Propellerads

Monday, May 30, 2016

Berkunjung ke Suluk Maleman, Pati

Dua minggu sebelum tanggal 21 mei 2016, teman sufiku, yang biasa menyebut dirinya Nabi Palsu, di twitter berujar : Har, tanggal 21 mei aku ke Pati. Saya belum mengiyakan. Karena ada agenda lain membelitku. 

Sebulan sebelumnya, saya sudah buat jadwal. Agenda menonton konser. Tiket sudah kubeli, akhirnya kujual. Uang pembelian tiket saya donasikan ke komunitas saya, @compass507. Saya memilih menemaninya. Lalu saya putuskan melalui WA grup komunitas tersebut.

Saya pun sepakat pergi ke suluk maleman. Asal pagi 22 mei, saya juga harus ke Semarang. Temanku, Billy, mengundangku ke pesta pernikahannya. Kamipun sepakat di twitter. Tak lupa sabtu 21 mei pagi saya juga berpesan ke teman sufiku, harus ke Kudus menemui beberapa teman yang menagihku berkunjung, sebelum ke Pati.

dari samping kanan panggung saya duduk

Kami janjian melalui Line. 


Ada cerita lain, yang kubuat judul sendiri. Simak disini

Tanggal dua puluh mei, dia bakal ke stasiun. Tetapi berhubung teman sufiku bersilaturahim ke Tegal menemui saKulihat panggung a. Niatku menjemputnya gagal. Saya pun pulang ke Demak.


Sabtu 21 mei, setelah maghrib saya lanjutkan perjalanan. 

Tanpa tahu letak persis alamat Jalan Diponegoro 92, yang disebutkan @suluk_maleman di twitter. Saya kendarai supra 1997-ku ke Pati. 

Masuk gapura selamat datang kabupaten Pati. Saya berhenti, meminggirkan motorku. Cek GPS smartphoneku. Mencari nama jalan Diponegoro. Saya sempat berhenti sekaligus bertanya ke pengendara lain. Namun yang kutanya tak mengetahui alamat tersebut. 

Saya kendarai motorku melalui jalan satu arah menuju Surabaya, di Pati. Jalan yang kuingat jika saya ke Lamongan-Surabaya. Sesekali saya tengok papan nama pinggir jalan. Tertera Jl. Diponegoro. Tak jauh lagi saya sampai.

Saya ikuti arah roda motorku. Ketika mendekati Hotel Safin, ada mega pro berhenti. Seorang pemuda berbaju hitam. Saya tanya dia : suluk maleman di mana mas? Dia menunjuk ke kiri. 

Kulihat panggung dan umbul-umbul terpasang. Beberapa orang nampak sibuk menyiapkan. Saya lalu parkirkan motorku. Menunggu teman sufiku lalu menelponnya melalui line. "Sebentar lagi sampai har.." ucap teman sufiku di Line.

Sebelum acara dimulai

Sebelum acara dimulai. Saya pergi ke warung membeli rokok. Padahal tak jauh dariku ada minimarket, tapi saya memiliki warung kelontong. Ini caraku anti kapitalis. Tak membeli rokok di minimarket. Terkesan aneh. 

Saya ke arah utara traffic light. Cari warung kelontong membeli rokok. Agak susah memang. Karena tak kusangka banyak ruko besar, tidak jual makanan ringan atau rokok. Beruntung ada angkringan. Saya pun memesan kopi, sekaligus bertanya dimana warung kelontong. Dia menyarankan agar jalan lagi ke utara 15 meter. Saya pun ikuti dan meninggalkan angkringan itu. Sebungkus lisong dan sebotol air mineral.

Saya kembali ke angkringan. Meminum kopiku. Dia baru memasukkan kopi tanpa air panas. Sekembalinya dari warung, dia menuang air panas. 

Sepuluh menit saya minum kopi, sembari tunggu kabar teman sufiku. Dan kembali ke suluk maleman. 

Di depan halaman, saya cemas. Tak ada siapun yang kukenal. Sesekali saya lempar senyum ke beberapa orang yang nampak sibuk. Pukul 19.25 teman sufiku belum juga nampak. Saya makin cemas. Berkali menelpon LINEnya tak ada jawaban. 

Pukul 19.35 dia hadir di belakangku. "Naik apa dari hotelmu, om?" sambil kujabat tangannya. "Diantar teman twitter", jawabnya. Kami jalan menuju belakang panggung. Rumah pak Anis Soleh Baasyin. Sesekali ada yang meminta foto untuk dikirim ke twitter @suluk_maleman. Kami lepas sepatu, bersalaman ke pak Anis Soleh Baasyin. Pengasuh suluk maleman. Kami disambut olehnya.

Saya berkaos merah (sumber : twitter @suluk_maleman )

Sumber : twitter @TerajuIndonesia

Kami pun bercerita banyak di sini. Saya menanyakan perkembangan Rembang dan Pati pada Pak Anis . Pak Anis beri keterangan yang beda dari teman-temanku di Semarang. Kami juga disuguhi kopi dengan racikan rempah.

Kami pun kedatangan pak Prie GS, kolumnis Suara Merdeka. Tak lama berselang, pak Haidar Bagir, pemilik mizan, juga menemani kami. Obrolannya berkutat pada penerbitan buku dan dunia islam. Juga tema malam ini : Cinta di dunia yang terancam, sekaligus peluncuran buku antologi "mata angin mata gelombang".



Obrolan makin intens, saya memilih keluar. Karena waktu menunjuk pukul 21.30. Saya memilih duduk sebelah depan kanan panggung. Persis di foto pertama di atas.

Pak Anis memantik tema dengan mengutip pendapat salah satu ulama : ilmu pengetahuan bagai pisau bermata dua, baik atau buruk. Kemudian melanjutkan tema dengan cerita wujud cinta secara universal.

Pak Anis kemudian mempersilakan om Edy A Effendy. Om Edi memaparkan sisi pewarta berita. Dia mengajak para hadirin untuk memilah berita. Kemudian dia juga mengungkapkan kegelisahan dunia penulisan. Penyair akan disebut penyair jika dia telah mencetak banyak buku. Dia mencontohkan penyair Amerika, mampu menuangkan kegelisannya ke dalam syair tapi berulang kali ditolak oleh penerbit. 

Paparan dari sisi media : tulis dan pewarta telah diungkap om Edy. Pak Anis memaparkan ulang apa yang disampaikan om Edy. Kemudian mempersilakan Pak Prie GS sebagai narasumber kedua.

Cerita lucu keluarga kecil pak Prie tak luput diceritakan. Pengalaman mendidik anaknya dan cerita dalam beberapa bukunya.

Pak Anis lalu mempersilakan pak Haidar Bagir. Beliau dengan tenang menyampaikan ceramahnya. Saya agak bingung. Karena pak Haidar menyampaikan ilmu tasawuf. Beliau juga mengutip pendapat Ibnu 'Arabi dan cerita pengalaman kuliahnya di Amerika. 

Malam kian larut. Pukul 01.00 Pak Anis mempersilakan hadirin bertanya apapun terkait tema : Cinta di dunia yang terancam. 

Ada hadirin bertanya dari sisi pribadinya yang jomblo, penghormatan kepada orangtua, hingga syiah.

Pak Prie GS menjawab penanya yang jomblo dengan cerita cinta pada sang istri. "Saya menjomblo hingga usia 29 tahun"

Cerita setelah pulang dari suluk maleman dan ke resepsi temanku, billy.






0 komentar: