Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sunday, November 8, 2015

Melankolia- Efek Rumah Kaca

Lirik Melankolia

Tersungkur di sisa malam
Kosong dan rendah gairah 
Puisi yang romantik 
Menetes dari bibir 

Murung itu sungguh indah 
Melambatkan butir darah 

Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati

Dalam KBBI android seperti gambar, Melankolia bermakna "kelainan jiwa yang ditandai dengan depresi dan ketidakaktifan fisik."

Dalam Thesaurus Bahasa Indonesia (kamus sinonim kata), cek gambar, ada 2 kata berkaitan antara melankoli dan melankolis, bermakna seperti ini :

Bagi seseorang saat masa muda, mengalami hal ini. Kondisi yang membuat seseorang mudah murung ketika malam hingga pagi. Seperti pada lirik dibait ke satu hingga empat.

Inilah nikmat syairnya Efek Rumah Kaca. Band ini mampu mengungkapkan hal tak biasa di musik pop. Bahkan mereka membuat versi keduanya di Pandai Besi.

Menurutku musikalitas yang dibangun dengan lirik easy listening memang akan menimbulkan perspektif lain. Disisi lain ternyata, Cholil, mengungkap lirik ini ketika sang ayah meninggalkannya. Kehilangan sosok yang tiada mengganti dan beliau harus meninggalkan Cholil selamanya. 


Thursday, November 5, 2015

Matematika, Aku, Dibalik Sepakatnya.

Sejak kecil, sering kali kita diajar berhitung. Mulai mengeja angka, hingga hasil akhir angka.
Hal itu mudah diajarkan. Namun sulit meraba hal tersirat. Jika saja dulu aku terus menerus berlatih hingga paham, tentu ilmu hitung  sangat mudah.
Sewaktu SD, nilaiku jarang jelek, tentu tak bagus amat. Karena matematika yang diajarkan cuma perhitungan. Bukan mengaplikasikan angka untuk apa? Maka dewasa ini aku menemukan hal-hal yang sempat bikin nyeri di kepala.
Saat kelas 2 SMA, sekitar 2007 lalu. Pertemuanku dengan matematika makin intens. Matematika makin luas. Fungsi turunan, Determinan, Integral menjadi momok sendiri buatku. Aku sedikit menyerah matematika saat itu. Karena Guru yang mengajari hanya stuck pada angka-angka. Bukan fungsi turunan dalam aplikasi. Determinan atau integral pada bidang luas. Melulu pada angka.
Penyampaian yang belum bisa diraba nyata, membuat bosan di kelas. Akibatnya bolos saat  matematika jadi kebiasaan.
Kelas tiga SMA ketemu guru matematika yang menerangkan lebih kompleks. Fungsi angka-angka gunakan secara semestinya. Bagaimana nanti angka tersebut jadi kenyataan. Walaupun aku meraba pengaplikasianya.
Lulus SMA 2009, aku merantau ke bogor. Tak bertemu matematika. Hanya kitab kuning yang dikaji. Beruntung angka-angka tersebut tak menghantuiku. Gagal merantau di Bogor. Aku berpindah di Jakarta. Membantu tanteku.
2011, bosan di Jakarta. Keinginan kuliah terlintas. Sebelum memasuki kuliah, aku sempat kursus permesinan. Tujuanku ingin tahu mesin, yang jadi modal untuk melangkah ke perkuliahan.
Saat kuliah, ketemu kalkulus. Di teknik mesin, kalkulus sebagai dasar pengaplikasian mata kuliah lanjutan. Kalkulus lebih khusus bahas matematika. Ada beberapa materi Fungsi Turunan akhirnya diulang. Kegagalan meraba matematika saat SMA, muncul. Alhasil, nilai C kudapat.
Mata kuliah lanjutan makin bingung. Kalkulus digunakan di banyak hal. Menghitung suhu pada termodinamika, bahkan memecahkan segala persoalan mata kuliah eksakta.
Kata Sudjiwo Tedjo : "matematika adalah kemampuan menangkap pola yang semula tak berpola." Begitu ringkasnya sudjiwo tedjo menelaah matematika. Dan hal itu benar,

Saturday, October 24, 2015

Dibalik cerita Jalan Terus Sheila on 7

Lirik Jalan Terus Sheila on 7

Hidup memang tak semudah
Waktu kita muda dulu
Panas dingin tak bisa diterka
Strategi hidup bertahan
Dari seleksi Sang Alam

Hidup memang tak seindah
Waktu kita muda dulu

Umur terindah pasti kan berlalu
Strategi hidup bertahan
Dari seleksi sang alam

Panas dingin tak bisa diterka 2x
Maka/ tapi apapun yang terjadi akan ku jalani
Akan kuhadapi dengan segenap hati
Walau ku terluka memang ku terluka
Tak pernah ku lari dari semua ini

Interlude 

Belum waktunya kita berhenti
Jangan cepat puas kawan
Bekerja dan terus bekerja
Hingga saat kita tak berguna lagi

Sebelum masuk lebih dalam obrolan ini. Tentu ada yang tahu lirik diatas. Lagu yang terdaftar di list the best of very best Sheila on 7. Bercerita tentang semangat Sheila on 7 kala menjalani tur-tur. Lagu itu banyak mengisahkan muda mereka dalam band.

Sewaktu saya mulai menjadi member sheilagank. Saya pergi ke Yogyakarta menuju alamat yang diberi oleh Anton Kurniawan, Mei 2008 lalu. Alamat tersebut tertulis "Jalan Terus no 7 ....." (maaf titik itu saya tulis untuk privasi alamat eross candra).

Sempat berpikir bahwa alamat itu terinspirasi oleh sebuah lagu tersebut. Dan benar, setelah lama cari tahu, akhirnya mas helmy (vokalis Jagostu) lalu menulis di dinding blognya seperti ini :
"Kemudian sampailah pada pertanyaan eross yg buat saya sangat kaget ... 

Eross : " mas pay inget gak pernah nandatangai gitar saya ? "

Pay    : hhmmm iya kayaknya inget ( tp sy yakin kayaknya pay lupa karna kemungkinan itu sudah lama bgt hehehe,,, piss mas pay ) 

Eross : dibawah tandatangan mas may itu ada tulisan yg mas pay tulis " JALAN TERUS ..... dan JALAN TERUS itu akhirnya sy jadikan nama album the best Sheila on 7 dan sekaligus alamat rumah

Pay    : oya ?? ( pay kayaknya agak kaget,sedikit gak percaya dan kagum ) hehehe 

Eross : iya mas 

Note : tulisan yg ditulis pay di gitar eross itu ada kata2 JALAN TERUS,nanti kapan2 kalau ada waktu sy harus foto dan posting untuk tau selengkapnya hehehe" ( dari Helmy PB) -beberapa kata diedit-

Di sisi lain lagu itu memang menunjukkan MASA MUDA seseorang. Seperti yang tersirat "Hidup memang tak semudah//Waktu kita muda dulu//Panas dingin tak bisa diterka//Strategi hidup bertahan//Dari seleksi Sang Alam. Namun bagi kaum massif, seperti komunitas-komunitasnya (Sheilagank), lirik ini memang benar adanya. Orang yang bertahan di basecamp Sheilagank (komunitas Sheilagank per-kota), ialah anak-anak muda yang bertahan dari seleksi alam. Mereka merelakan waktu untuk menjaga kebersamaan komunitas.

Semoga ini benar-benar menginspirasi pembaca.

@nahar_gostu

Wednesday, October 21, 2015

Makna Dibalik "Kamar Gelap-Efek Rumah Kaca"

Lirik Kamar Gelap

yang kau jerat adalah riwayat
tidak punah jadi sejarah
yang bicara adalah cahaya
dikonstruksi dikomposisi
padam semua lampu
semua lampu

membekukan yang cair
mencairkan yang beku
jangan kabur berjamur
segala negatif menuju positif
kekal...

Pertama kali dengar lagu ini, aku mengira menceritakan kondisi sebuah kamar yang kumuh, gelap, dan tak berpenghuni.

Lambat laun, kugali lebih dalam, makna apa yang tersirat. Lalu coba masuk dalam lagi dan mengutak-atik lirik ini. Masih sama. Kamar gelap identik dengan kumuh dan tak berpenghuni.

Gagal menemukan maknanya. Coba dengar berulang kala dini hari. Karena memang waktu seperti itu, saat tepat bersunyi. Siapa tahu mendapat makna tersirat. Hasilnya sama. Kamar gelap itu kumuh, dan tak berpenghuni.

Secara tidak langsung, pada jalanan yang ramai, ketika pulang, dan playlist lagu itu kebetulan Kamar Gelap. Terlintas, nama tempat. Kamar Gelap yang menurutku kosong tak berpenghuni dan kumuh, salah besar.

Jika "yang kau jerat adalah riwayat // tidak punah jadi sejarah// yang bicara adalah cahaya// dikonstruksi dikomposisi// padam semua lampu// ternyata bercerita tentang tokoh yang di penjara. Yang kau jerat adalah riwayat merupakan sosok yang dikenal luas karena track record baik. Selanjutnya sang tokoh tak pernah mati dari sejarah apapun yang diungkapkan melalui tidak punah jadi sejarah. Yang bicara adalah cahaya punya makna cahaya bentuk penggambaran kejujuran. Jadi secara langsung efek rumah kaca ungkapkan jika seorang yang dipenjara bukan hanya karena kesalahan. Orang yang melakukan kebenaran juga di penjara karena politik. Dikonstruksi, dikomposisi sedemikian rupa supaya sang tokoh tetap di penjara.

Friday, October 2, 2015

Ketika Kita Berbeda


Saat itu usiaku masih empat belas tahun. Rayhan menyapaku di koridor sekolah saat itu dan akhirnya kami memiliki percakapan kecil. Percakapan kecil, yang kutahu saat ini, maknanya lebih berat daripada yang bisa kami sadari sebagai murid kelas 2 SMP ketika itu.

“Ima, nanti kamu mau qurban sapi atau kambing? Kan padimu di rumah banyak,” Rayhan berkata dengan nada meledek, dia masih usil dan suka menganggu sejak SD. “Mbahmu juga banyak tuh sawahnya.”

Apa hubungannya jenis hewan qurban dengan luas sawah Mbah Putri? Jelas-jelas itu adalah barang yang berbeda. Aku mendengus.“Nggak tahu, Ray.”

“Kok nggak tahu? Kan acaranya sebentar lagi,” tuntutnya. Senyum menyebalkan tersungging di bibir Rayhan.

“Eh, bapakmu kalau shalat menghadap ke mana? Kiblat, apa yang lain?”

Aku gelagapan, tidak siap dengan pertanyaannya itu. “Ya kiblat, dong!” aku menjawab refleks. Jawaban yang kutahu adalah jawaban yang benar bagi mereka yang mendengarkan percakapan kami di koridor. Jawaban itu yang diajarkan Bu Narti–guru agama kami–di sekolah. Jadi jawaban itu benar, karena guru di sekolah yang mengajari. Titik.

“Ah, masaaaaa?” godanya lagi. Benar-benar dengan nada yang menyebalkan dan penuh ketidakpercayaan. “Beneran menghadap ke kiblat?”

Dia tahu sesuatu! batinku gelisah. Aku memilih pergi cepat-cepat dari koridor sekolah yang makin ramai. Tak mau orang lain mendengar percakapan ini. Banyak pertanyaan langsung muncul di kepalaku. Mengapa anak seusianya sudah mengetahui sampai sejauh itu? Apa memang masalah perbedaan keyakinan keluarga kami adalah bahan buah bibir yang lumrah untuk para orang tua di depan anaknya? Aku menghela napas. Aku berumur empat belas tahun dan aku sudah tahu kalau keyakinan keluarga kami berbeda dengan orang lain. Jadi mengapa Rayhan yang seusiaku juga tidak boleh tahu?

Ya, itu karena “tahu” belum tentu “memahami”. Tapi apakah dia harus berbicara selantang itu di koridor sekolah yang padat murid-murid? Aku malu!

“Biarkan saja Rayhan itu, Ima. Yang penting kan niatnya,” jawab Bapak ketika sore itu aku bertanya kenapa tidak mengirimkan satu ekor kambing saja untuk qurban, agar Rayhan dan orang-orang di belakang kami yang bergunjing segera diam. “Kita masih bisa membantu sesama dengan cara lain. Hal baik kan nggak cuma satu jalan saja. Kalau Bapak qurban supaya kamu nggak diledek Rayhan, tentu saja hal itu menjadi sesuatu yang keliru.”

Aku sesenggukan.

Meskipun tergolong warga yang mampu, Bapak tidak mengirimkan seekor kambing untuk disembelih di bulan Dzulhijjah. Sebagai gantinya, setiap waktu-waktu tertentu di penanggalan Jawa, terutama bulan Suro, Bapak akan membuat tumpeng dan panggang[1] untuk dibawa ke punden–makam leluhur desa kami–pada acara bersih desa. Kadang-kadang kalau pertanian kami lancar rezekinya, Bapak akan menggelar wayang kulit. Saat itulah aku akan bertemu para pria berpakaian hitam, berbelangkon, dan berkumis lebat yang merupakan teman-teman baik Bapak. Mereka menyebut diri mereka “tunggal sak perguruan[2].

Walaupun keyakinan kami berbeda, Bapak menaburkan kegembiraan yang sama bagi penduduk Desa Sidoredjo–desaku. Aku menemukan binar antusias yang sama di mata para penonton wayang kulit, sama seperti ketika melihat mereka memperhatikan deretan hewan qurban di masjid. Memang di bulan Suro tidak ada acara membagi daging sapi atau kambing, namun kulihat wajah mereka ketika mendapat jajanan pasar dari punden saat ngalap berkah[3] sama bahagianya ketika mendapat potongan daging mentah dari Pak Ustadz.

Mbah Putri sendiri selalu menyediakan apem, setundun pisang raja, kopi, rokok, dan bunga-bungaan setiap malam Jum’at Legi, di salah satu pojok rumahnya. Katanya untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal. Dan Bapak akan berdiam diri malam hari saat jam ganjil, jam sembilan atau jam sebelas malam, seperti bersemadi. Katanya, Bapak sedang menghadap Yang Maha Kuasa.

Dan Bapak menghadap ke timur, bukan ke kiblat.

Rayhan pasti sudah lama menyadari hal itu. Hal yang membuat kolom agama di KTP keluarga kami kosong.

***

KTP keluarga kami kosong bukan karena kami ateis, kami memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti yang telah kusebutkan sebelumnya. Sesuai dengan pasal 64 ayat 4 UU nomor 24 tahun 2013, pengosongan kolom agama pada KTP diperuntukkan untuk para penganut aliran kepercayaan. Bukan untuk ateis. We believe in God, but what we believe is not called religion.

Sebenarnya ada opsi selain pengosongan kolom pada KTP itu, yaitu dengan menuliskan “aliran kepercayaan”. Namun kami, para penganut kepercayaan, menolaknya. Apalah arti sebuah nama? Kami tak butuh frasa pada kartu identitas untuk mendefinisikan hubungan kami pada Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada yang dapat mendefinisikan hal itu. Tak perlu ada labelisasi. Label hanya berlaku di dunia yang fana, sedangkan yang kami percayai bertahan dalam kefanaan. Kolom yang kosong tak berarti tidak menyembah Tuhan, bukan? Seperti halnya kolom yang berisi tak berarti menyembah Tuhan. Banyak kutemui orang-orang yang terisi kolom agama di KTP-nya tak pernah beribadah, atau paling tidak jarang beribadah dan masih melakukan hal-hal buruk yang dilarang agamanya. Ya, beragama belum tentu bertuhan. Begitu juga sebaliknya. Setidaknya, itu yang aku percayai sampai detik ini.

Terimalah bahwa cara kita berbeda.

***

Desaku ini bernama Sidoredjo dan terletak di Lereng Gunung Kelud, Kediri, Jawa Timur. Tempat banyak kepercayaan animisme dan dinamisme masih hidup di benak banyak penduduknya. Dan kami semua hidup rukun dan damai.

Di Sidoredjo, saat jarum jam menunjuk pukul empat pagi, dapur-dapur berlantai tanah dan beratap genting tanpa plafon sudah mengepul. Penghuni desa kecil ini sudah berangkat ke sawah atau ke pasar sebelum subuh. Tapi hari itu kedamaian pagi di Sidoredjo terusik dengan bunyi besi beradu besi yang memekakkan telinga. Kecelakaan karambol terjadi tepat di depan rumahku. Aku–yang masih bersiap untuk ke sekolah–keluar rumah dengan tergopoh-gopoh bersama Ibu, ingin tahu. Beberapa orang telah bergerombol lebih dulu dari kami. Pecahan kaca terserak di atas aspal dan kulihat tiga motor bertumpuk jadi satu.

Len goblok! Ngerem dadakan ora digawe utekke!”[4] maki pengendara yang selamat.

Tak jauh dari tempatku berdiri, tiga orang bapak-bapak menggotong tubuh gadis SMA yang pingsan, saat itulah aku yakin bahwa aku mengenali tubuh itu.

“Karina!” seruku. Aku bisa melihat pergelangan tangannya bengkok dengan cara yang janggal. Sepertinya anak itu patah tulang.

***

Aku tidak begitu dekat dengan Karina. Kami pun tak pernah bercakap-cakap lama sebelumnya. Kutahu dari tetangga, Karina menjadi yatim sejak ayahnya meninggal ketika usianya sepuluh tahun, kini ibunya yang berprofesi sebagai penjahit adalah tulang punggung bagi keluarga.

Aku pasti akan melihat ibunya mengantre potongan daging sapi mentah di masjid setiap Idul Qurban dan aku akan melihat tiga adiknya berebut jajan pasar saat ngalap berkah bersih desa. Ketika Natal tiba, Maria dan Yakob sering meminta bantuanku membungkus hadiah dan aku akan menemukan nama keluarga Karina di antara daftar keluarga yang perlu diberi santunan Natal, entah itu berupa baju, telur, atau kue. Karina adalah bagian dari warga desa kami yang disantuni. Jadi aku cukup mengerti keengganannya ke rumah sakit, walaupun dibiayai Pak Rustandi–si sopir angkutan umum serampangan penyebab kecelakaan karambol pagi tadi. Keluarga Pak Rustandi sendiri selalu disantuni setiap tahun dari masjid Pak Imam. Orang susah bertemu orang susah.

Jadi di sinilah kami sekarang, di kediaman Pak Tedjo, salah satu teman paguyuban Bapak yang ahli pijat dan totok syaraf. Pak Tedjo mengobati Karina dengan telaten, dilumurinya tangan Karina dengan minyak kelapa, beberapa jenis bunga yang diremas, dan jeruk nipis.

“Nah, dibebat dulu satu minggu, nanti kamu ke sini lagi, ya,” kata Pak Tedjo ramah.

Aku mengucapkan terima kasih. Begitu juga ibu Karina. Namun ketika kami beranjak pergi, Karina menangis, membuat kami kebingungan.

“Kenapa, Rin?” tanyaku heran.

Karin menyeka air matanya. “Aku harus latihan dengan Bu Resti setiap hari sepulang sekolah. Lomba itu sebulan lagi dan sekarang… satu minggu lagi juga aku belum bisa memastikan apakah tanganku ini bisa kembali seperti sedia kala.”

Ah iya, aku ingat. Karina adalah salah seorang wakil dari sekolahku untuk mengikuti kejuaraan tari tingkat provinsi. Aku menatapnya prihatin. Karina pasti patah hati.

***

Aku adalah tipikal orang yang tidak bisa diam, apalagi kalau tahu aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka yang membutuhkan bantuanku. Kata Bapak, kita harus saling membantu, tanpa pandang bulu. Jadilah aku meminta bantuan Pak Tedjo, yang istrinya punya sanggar tari, untuk melatih Karina sampai bisa, sebagai ganti dia tidak bisa berlatih di sekolah. Dia harus bisa menarikan tari pendet, gambyong, dan tari bali untuk lomba antarprovinsi itu. Selagi tangannya mendapatkan perawatan dari Pak Tedjo secara gratis, Karina bisa berlatih tari-tarian untuk perlombaan itu.

Kecelakaan hari itu membuat kami dekat. Aku yang tak pernah mempunyai sahabat dekat, kini memiliki Karina. Ya, sejak dulu aku terbebani dengan perbedaanku. Sebenarnya tak ada yang perlu dirisaukan. Bapakku cukup banyak berkontribusi bagi lingkungan, beliau pun dikenal masyarakat luas, tidak ada catatan kriminal, atau apa pun. Jadi Bapak mendapatkan banyak pemakluman atas apa yang menjadi pilihan keyakinan keluarga kami. Tapi tetap saja pengertian seperti itu tidak diteruskan sampai ke generasiku. Aku seakan bisa mendeteksi kapan tatapan mata menelisik teman-teman tertuju padaku. Sekalipun Rayhan menyembunyikannya dengan candaan, atau Maria menyembunyikannya dengan senyuman. Aku tahu mereka tak bisa memberikan pemakluman yang sama.

Seperti yang sudah kuduga, Karina berhasil terpilih mewakili sekolah dengan mudah, dia pun menang telak di lomba antarprovinsi itu. Persahabatan kami serasa lengkap.

“Imaaaa!” Karina memelukku kegirangan setelah mendapat piala kejuaraan tari tradisional. Praktis kini Karina, sahabatku, adalah siswa SMA terbaik se-Jawa Timur dalam hal menari.

“Kariiiin!” Aku memeluknya, seakan kami telah lama tidak bertemu. Padahal baru kemarin lusa aku mengantarnya naik bis ke Surabaya, untuk ikut lomba tari itu. “Selamat, yah! Aku ikut seneng. Mana pialanya yang setinggi pinggang itu?”

Karin malah mengeluarkan sebuah gelang dari dompet kecilnya. “Ah, itu bisa menunggu. Ini, aku baru saja beli ini, kembaran buat kita. Gelang persahabatan.”

Aku menatap gelang persahabatan itu dengan takjub. Ini menjadi penanda persahabatanku dengannya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku memiliki sahabat.

“Terima kasih, ya Ma. Berkat kamu, aku masih bisa terus menari.”

Aku tersenyum gembira. Tulus dari hatiku. Kami beragam, kami tak sama, kami meyakini suatu hal yang sama dengan cara yang berbeda, tetapi sampai detik ini kami masih bisa hidup berdampingan dengan tenang dan saling membantu. Sungguh damai dan tenteram hidup di Sidoredjo. Aku ingin selamanya hidup di desa ini, bersama warganya yang memiliki toleransi tinggi. Aku melirik Karina di sampingku. Kami sama sekali tak sama, Karina dibesarkan tidak dengan keyakinan seperti aku. Tapi pertemanan kami berjalan sejauh ini.

Ya, awalnya aku memang mengira aku dan Karina bisa selamanya berteman. Awalnya.

Kejadiannya terjadi begitu cepat. Sekelompok orang baru memasuki Sidoredjo dengan mudah. Warga Sidoredjo tidak menaruh curiga sama sekali, justru kami akan menyambut kedatangan orang baru dengan ramah. Seperti mendapat saudara baru.

Dan dari situlah awal mula segalanya.

Suatu malam pintu rumahku digedor-gedor kasar. Bapak membukanya. Ada lima pria tinggi dan gempal berbicara dengan Bapak dengan nada yang menurutku tidak santun, dan sama sekali tidak ramah. Ibu segera menyuruhku menemani adik-adikku, Astari dan Bagas, di kamar belakang.

“Ada apa, Bu?” tanyaku takut.

“Tidak ada apa-apa, ayo sudah, temani adikmu.”

Aku sudah mencium kejanggalan itu beberapa minggu sebelumnya. Pasti mengenai paguyuban kami. Orang-orang baru itu dengan mudahnya membaur dengan masyarakat, tapi tidak dengan kami. Mereka bertanya banyak hal tentang paguyuban kami lewat orang-orang di sekitar kami yang sama sekali bukan pengikut paguyuban kami. Kemudian dengan cepat mereka menyimpulkan bahwa kami “aliran sesat”.

Dua kata itu ibarat bom waktu yang kini ditekan pemicunya. “Aliran sesat” menjadi label bagi paguyuban kami di setiap sudut Sidoredjo. Para warga yang mulanya tak peduli, atau mungkin selama ini berusaha tak peduli, kini bereaksi. Bahkan puluhan orang yang dinafkahi keluarganya oleh Bapak selama bertahun-tahun, dari bekerja sebagai buruh tani ataupun hasil paro sapi, mempertanyakan hal-hal yang menjadi keyakinan kami, mereka mulai mempertanyakan kami.

Orang-orang baru itu pun seperti menyiramkan bensin pada api. Reaksi warga Sidoredjo semakin menjadi-jadi. Kami mendadak seperti terasing di tanah kelahiran sendiri. Mengapa mereka mau percaya pada informasi yang disebarkan tidak dari sumbernya? Seperti mengunyah makanan yang sudah dikunyah orang lain terlebih dulu lalu menelannya. Menjijikkan.

“Ma, apa kamu tidak bisa mengusahakan agar orang tuamu kembali ke jalan yang benar?” Pertanyaan Karin sepulang sekolah beberapa waktu lalu menusukku seperti sembilu. Jalan yang benar? Tahu apa dia? Aku tak menjawabnya. “Ima, segeralah bertobat!”

Kalimat Karin terasa menghunjamku. Aku hanya mengangguk. Tak ada yang pernah benar-benar mengerti. Aku cepat-cepat berlalu dan kini aku kembali menyeleksi orang-orang yang ingin mengobrol denganku. Seperti dulu.

“Ibu,” aku keluar dari kamar Bagas. Kulihat ibu merapikan barang-barang dengan tergesa. Semua dimasukkan ke karung dan kain sekenanya. Aku terperanjat, “Kita mau ke mana?”

Raut gelisah terpancar dari wajah Ibu. Aku tahu kami tidak baik-baik saja. Pemuda-pemuda yang tadi menggedor pintu rumah kami kini terdengar berbicara kasar pada Ayah. “Karin, kita pergi sekarang.”

“Apa?” tanyaku kaget.

“Kita pergi sekarang!” Ibu menaikkan nada bicaranya. Seperti frustrasi menekan gundah yang tak kuasa dikekangnya. “Kemasi barangmu secepatnya, seadanya. Kita pergi sekarang!”

Aku terlalu bingung untuk membantah. Kubuka gudang tempat kami menyimpan koper-koper, lalu menata baju-baju dengan cepat. Aku bisa melihat langit menjadi merah, lalu dengan segera menyadari itu tercipta karena kobaran api. Sanggar paguyuban kami dibakar!

“Ibu! Mereka sedang apa!?” aku memekik, melihat sanggar paguyuban di depan rumah kami dilalap api. Kelamnya malam menyembunyikan orang-orang yang ternyata sudah mengelilingi sanggar paguyuban di samping rumahku. Kobaran api itu menyingkap gelap yang menyelimuti wajah mereka, membuat raut-raut itu mudah terlihat. Aku mengenalinya. Aku tak mungkin salah melihat siluet Maria, Yakob, Pak Rustandi, Bu Imam….

“Biarkan saja, Ima!” sergah Ibu, membuyarkan fokusku menatap orang-orang yang dulu begitu kukenal kini tak lagi berusaha menolong kami. Ibu sudah selesai mengemasi peralatan dapur di dalam karung. Bapak sudah memarkirkan mobil pikap di samping rumah. “Ayo kita pergi.”

Aku menahan tangis. Di mana perginya semua orang itu? Di mana perginya mereka yang menyumbang tumpeng saat acara bersih desa meskipun kita tidak satu keyakinan? Di mana perginya mereka yang kami bantu? Di mana perginya mereka yang semalam suntuk menonton wayang yang digelar Bapak? Di mana perginya mereka yang bekerja untuk Bapak? Di mana mereka yang hidup dari usaha pertanian Bapak?

Mereka tidak pergi ke mana-mana. Mereka ada di barisan itu. Mereka ada, berjajar rapi ketika kami meninggalkan rumah dengan pikap dan barang-barang kami yang seadanya, di depan kobaran api sanggar paguyuban kami yang membumbung tinggi, melihat kami seperti tontonan.

“Apa kita salah, Bu?” tanya Astari, adik bungsuku yang masih SD. “Kita salah apa, Bu?”

“Sesat! Sesat!” teriakan orang-orang baru itu terdengar mengiringi kepergian kami. Para warga yang sudah kukenali, hanya diam menonton. Hatiku mendidih di dalam. Ibu menutupi telinga Astari dengan protektif. Tak ingin kata-kata kasar itu menghantui pikiran adikku yang malang.

Ibuku tidak menjawab pertanyaan Astari. Pikiranku melintas cepat dengan hati membara. Salah? Kita? Bagaimana dengan Pak Rustandi yang baru saja ketahuan memiliki anak dari wanita lain? Bagaimana dengan Rayhan yang ayahnya menjadi tersangka korupsi? Bagaimana dengan Bu Murniasih yang dulu pernah mencuri ayam Mbah Putri? Apakah ada yang benar-benar… benar? Kenapa mereka semua menjadi sok suci!?

Aku bisa melihat wajah mereka dari pikap. Wajah Pak Rustandi yang kosong, wajah Bu Murniasih yang tak berani membalas tatapanku, wajah Maria yang menyiratkan permintaan maaf, wajah Rayhan yang menunjukkan rasa puas setelah sekian lama tanyanya terjawab, dan Karina… ia tak terlihat.

Bapak selalu bilang, kita hanya menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda. Apakah kami salah?

“Ibu, kenapa kita pergi?” Bagas merengek, menuntut jawaban.

“Biar Tuhan yang membalas orang-orang itu di akhirat nanti!” jawab ibuku getas. Bibirnya geram.

Kemudian aku bertanya, dengan pandangan nanar. “Ibu, bagaimana kalau di akhirat nanti kita bertemu lagi dengan orang-orang itu, dan saat menunggu bertemu dengan Tuhan, ternyata… Tuhan kita sama?”

“Sudahlah, Ima, sudahlah. Ada beberapa orang yang memang tak akan pernah mengerti,” Ayah melajukan pikapnya dengan pasrah.

Aku menitikkan air mata. Mereka boleh membumihanguskan apa yang kami miliki dan menghancurkan apa yang kami percayai. Namun kami tidak akan berhenti untuk tetap percaya pada keyakinan kami, seperti kami percaya bahwa karma pasti ada, seperti kami percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dan saat itulah, kita akan berjumpa kembali dan mengetahui jawaban yang benar.

Aku tidak sedang mengancam.

[1] Satu ekor utuh ayam bakar.

[2] Satu perguruan. Memiliki aliran kepercayaan yang sama.

[3] Acara berebut makanan saat upacara adat bersih desa, dipercaya makanan yang diperebutkan akan mendatangkan berkah bagi hari-hari berikutnya.

[4] Angkutan umum bodoh! Ngerem mendadak nggak pakai otak!

Sumber : Altami N.D. 4 Comments Cerpencerpen Altami N.D.cerpen Ketika Kita Berbedacerpen untuk basabasi.co

 - See more at: http://basabasi.co/ketika-kita-berbeda/#sthash.jncPwf4L.dpuf

Makna "Melompat Lebih Tinggi"

Lirik Melompat Lebih Tinggi

Kita berlari 
dan terus kan bernyanyi
Kita buka lebar pelukan mentari
Bila ku terjatuh nanti
Kau siap mengangkat aku lebih tinggi

Bersama kita bagai hutan dan hujan
Aku ada karena kau telah tercipta

Kupetik bintang 
Untuk kau simpan
Cahaya tenang
Berikan kau perlindungan

Sebagai pengingat teman
Juga jawaban semua tantangan
Masih terus kuingat llirik diatas. Ya. Lagu ini hampir di setiap konser, Sheila on 7 bawa. Berkali-kali menonton konser mereka, lagu ini yang mampu memacu adrenalin para penonton untuk berjingkrak-jingkrak.

Seringnya mendengar melalui mp3 ataupun saat konser, sayapun tertarik mengulik lirik ini. Kubuka album-album mereka, dari pertama hingga ost. 30 hari mencari cinta. Akhirnya menemukan kepingan yang tersurat. Album kisah klasik untuk masa depan itu membawaku pada kepingan kecil dari cover album seperti ini :
"Jangan pernah sedih karena terlalu mencintaiku
Jangan pernah sedih karena kau merasa kehilangan aku
Jangan pernah sedih karena kau tak sanggup melupakan aku
Maka jangan menangis saat aku meninggalkanmu
Dan ingatlah waktu-waktu terbaik yang kita lalui
Maka kau akan bangga karena kau mengenalku
Karena aku hanyalah batu pijak bagimu saat kau ingin melompat lebih tinggi.

Itu kira yang aku tangkap dari mata ayahku sebelum dia benar-benar pergi."

Tak kusangka lirik ini merupakan pengembangan kata-kata tersebut. Sebuah ucapan kata cinta seorang anak pada ayahnya. Bagaimana sang anak akhirnya harus merasakan kerinduan? Rindu kasih sayang ayah yang telah tiada.

Menurut pengakuan mas Eross, album kisah klasik sebagai pintu perpisahannya dengan sang ayah. Sebagian orang yang mengenalnya tahu, bahwa perceraian ayah-ibu mas eross adalah kisah pahit beliau. Dan sebagai seorang anak, kerinduan untuk berjumpa di akhir hayatnya adalah keharusan.

Waktu yang singkat untuk berjumpa harus dimanfaatkan sebaiknya. Memang benar jika kalimat-kalimat ini "Dan ingatlah waktu-waktu terbaik yang kita lalui, Maka kau akan bangga karena kau mengenalku. Karena aku hanyalah batu pijak bagimu saat kau ingin melompat lebih tinggi." bentuk kerinduan dan tertulis dengan ikhlas.






Sunday, September 27, 2015

Makna Tersirat 'Jalang- @efekrumahkaca'

Lirik Jalang sebagai berikut :

Siapa yang berani bernyanyi
Nanti akan dikebiri
Siapa yang berani menari
Nanti kan dieksekusi

Karena mereka, paling suci
Lalu mereka bilang kami jalang
Karena kami, beda misi
Lalu mereka bilang kami jalang

Aku sempat menyangka jika lirik ini bercerita tentang tragedi 1998 ataupun 1965/66. Jauh lebih dalam aku otak-atik lirik ini. Kutelaah kata demi kata. Dan memang seperi mengarah kesitu.

Tentu kita ingat bahwa tragedi 98 yang menewaskan aktivis, adalah progress kemajuan demokrasi kita. Dan saat itu jenderal-jendral, bersikap seolah pahlawan. Siapapun yang berani bernyanyi pasti akan dikebiri. Dan mati paksa mutlak hukumnya (saat itu). Tentu ingat juga cerita penculikan-penculikan orang seperti Wiji Thukul hingga beberapa aktivitas lain yang bernyanyi, sekarang menghilang kan?.

Yang menari di pentas politik atau birokrasi. Akhirnya dieksekusi kan? Dan dieksekusinya melalui jabatan yang akhirnya dicopot. Atau mati dipenjarakan. Hal itu terjadi saat setelah orba (1965/1966). Ingatkah dengan para mentri-mentri yang dipenjarakan?. Dan founding father pun juga dieksekusi, tanpa mati.

Pada bagian "karena mereka paling suci, lalu mereka bilang kami jalang" dan "karena kami beda misi, lalu mereka bilang kami jalang' adalah ekspresif dari seseorang ketika berbeda sudut pandang.

Makna-makna lirik ini, akan menggelegar ketika masuk kedalam salah satu golongan dan agama.

Kawans tahu bahwa sesama islam yang berbeda madzab atau aliran akan saling mencaci atau menyesatkan. Wahabi, Sunni, Syiah atau apa yang menurut sudut pandang berislam dalam kemantapan bermazhab. Setiap yang beda saling ucapkan "Jalang" (makna luas).

Hanya karena beda misi, paling suci lantas mencaci yang lain "Jalang".

Telaah ini aku diskusikan secara personal dengan kawanku. Thanks Bagas (@bagaspey di twitter).