami, seperti kami percaya bahwa karma pasti ada, seperti kami percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dan saat itulah, kita akan berjumpa kembali dan mengetahui jawaban yang benar.

Aku tidak sedang mengancam.

[1] Satu ekor utuh ayam bakar.

[2] Satu perguruan. Memiliki aliran kepercayaan yang sama.

[3] Acara berebut makanan saat upacara adat bersih desa, dipercaya makanan yang diperebutkan akan mendatangkan berkah bagi hari-hari berikutnya.

[4] Angkutan umum bodoh! Ngerem mendadak nggak pakai otak!

Sumber : Altami N.D. 4 Comments Cerpencerpen Altami N.D.cerpen Ketika Kita Berbedacerpen untuk basabasi.co

 - See more at: http://basabasi.co/ketika-kita-berbeda/#sthash.jncPwf4L.dpuf

Makna "Melompat Lebih Tinggi"

Lirik Melompat Lebih Tinggi

Kita berlari 
dan terus kan bernyanyi
Kita buka lebar pelukan mentari
Bila ku terjatuh nanti
Kau siap mengangkat aku lebih tinggi

Bersama kita bagai hutan dan hujan
Aku ada karena kau telah tercipta

Kupetik bintang 
Untuk kau simpan
Cahaya tenang
Berikan kau perlindungan

Sebagai pengingat teman
Juga jawaban semua tantangan
Masih terus kuingat llirik diatas. Ya. Lagu ini hampir di setiap konser, Sheila on 7 bawa. Berkali-kali menonton konser mereka, lagu ini yang mampu memacu adrenalin para penonton untuk berjingkrak-jingkrak.

Seringnya mendengar melalui mp3 ataupun saat konser, sayapun tertarik mengulik lirik ini. Kubuka album-album mereka, dari pertama hingga ost. 30 hari mencari cinta. Akhirnya menemukan kepingan yang tersurat. Album kisah klasik untuk masa depan itu membawaku pada kepingan kecil dari cover album seperti ini :
"Jangan pernah sedih karena terlalu mencintaiku
Jangan pernah sedih karena kau merasa kehilangan aku
Jangan pernah sedih karena kau tak sanggup melupakan aku
Maka jangan menangis saat aku meninggalkanmu
Dan ingatlah waktu-waktu terbaik yang kita lalui
Maka kau akan bangga karena kau mengenalku
Karena aku hanyalah batu pijak bagimu saat kau ingin melompat lebih tinggi.

Itu kira yang aku tangkap dari mata ayahku sebelum dia benar-benar pergi."

Tak kusangka lirik ini merupakan pengembangan kata-kata tersebut. Sebuah ucapan kata cinta seorang anak pada ayahnya. Bagaimana sang anak akhirnya harus merasakan kerinduan? Rindu kasih sayang ayah yang telah tiada.

Menurut pengakuan mas Eross, album kisah klasik sebagai pintu perpisahannya dengan sang ayah. Sebagian orang yang mengenalnya tahu, bahwa perceraian ayah-ibu mas eross adalah kisah pahit beliau. Dan sebagai seorang anak, kerinduan untuk berjumpa di akhir hayatnya adalah keharusan.

Waktu yang singkat untuk berjumpa harus dimanfaatkan sebaiknya. Memang benar jika kalimat-kalimat ini "Dan ingatlah waktu-waktu terbaik yang kita lalui, Maka kau akan bangga karena kau mengenalku. Karena aku hanyalah batu pijak bagimu saat kau ingin melompat lebih tinggi." bentuk kerinduan dan tertulis dengan ikhlas.






Sunday, September 27, 2015

Makna Tersirat 'Jalang- @efekrumahkaca'

Lirik Jalang sebagai berikut :

Siapa yang berani bernyanyi
Nanti akan dikebiri
Siapa yang berani menari
Nanti kan dieksekusi

Karena mereka, paling suci
Lalu mereka bilang kami jalang
Karena kami, beda misi
Lalu mereka bilang kami jalang

Aku sempat menyangka jika lirik ini bercerita tentang tragedi 1998 ataupun 1965/66. Jauh lebih dalam aku otak-atik lirik ini. Kutelaah kata demi kata. Dan memang seperi mengarah kesitu.

Tentu kita ingat bahwa tragedi 98 yang menewaskan aktivis, adalah progress kemajuan demokrasi kita. Dan saat itu jenderal-jendral, bersikap seolah pahlawan. Siapapun yang berani bernyanyi pasti akan dikebiri. Dan mati paksa mutlak hukumnya (saat itu). Tentu ingat juga cerita penculikan-penculikan orang seperti Wiji Thukul hingga beberapa aktivitas lain yang bernyanyi, sekarang menghilang kan?.

Yang menari di pentas politik atau birokrasi. Akhirnya dieksekusi kan? Dan dieksekusinya melalui jabatan yang akhirnya dicopot. Atau mati dipenjarakan. Hal itu terjadi saat setelah orba (1965/1966). Ingatkah dengan para mentri-mentri yang dipenjarakan?. Dan founding father pun juga dieksekusi, tanpa mati.

Pada bagian "karena mereka paling suci, lalu mereka bilang kami jalang" dan "karena kami beda misi, lalu mereka bilang kami jalang' adalah ekspresif dari seseorang ketika berbeda sudut pandang.

Makna-makna lirik ini, akan menggelegar ketika masuk kedalam salah satu golongan dan agama.

Kawans tahu bahwa sesama islam yang berbeda madzab atau aliran akan saling mencaci atau menyesatkan. Wahabi, Sunni, Syiah atau apa yang menurut sudut pandang berislam dalam kemantapan bermazhab. Setiap yang beda saling ucapkan "Jalang" (makna luas).

Hanya karena beda misi, paling suci lantas mencaci yang lain "Jalang".

Telaah ini aku diskusikan secara personal dengan kawanku. Thanks Bagas (@bagaspey di twitter).

Friday, September 25, 2015

Lirik 'Putih' Efek Rumah Kaca

 Sebuah twit dari efek rumah kaca mengantarkan saya pada link. Link yang mengarah pada soundcloud, dan mempunyai fitur download, tak kusia-siakan. 

Saya ingin tahu lebih dalam band ini. Beberapa kali denger lagu, seperti desember hingga pasar bisa diciptakan. Mampu membuatku terharu.

Lalu pada akhirnya tiba pada single Putih ini. Dan kudownload. Kudengar melalui earphone. Untuk itu denger ini berulang-ulang. Tak kuduga Saya merasakan tangis yang tak tertahan. Begitu dalamnya cerita pada lirik ini.

Lirik yang bercerita pada kematian seseorang, menggodaku untuk mengingat apa kandungan cerita itu. Berhubung website efek rumah kaca menyediakan, lalu kucopy, seperti ini liriknya :
PUTIH

Tiada (untuk Adi Amir Zainun)
Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulan,
Dengar, pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian bersahut-sahutan
Tegang, membuka jalan menuju tuhan
Akhirnya aku usai juga

Saat berkunjung ke rumah,
Menengok ke kamar ke ruang tengah
Hangat, menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah

Dan kematian, keniscayaan
Di persimpangan, atau kerongkongan
Tiba tiba datang, atau dinantikan
Dan kematian, kesempurnaan
Dan kematian hanya perpindahan
Dan kematian , awal kekekalan
Karena kematian untuk kehidupan tanpa kematian

Ada (Untuk Angan Senja, Rintik Rindu dan semua harapan di masa depan)

Lalu pecah tangis bayi Seperti kata Wiji
Disebar biji biji
Disemai menjadi api

Selamat datang di samudra.
Ombak ombak menerpa
Rekah rekah dan berkahlah
Dalam dirinya, terhimpun alam raya semesta
Dalam jiwanya, berkumpul hangat surga neraka

Hingga kan datang pertanyaan
Segala apa yang dirasakan
Tentang kebahagian
Air mata bercucuran

Hingga kan datang ketakutan
Menjaga keterusterangan
Dalam lapar dan kenyang
Dalam gelap dan benderang

Tentang akal dan hati
Rahasianya yang penuh teka teki
Tentang nalar dan iman
Segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan
Dan tentang kebenaran
Juga kejujuran
Tak kan mati kekeringan

Esok kan bermekaran

Sumber http://efekrumahkaca.net/en/news/erk-s-latest-news/item/763-press-release-lagu-putih-efek-rumah-kaca#.VgUKh9_ZFAg


Download lagunya https://soundcloud.com/efek_rumah_kaca/putih atau http://release.ripstore.asia/erk

Monday, August 3, 2015

Buruh itu Kekasih

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Saya seorang bos, meskipun sampai detik ini sama sekali saya belum mengerti apa sebenarnya arti kata 'bos'. Delapan tahun yang lalu saya seorang kuli bangunan. Yang ini sangat jelas. Pekerja kasar. Buruh kecil. Saya memegang cangkul untuk mencampur pasir, gamping dengan semen. Sedikit demi sedikit saya mengerti bagaimana memperlakukan batu bata, kayu, paku, serta apapun yang berkaitan dengan pekerjaan membangun rumah.

Akhirnya, benar-benar saya membangun rumah, dengan uang yang saya kumpulkan sendiri, ditambah utang kepada seorang teman. Sebiji saja. Rumah sangat sederhana. Boleh juga disebut RSSSSS... rumah sangat sederhana sesak sumpek suntuk semprul sekali... silakan menambah seribu huruf 's' lagi semaumu.

Mungkin karena kerjaan saya rapi dan bercampur simpanan kalbu yang bernama keprihatinan dan ketekunan, maka seseorang membeli rumah itu sebelum benar-benar selesai. Terutama juga karena saya agak maniak-kebersihan. Tidak ada puntung rokok tergeletak. Haram secawuk debu menabur tidak pada tempatnya. Dilarang ada yang serampangan. Ketika mengerjakan bangunan, harus langsung menyingkirkan setiap benda tak terpakai yang menunjukkan ada bekas orang membangun. Tangan dan badan harus dicuci pada detik pertama ia mesti dicuci. Segala sesuatu harus bertahan bersih tanpa ada satu menit penundaan atas 'agama' kebersihan di ruangan yang saya tangani.

Hal itu saya praktikkan ketika kemudian bulan demi bulan saya diperkenankan Tuhan mengembangkan usaha rumah. Dari satu rumah yang dibeli, saya bikin dua berikutnya dengan segala daya upaya. Demikian seterusnya sampai sepuluh, seratus, dan akhirnya saya mulai membuat sejumlah kompleks real-estate.

Pada eksterior, taman dibangun dulu, pada interior, lantai marmer ditancap dan ditata dulu, sebelum dinding dan segala yang berdiri lainnya. Pada pekerja saya dibimbing oleh taman yang indah dan marmer yang mengkilat selama bekerja. Dituntun tidak hanya dalam hal memelihara kebersihan maksimal, tapi juga kehati-hatian dan optimalitas pengerjaan semua unsurnya.

***
Dulu pekerja saya beberapa orang, sekarang ribuan. Saya menyeleksi dan memilih sendiri siapa yang sebaiknya bekerja pada saya. Saya hanya tamat SMP, maka saya tidak mengerti psiko-test atau apapun. Saya meraba kepribadian mereka dengan firasat, kepekaan hati, melalui sorot mata mereka, cara omong mereka, tema-tema dari pikiran dan kalbu mereka, gerak-gerik mereka. Selebihnya test terakhir adalah doa permohonan saya kepada Tuhan agar diperkenankan tidak keliru memilih sahabat dalam hidup yang pasti hanya satu kali ini.

Kalau memang harus dirumuskan, maka kriteria yang saya pakai adalah keikhlasan dan kejujuran. Soal keterampilan sangat gampang ditumbuhkan dan dibina. Sejumlah sarjana teknik dan ekonomi saya terima, namun dimana saya letakkan tergantung pada firasat dan rasa ketepatan saya. Para direktur dan manajer yang langsung menjadi bawahan saya adalah orang-orang yang menurut hati saya merupakan sahabat sehati saya. Yang kalau ketemu saya cium pipi mereka, saya ajak berdoa agar perusahaan kami bisa mendapatkan kemudahan dan berkah dari Allah.

Berkah itu harus terutama dinikmati oleh para buruh, pekerja atau karyawan, karena merekalah tulang punggung perusahaan saya. Kalau saya tidur satu minggu, perusahaan tetap jalan. Tapi kalau buruh saya mogok sehari, produktivitas anjlok, hubungan kemanusiaan di antara kami menjadi rusak.

Saya upayakan gaji buruh saya di atas dua kali lipat dibanding standar gaji buruh umum pada levelnya. Setiap pekerja yang baru masuk, saya kasih gaji tiga bulan, yang berlaku untuk bulan pertama ia bekerja. Istrinya saya panggil, atau orang tuanya kalau ia belum nikah, untuk menerima gaji pertama itu. "Ini uang supaya rumah tangga kalian aman. Biarkan suami bekerja tanpa beban kesusahan rumah tangga di sini. Kalau ada problem yang benar-benar tak bisa kalian atasi, jangan pernah tidak bilang kepada saya, asalkan kalian tidak mencari-cari".

Nanti datang hari peringatan kemerdekaan 17 Agustus, para buruh menerima gaji tiga bulan. Juga kalau tiba hari Maulid Nabi dan lain sebagainya. Kalau Idul Fitri harus lima bulan gaji. Juga, maaf, kalau saya berulang tahun, sebisa-bisa saya kasih tiga bulan gaji, agar doa mereka lebih khusyuk. Pokoknya gaji setahun minimal 23 bulan.

Kalau Idul Adha, minimal per-3 KK harus dapat seekor sapi dan beberapa ekor kambing untuk korban. Pokoknya apa saja yang bermanfaat bagi pekerja dan mampu diberikan oleh perusahaan, wajib diberikan. Yang saya minta sebenarnya mungkin hanya satu; kejujuran. Tidak ada korupsi, karena korupsi adalah ketidakjujuran terhadap kebenaran ekonomi. Tidak ada kemalasan, karena kemalasan adalah ketidakjujuran terhadap anugerah Tuhan atas potensialitas kerja hamba-Nya. Tidak ada nguthit, tidak ada curang, tidak ada menang sendiri --sebab itu semua merupakan ketidakjujuran terhadap keharusan nilai-nilai manusia hidup.

***
Saya ini lemah menghadapi ketidakjujuran. Sehingga setiap saya jumpai pekerja yang tidak jujur, terpaksa langsung saya keluarkan. Tidak ada peringatan, tidak ada penundaan, tidak ada kesempatan kedua. Perusahaan harus efektif dan efisien dalam kosmos kerja yang jujur, sehingga tidak punya waktu dan dana untuk peringatan, penundaan, permaafan, atau pemberian peluang kedua sesudah ketidakjujuran yang pertama. Maafkanlah kelemahan manusiawi saya ini.

Sebab siapapun saja di perusahaan ini harus memberi ruang kepada setiap kemungkinan untuk menolong siapapun yang sebaiknya ditolong. Bahkan kalau saya mencintai sahabat saya yang perusahaannya memiliki keterbatasan yang tak mungkin diatasi sehingga karyawannya tidak begitu maksimal kesejahteraannya, saya menyediakan dana untuk tambahan gaji bulanan bagi perusahaan sahabat saya itu. Itu karena saya tidak bisa mengatasi hati saya yang terlalu gampang terharu. Itu saya lakukan sampai kapan pun saya mampu. Kalau hati saya terharu melihat jalanan rusak, bisa saja langsung saya suruh ukur untuk saya perbaiki, tidak perduli bahwa itu kewajiban pemerintah.

Juga kapan saja para pekerja saya bisa menolong orang lain, saya anjurkan untuk melakukannya. Tak usah peduli apakah yang harus ditolong itu orang PPP, Golkar atau PDI. Jangan perhatikan apakah ia orang Islam atau Kristen. Jangan ingat apakah ia Muhammadiyah atau NU, Orla atau Orba, termasuk golongan penindas atau kaum tertindas- pokoknya mereka manusia.

Ketemu siapa saja di jalan, kalau pas punya uang dan kalau orang itu terasa layak mendapatkan uang, kasihlah uang. Ketemu tukang koran, anak-anak di perempatan jalan, penjual gerobagan yang tidak begitu laku, kaum pengamen atau siapa pun yang engkau rasakan perlu mendapatkan pertolongan darimu, ulurkanlah tangan.

Termasuk para pengemis. Banyak orang mengritik, "Jangan kasih uang kepada pengemis. Itu tidak mendidik". Kritik mereka benar. Kalau engkau sanggup mendidik mereka, bawalah ke rumahmu. Kumpulkan dan asramakan. Biayai. Dan kasih kursus bagaimana hidup tidak mengemis. Tapi kalau engkau tidak mampu mengangkut mereka ke rumah dan mendidik mereka, kasihlah uang langsung. Jangan sampai engkau tidak mendidik tapi juga tidak ngasih apa-apa.

Selalu awasi tetanggamu di tempat masing-masing, jangan sampai ada yang mendapatkan kesulitan lantas kamu tidak tahu dan tidak membantu apa-apa. Jangan sampai engkau mendapatkan kesulitan dan tidak ada yang datang menolongmu. Jangan sampai ada yang orang di sekitarmu yang mengalami kesusahan lantas engkau tuli dan tidak menolongnya. Berdoalah kepada Tuhan agar engkau diizinkan untuk bertemu dengan orang yang bisa menolongmu, serta tidak lolos dari persentuhan dengan orang yang memerlukan pertolonganmu.

***

Zakat perusahaanku per tahun rata-rata 12 sampai 15 milyar rupiah. Para buruh harus punya rumah semua. Satpamku harus punya mobil standar, harga minimal 20 juta saat ini. Hubunganku dengan Satpam dan para pekerja lain adalah hubungan manusia. Saya tidak sanggup memandang wajah buruhku dan berkata dalam hati, "Kupekerjakan kamu di sini, kukasih upah sebulan sekian, selebihnya aku tidak tahu. Kalau sesekali kamu mendapatkan problem, kecelakaan misalnya, yaah nanti dipertimbangkan oleh para direksi untuk membantu ala kadarnya…."

Tidak. Saya tidak sanggup berlaku profesional yang demikian. Hati saya sangat lemah. Perusahaan saya membutuhkan doa mereka semua kaum pekerja. Agar mereka semangat berdoa, baik pada tahlilan dua minggu sekali yang kami selenggarakan untuk semua buruh maupun di rumah masing-masing atau bahkan kapan saja --maka hati mereka harus berbahagia.

Jalan agar hati mereka bahagia adalah memberi upah yang kalau bisa jauh di atas rata-rata ukuran upah buruh. Memberi fasilitas-fasilitas yang di perusahaan lain rata-rata mereka tidak bisa mendapatkannya. Rumah tangga masing-masing buruh harus dibereskan oleh perusahaan. Tidak hanya keberesan duniawi mereka, tapi juga investasi akhirat mereka. Anak istri mereka harus merasa menjadi bagian dari keluarga perusahaan.

Kalau hati para buruh beserta keluarganya bahagia, maka mereka ikhlas dan bangga bekerja di perusahaan saya. Dan kalau mereka ikhlas dan bangga di sisi saya, insyaallah mereka akan selalu memacu kerajinan serta kreativitas kerja. Etos kerja mereka akan maksimal. Hati mereka semua akan memancarkan energi, semangat dan doa bagi kemaslahatan perusahaan.

Sahabat-sahabat saya pernah bertanya, "Kalau begitu, buruh adalah aset utama perusahaan ya?"

Saya menjawab, "Buruh adalah kekasih."

"Tapi bagaimana mungkin menyusun manajemen keuangan perusahaan dengan kemurahan-kemurahan yang tidak rasional seperti itu?"

"Sepanjang pengalaman saya, itu sangat rasional. Manajeman modern-rasional itu benar, tapi hanya satu sisi, flat dan linier logikanya. Keberlakuan untung ruginya dengan demikian juga hanya pada wilayah yang datar itu. Yang saya yakini, saya gunakan dan saya alami adalah manajemen barokah atau manajemen berkah. Wilayahnya bukan hanya lempengan yang terdiri atas panjang, lebar, dan tinggi, tapi bulatan. Dalam manajemen berkah, 5 minus 7 tidak = minus dua, melainkan bisa plus 10, plus 20 bahkan bisa plus 700. Sebab Tuhan memang menjanjikan demikian, meskipun di antara 700 itu bisa saja yang berupa finansial duniawi hanya 200 sementara yang 500 adalah investasi surga. Kalau keperluan para buruh pada suatu saat melebihi kas perusahaan, nanti datang 'plus'nya dari wilayah di luar panjang-lebar-tinggi. Asalkan produk perusahaan kita maksimal dan unggul dari produk lain berkat kerja keras, keikhlasan, dan doa para buruh, insyaallah menaburnya hujan berkah itu selalu mengagetkan kita. Kata para Ustadz itu yang namanya, 'min haitsu la yahtasib', bersumber dari momentum dan segmen yang sama sekali di luar dugaan ilmu manajemen yang tercanggih pun."

Sahabat saya itu senyum-senyum, "Kalau demikian kenapa perusahaan-perusahaan yang dikelola oleh kelompok-kelompok keagamaan mayoritas di negeri kita ini umumnya malah tidak maju?"

"Saya tidak mengerti", jawab saya, "Yang saya tau hanya saya tidak boleh memusatkan diri pada keuntungan finansial. Yang lebih tidak boleh lagi adalah mendayagunakan agama untuk kepentingan profit, menjual idiom-idiom agama untuk promosi komoditas, apalagi pada wilayah linier-datar. Di situ Tuhan dijadikan faktor produktif dan sekular. Menurut logika Tuhan, di situ tak mungkin ada barokah-Nya. Saya sendiri tidak berani menggelar sajadah dan bersujud pada obsesi keuntungan duniawi. Yang saya tahu adalah kewajiban bekerja maksimal, mencintai para kekasih yang bekerja dengan saya, sebagai perwujudan dari cinta primer saya kepada Tuhan... maafkan terpaksa saya omong begini."

Sahabat saya senyum-senyum lagi, "Bagaimana dengan ribuan perusahaan lain yang toh pakai manajemen datar-linier namun maju dan menjadi raksasa?"

"Ongkos sejarahnya jauh lebih mahal dibanding jumlah omset seluruh perusahaan yang raksasa itu."

"Ongkos apa?"

"Kesenjangan yang tidak sungguh-sungguh diatasi, membuat politik harus ikut menindas buruh. Hilangnya hubungan kemanusiaan, sehingga para pelaku ekonomi bersaing dan bertarung bagai burung gagak pemakan bangkai atau serigala. Ketidakadilan struktur, yang membuat perubahan sangat sukar diselenggarakan, sampai-sampai pemilu yang sangat mahal biayanya tidak memiliki efektivitas konkret bagi kehidupan rakyat. Kolusi, dominasi, pilih kasih, kecurangan sejarah, yang mengacaukan kosmos keindahan hidup ummat manusia, serta memproduk generasi penerus yang cengeng dan hanya mampu mengincar kekuasaan melalui dalih-dalih idealisme...."

Saya kaget --seolah-olah saya ini intelektual. Sahabat saya memotong, "Sampeyan ini ada dalam impian atau ada benar?"

"Kapan saya tunggu Sampeyan makan siang di kantor saya di Jakarta Selatan?"

{Lihat Bacaan}

Kompas, Jumat, 6 Juni 1997

* Nadjib, Emha Ainun. 2007. Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Saturday, August 1, 2015

Timeline-mu Ideku

Siapa yang bilang jika mencari inspirasi susah? Alam beredar begitu rapinya hingga bertriliyunan makhluk mengikuti Sunnatullah. Bagi para penyimak, pasti mengerti apa yang alam sediakan untuk kita. Bagaimana triliunan kata dan cerita ditulis. Maka jangan heran jika Timeline-mu bisa sangat berarti bagi pencari inspirasi.
Seorang kawan didunia maya melintasi linimasa twitterku, sebut saja @eae18, pada 11/07/2015 pukul 21.58. Beliau menulis "aku salat karena aku sesat". 


Saya lalu berpikir apa makna tersirat ungkapan itu, hingga kusimpulkan bahwa kata itu tafsiran modern sebuah ayat al-quran. Bagi yang biasa shalat sering membaca ayat ini. Bahkan ayat itu bagian dari Surat yang wajib kita baca saat Salat.

Surat itu adalah Surat pembuka dalam al-quran, Alfatihah. Sementara "aku salat karena aku sesat", adalah makna modern dari ayat 6, surat Alfatihah. Saya lantas berpikir secara dalam, mengapa beliau menulis itu. Kesimpulan itu, lalu kudapatkan seperti ini : 1) Jika kita paling benar, dan tak sesat, tak mungkin meminta petunjuk di salat. 2). Orang banyak mengaku kebenaran pribadi dan menyesatkan orang lain, mengapa harus salat?, 3). Manusia termasuk makhluk tersesat di bumi. Hingga mencari Tuhannya saja, saling menyesatkan, dan kesimpulan lainnya.

Hingga saya coba aplikasikan kata itu. Agar jadi karya yang dapat dikenang dan ketika dilihat orang akan berpikir. Pikiranku tertuju ketika orang melihat kata itu, akan bertanya apa maknanya?. Kaos, karya paling banyak dilirik untuk menyatakan ungkapan itu.
Proses pembuatan itu melalui izin yang aku sampaikan di direct message (DM)nya. Berbagai penawaran aku sampaikan. Hingga ini yang akhirnya disetujui.


Bersama seorang kawan, lalu saya produksikan disini.




Rencananya Hasil ini akan saya gunakan untuk keberangkatan teater kami, bersama Teater Tikar. 

Wednesday, July 29, 2015

Entah

Semalam tiba-tiba badmood. Beban di otak meledak dan membuat saya capai, ketika beberapa jobdisk yang bukan tugas sebuah komunitas dipasrahkan ke saya semua. Ingin berontak namun sudah terikat. Menyalahkan yang lain, saya rasa kebodohan. Alhasil mojok sendiri dan diam jadi pilihan terbaikku.

Diam bukan menyelesaikan badmood malahan makin kacau. Main smartphone buka sosial media kurang menarik, karena isinya bukan memberi semangat dan candaan yang biasa terlintas di komentar atau lini masa seseorang.

Curhat di BBM juga gak etis, karena tidak bakal diberi semangat.

Monday, July 20, 2015

Tahlilan, dan Penghormatan Terhadap Tamu.

Hari ini, saya yang kebetulan tinggal dirumah pamanku di salah satu desa di Semarang, mulai repot. Beberapa hari lalu, istri beliau meninggal dunia, karena sakit yang dideritanya. Sedih memang ketika kepergian itu, namun ada sebuah keyakinan bahwa Allah menyayangi bibi, yang berpulang di malam 28 ramadlan. Kami menyiapkan keperluan untuk tahlilan. Tetapi berhubung bertepatan dengan syawal dan segala pernak-pernik idul fitri, kami lakukan tahlil di malam kedua dan malam ketujuh.

Jika kita tinggal di Indonesia, pasti mengenal tradisi tahlilan. Tradisi yang mulai dikenalkan para wali ini, menjadi hal lumrah bagi kita semua yang menjalankan. Tahlil bisa diartikan sebagai pengiriman doa bagi seseorang kepada yang telah tiada.

7, 40, 100, dan 1000 hari, dipilih sebagai waktu yang tepat untuk mengirim doa kepergian almarhum/almarhumah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk amalan bagi  almarhum/almarhumah melalui keluarga.

Oleh sebab itu, bagi yang mendoakan , yang hadir maupun tidak (nanti saya sebut tamu), dijamu sebagaimana layaknya tamu yang berkunjung. Di beberapa kota ataupun kabupaten (di Pulau jawa), ada banyak cara menghormati tamu. Salah satunya dengan memberikan berkat berupa nasi + lauk pauk, yang diwadahi wakul atau besek.

Di Semarang dan sekitarnya, sebagaimana kami tinggal, juga melakukan hal itu. Beberapa tahun telah berlalu,  nasi berkat itu, diganti dengan roti, atau bahan mentah seperti 500gr-1kg beras, 2 mie instan, ¼kg gula dan 2 butir telur. Bahan mentah itu dianggap efektif, mengingat nasi berkat mudah basi, jika tidak langsung dimakan.



Wednesday, July 1, 2015

Kenangan akan Kepergianmu, itu

Senin 29 juni 2015 pukul 06.30, telpon genggam berdering. Saya enggan menjawab telepon genggamku itu. Karena saya baru saja terlelap, dari kebiasaan insomniaku.

Pagi itu, saya tak menyangka bakal menjadi pahit. Hari-hari di bulan puasa, saya memang jarang tidur malam. Otak ini terus berpacu ketika malam tiba, dan baru istirahat setelah subuh. Esok itu, aku harus menjalankan UAS, pukul 10.00. Maka ketika tidur, aku tidak mendekatkan handphone disekitar pembaringanku.

Seolah mempunyai firasat, saya mendadak bangun pukul 8.30. Telepon genggam saya cari, berharap ada kabar melalui telepon atau sms dari seseorang. Dan benar, paman menelponku, pagi itu. Mumpung ada pulsa saya, kutanyakan mengapa menelponku.

"Ana apa om, kok nelpon (ada apa om, kok nelpon) ?" awal percakapanku. "Wah, perluku ndek mau kok, saiki gak sido (wah perluku dari tadi, sekarang tidak jadi) ?" jawabnya di telpon genggam. Aku mengira ada keperluan apa, eh ternyata tidak ada apa-apa?. Lalu kututup teleponku. Beberapa detik kemudian beliau menelpon kembali. "Om zuri ora ana, kowe ditelpon angel, mau meh tak kon marani neng karyadi (om zuri meninggal, kamu ditelpon susah, tadi mau kusuruh menemui di karyadi) ?". Saya diam sekian detik, tanpa banyak bicara. Beliau melanjutkan kembali, "suk maneh neg tangi rodo isuk, dulurmu gak ana, ditelpon malah angel (lain kali kalau tidur bangun pagi, saudaramu tiada, ditelpon kesusahan) ?". Aku menjawab, " maape om, aku gak reti, tur aku yo meh UAS dadi ora tilik opo layat (maafnya om, aku tidak tahu, lagian aku ya mau UAS jadi tidak jenguk atau layat)".

Lalu telepon genggam terputus. Diam sejenak merenung, saya mengingat pamanku yang tiada itu. Walaupun almarhum adik ipar ibuku, aku mengenal almarhum dekat. Dia salah satu sopir diperusahaan bibiku (adik ibu). Dan orang yang mengerti perjalanan perusahaan bibi. Almarhum, termasuk setia di perusahaan itu. Jatuh bangun perusahaan dia masih mau bekerja.

Sekitar setahun lalu, almarhum mengajak saya berobat di salah satu rumah sakit mata di Semarang. Beliau mempunyai keluhan tentang mata. Sebelum mata almarhum sakit, sempat mencabutkan giginya, yang rusak. Entah mengapa, ketika dicabut giginya, mata almarhum malah kena dampaknya. Karena tidak puas dengan dokter di Jepara, almarhum dianjurkan keluarga ke spesialis mata di Rumah Sakit William Booth, Semarang.

Nah, berangkatlah saya dengan beliau di rumah sakit tersebut. Selama mengendarai mobil, beliau mengeluhkan kaburnya pandangan beliau. Setiap memandang arah depan, samar-samar pandangan seolah menghitam.

Agak gak tega sih ketika beliau mengatakan begitu. Pingin menggantikan beliau menyopiri mobil tersebut, namun apalah daya aku tidak bisa nyopir dan tak punya SIM. Kami mengendarai mobil begitu hati-hati, sembari menjaga pandangannya.

Sesampai di rumah sakit, kami mengantri. Menunggu urutan sampai ke beliau. Karena jengah, saya memutuskan keluar mencari angin di luar rumah sakit. Setengah sampai satu setengah jam tiba giliran beliau dipanggil. Saya masuk, saat beliau menelpon saya.

Di ruang periksa, mata dites, untuk mengetahui kondisi mata beliau. Tes mata, dengan menyebutkan beberapa abjad. Langkah kedua, beliau discan kondisi mata. Begitu selesai, perawat menyerahkan hasil tes kepada dokter.

Kami lalu menemui dokter spesialis mata itu. Sang dokter membaca hasil scan dan menerangkan perihal kendala mata tersebut. Melalui susunan gambar mata, kami ditunjukkan letak penyakit itu. Dokter menanyakan perihal sakitnya, apakah benar karena dicabutnya gigi?. Beliau mengiyakan hal itu. Lalu dokter menerangkan bahwa ada syaraf penghubung antara mata dan gigi, yang terkena bakteri. Sehingga menyerang syarat tersebut. Kami konsultasi hingga beberapa menit, kemudian dokter menuliskan resep untuknya.

Selesai konsultasi, kami menuju ruang administrasi yang bersebelahan dengan apotek Rumah Sakit. Beberapa jenis obat diracik untuk penyembuhan beliau. Setiap obat mempunyai kadar sendiri atas penyakit beliau. Namun, ada salah satu list obat di apotek itu, dinyatakan habis. Kami dianjurkan ke apotek lain, untuk beli obat yang tiada. Pegawai apotek lalu memberikan resep, untuk membeli obat.

Beberapa bulan kemudian, beliau harus istirahat total. Tidak bekerja.

Sekitar maret, saya mendapatkan kabar beliau harus dioperasi di RS Karyadi. Penyakit lain juga menggerogoti tubuhnya. Mendengar kabar tersebut, saya lalu menemui beliau dan istrinya. Tampak ramai saat operasi itu, ibu saya, dan adik-adik ibu juga hadir, begitupun adik-adik beliau. Operasi yang berjalan sekitar satu jam itu dinyatakan berhasil, saat sang dokter memanggil kami semua. Kami lalui mengiringi beliau menuju ruang flamboyan.

Beliau lalu dipindahkan menuju bangsal yang akan ditempati diruang itu. Balutan perban dikepala, dengan infus yang menggantung, ini buatku sedih. Kulihat ketika bersendawa dan bernafas saja membuat bergetar seluruh tubuhnya. Saya makin kasihan pada beliau hingga tak tega melihatnya. Begitu tegarnya beliau melawan penyakit. Ketidaktegaan itu kuredam, dengan diam.

Waktu sudah sekian berlalu, aku pamit pada istri beliau, dan berjanji akan menemuinya kembali malam hari.

Wednesday, June 24, 2015

Bersinergi Kembali

Cukup lama saya yang mempunyai ambisi besar, namun ambisi itu pudar karena harus berkutat dengan teori. Berbagai ambisi membangun jaringan untuk masa depan yang seharusnya menjadi jalan hidup, harus kulalui dengan menghilangkan kesempatan yang terlewatkan. Melalui hubungan pertemanan yang terhubung di berbagai daerah. Komunitas komunitas yang telah lama dibangun tak kurekatkan kembali.

Jiwa ini akhirnya berontak, bersinergi kembali, setelah perlahan mengalami stuck. Perasaan ini seolah mati ketika tak bisa diatur. Tiga tahun lalu, aku paling semangat menyiapkan masa depan, dengan cara berkumpul dengan berbagai kawan yang selalu membagi kisah-kisahnya, berdiskusi membahas banyak hal, dengan bermacam orang. Hingga terlintas dalam benak keluar dari "cengkeraman teori". Walaupun saya berkutat teori energi, teori gravitasi ataupun teori eksak lainnya. Namun implementasi teori-teori tersebut, belum selamanya bisa dibentrokkan dengan sosial. Titik jenuh, yang menyebabkan aku harus keluar jalur keilmuanku.

Makanya teori coulomb (CMIIW) " energi itu tidak bisa diciptakan, namun energi dapat diperbaharui". Nah dalam teori itu aku coba implementasikan seperti ini. Energi aku artikan sebagai kawan-kawan. Mereka ada di sekitarku, mereka tidak diciptakan. Namun dapat diperbaharui dengan keinginanku mencari kawan baru membangun masa depan.

Di komunitas tertentu, kawan itu ada, mereka tidak diciptakan, namun menciptakan hal baru untuk kehidupan.

Makanya untuk membuatku bersinergi kembali, ambisi dijaringan energi itu aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Tuesday, June 2, 2015

Klarisifikasi Surat Terbuka

Beberapa waktu lalu, Sebuah surat terbuka saya tulis. Cek disini .

Dalam sebuah tulisan itu banyak uneg-uneg yang saya tulis. Mengenai fungsional member Sheila on 7 dan beberapa komunitas yang saya tulis.

Atas nama pribadi, ketika saya mengaitkan segala hal yang kutulis, maka konsekuensi saya adalah mempertanggungjawabkan semuanya. Maka dari itu, saya akhirnya harus menemui Sheila on 7 dan manajemen, sebagai pihak pertama yang saya sangkut pautkan, guna memberikan kejelasan maksud apa yang saya tulis.

Saat mereka melakukan konser private acara prom night salah satu SMA negeri di Semarang, atas inisiatif sendiri, saya memohon kepada ketua Sheilagank untuk melakukan pertemuan dengan tim manajemen Sheila on 7. Tujuan saya, adalah agar urusan saya pribadi itu cepet selesai, dan di kemudian hari, kejadian ini tak terulang.

Secara pribadi, komunikasi dua arah yang dulu sempat renggang memang menjadi kendala menyampaikan uneg-unegku. Karena kesibukan mereka, beberapa email saya yang berisi uneg-uneg kurang direspon dengan baik, membuat saya menuliskan surat terbuka itu. Tindakan yang beresiko itu, tak pernah saya pikirkan secara matang. Sebagai pemuda yang punya semangat besar, saya menuliskan itu dengan sepenuh hati untuk menunjukkan kepedulian saya.

Kebetulan, saat menuliskan surat tersebut akan ada acara gathering nasional, saya memainkan isu sebagai refleksi untuk kawan-kawan yang datang ke gathnas. Manajemen Sheila on 7 merespon dengan baik surat terbuka saya kepada teman-teman yang hadir waktu itu.

Akhirnya jawaban dari mas Duta lah, yang nanti buat kami harus belajar.