Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Thursday, March 31, 2016

Ceritaku di Pasar Lamongan

Memasuki tahun ketujuh ini, kami masih mengadu nasib di kota lain. Tuntutan dari sang bos yang terikat kontrak kerja dengan pabrik ratusan ton jadi alasan kami. Tujuan kami ialah Pasar Ikan Lamongan. Terletak di sudut kota Lamongan, yang beralamat di Jalan Kusuma Bangsa. 

Akses ke pasar tersebut cukup mudah bagi siapapun. Bagi yang berasal dari barat (Semarang) ataupun timur (Surabaya), cukup turun ke terminal Lamongan. Setelah di terminal bisa jalan kaki turun di pinggir terminal. Jalan kearah timur, ada pertigaan, masuk sekitar 250 meter setelah kafe dan karaoke 'Rasa Sayang'. Jika naik becak / betor (becak bermotor), tanya pengemudi, nanti akan diantarkan. Tak jauh kok dari terminal Lamongan.

Petunjuk di atas cukup ya.

Kami warga Semarang dan sekitarnya malah memilih pasar ikan di Lamongan. Namanya juga mengadu nasib. Eh, bukan itu maksudku. Bukankah lebih enak di Semarang, kan. Efisien dan hemat. Pasar ikan Semarang atau biasa disebut pasar pathok (karena dulu terdapat kuburan), bisa disebut juga pasar kobong (tahun 90an pernah terjadi kebakaran), merupakan pijakan pertama bos saya merintis usaha. Bos saya adik kandung ibu. Anak nenek nomor tiga. Pasar kobong hanya buka setiap malam. Lagi pula ukuran pasar kobong lebih kecil dibandingkan pasar ikan Lamongan. Bisa dikatakan pasar ikan Lamongan salah satu pasar ikan terbesar di pulau Jawa.

Karena bos suplier udang. Dan beberapa titik pertambakan udang di sekitar Semarang telah dipercayakan pada kami untuk dipanen. Jadi kami tahu kualitas udang yang dijual di pasar tersebut.
Kami pedagang musiman. Hanya datang sekitar bulan februari hingga juli. Atau hingga puasa saja. Setelah itu, kami kembali ke Semarang.

Di pasar ikan ini jujur, nilai termahal. Lebih mahal dari miliaran uang yang dibelanjakan bos saya di pasar tersebut setiap bulan. Dari tahun 2009 hingga kini kami terus belajar akan hal itu. Kami acap kali, menemui para pedagang tak jujur. Berulang kali setiap bulan kami kehilangan jutaan rupiah. Bisa dikatakan akibat kelengahan kami yang dimanfaatkan oleh pedagang atau memang kepribadian mereka yang tak jujur. Sejak tahun 2009 kami melakukan pembelian secara cash. Modal ini yang menarik minat pedagang untuk menjual udangnya pada kami.

Tahun 2009, pertama kali kami datang, kami tak punya tempat tinggal. Kami tidur di pasar berteman nyamuk dan kekumuhan. Tahun 2010 Kami coba mengontrak sebuah rumah. Namun sama saja. Rumah yang kami tempat agak seram. Tahun 2011 kami balik lagi tidur di pasar, sembari mencari rumah yang dijual untuk jangka panjang. Tujuan kami ingin mengembangkan sayap dan menetap di sana setiap tahun. Karena aturan perda setempat mewajibkan harus punya domisili di pasar. Akhirnya pada tahun 2012 keinginan itu tercapai. Sebidang tanah berukuran 1000 m² beserta bangunannya dapat kami beli. Kami pun juga membeli lapak di pasar tersebut. Cukup fantastis. Bos rela mengeluarkan 1,3 milyar. Untuk membeli lapak dan rumah.

Kami melakukan pembayaran tunai setiap hari, kecuali bank tutup. Setiap hari ratusan juta kami ambil di salah satu bank di Lamongan. Uang dari Semarang dikirim dan kami mengambilnya untuk belanja.

Ojek Panggul, Pedagang dan Pengemis.

Hal menarik di pasar ikan ini ialah ojek panggul, pedagang dan peminta-minta.
Bisa dikatakan penghasilan mereka melebihi pegawai negeri swasta. Maksudku pegawai negeri sipil. Ojek panggul. Dalam setiap mengantar mereka meminta imbalan dari pedagang dan pengepul. Umpama saya pedagang. Saya mau jual barang ke pengepul. Nah ojek panggul akan menerima dari saya dan pengepul sekian ribu rupiah sekali antar, tergantung ukuran. Umpama ember cat 1000 hingga 2000. Blong ukuran kecil hingga besar Rp. 3000 - Rp. 5000. Bisa diakumulasikan seperti ini : seandainya 1 barang mendapat upah 10000/blong, jika dia mengirim 30 blong. Silakan hitung sendiri. Lumayan kan.

Cerita lainnya ialah pengemis dan pengamen yang berjumlah puluhan orang setiap hari. Bagi mereka, pasar merupakan ladang subur meminta uang. Jika dihitung secara kasar seperti ini : di pasar ada sekitar 500 pengadu nasib. Mereka terdiri dari pengepul, pedagang kecil seperti yang saya sebut, juga pedagang makanan di sekitaran pasar. Andai pengemis ataupun pengamen itu meminta setiap pedagang dan pengepul Rp. 500 x 500 = Rp. 250000. Belum lagi para pengemis dan pengamen ini jika mengambil keuntungan dari ikan yang jatuh, tidak ditimbang. Dengar-dengar para pengemis punya rumah yang layak tinggal. Semoga berita ini benar.
Pengamen lain yang buat saya agak merinding ialah bencong. Mereka  datang setiap hari minggu.

Acap kali mereka mengganggu konsentrasi kasir. Lagi asyik membayar nota dan menghitung uang, tiba-tiba datang meminta uang. Tanpa memedulikan sang kasir sedang sibuk. Kesabaranmu diuji di sana. Kami sering cekcok dengan mereka. Bahkan ada juga ojek panggul yang tak jujur. Jika kami lengah mereka asal sebut. Padahal yang dikirim tak sesuai.

Warung  nasi dan kopi.

Di salah satu sudut pasar kita akan menemukan berjejer warung. Kopi atau pun makanan. Saya selalu menyempatkan makan di warung Umi. Wanita paruh baya dari Madura. Suaminya bekerja di Arab sebagai supir. 

Setiap pagi dan siang saya menyempatkan mampir. Kopi yang dia sajikan hasil olahan sendiri. Biji kopi digoreng dan diselep sendiri. Saat menggoreng akan tercium aroma kopinya di siang hari. Sungguh menggodaku. 

Masakan Umi yang paling enak ialah Rawon. Sepuluh ribu rupiah sudah medapatkan nasi Rawon + 1 gorengan + teh. Namun saya jarang sarapan. Rawon ini hanya saya dapatkan sekitar pukul 10.00 WIB. Jika Umi sedang repot saya menyajikan sendiri makanan. Sering kali saya menambah telur. Dan harga tetap sama 10.000.

Sejak pukul 05.30 Umi sudah di pasar. Menyiapkan apapun untuk menyajikan semuanya sendirian. 

Kalau saya bosan ke Umi saya menyempatkan ke warung Marpuah berjarak beberapa meter dari Umi. Di warung ini pula, kopi dibuat sendiri seperti halnya Umi. Bahkan jika siang saya sulit membedakan mana kopi masakan Umi dan Marpuah. Marpuah mempunyai masakan khasnya : Ikan Patin, ikan Lele, Ikan mujair,  Kuah kuning dan Sayur bayem. Cuma 12.000 sudah bisa merasakan kenikmatan masakannya.

Keluarga Baru

Sistem yang kami bangun di pasar ini dengan cara kekeluargaan. Antar pedagang kami saling kenal. Bahkan sebelah kami, bos es batu, lapaknya baru kami beli, menganggap kami saudaranya. Keluarga dari sisi bisnis ataupun apa kurang tahu motivasi utamanya beliau mendekati kami. Bos es batu itu, bernama H. Jenni. Setiap kali datang ke Lamongan, kami pasti meminjam motornya. Begitu pun ketika saldo uang tunai masih sedikit. Berapapun kami pinjam tanpa anjungan ataupun materai, sebagai bukti peminjam. Lidah tak bertulang menjadi modal kami meminta tolong.


Saturday, March 19, 2016

Lirik Kasih Tak Memilih Letto

Melalui kabar burung alias twitter. Bahwa tanggal 14 maret lalu mereka sedang launching album maka saya pun mencoba menuliskan lirik single Kasih Tak Memilih milik Letto.

Kasih Tak Memilih - Letto

Rasa benci itu
yang tersimpan setiap waktu
berapa lama ku mau tuk menderita
Aku tak mengerti kata dari hati

Reffrain :
Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih

Cerita yang tlah hilang
Seharusnya tak mengapa
Hati yang bersih
Hati yang telah murni
Takkan tersakiti

Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih

Interlude
Back to reffrain 3x

Dapatkan single terbaru Letto “Kasih Tak Memilih” di link berikut ini:

itunes.apple: Kasih Tak Memilih

Amazon.com: Kasih Tak Memilih

Microsoft.com: Kasih Tak Memilih

www.deezer.com: Kasih Tak Memilih

Sunday, February 7, 2016

Menelisik Buku dari Sisi Lain

Sebelum masuk ke tulisan ini, simaklah tulisan saya sebelumnya http://bit.ly/1mlIYLD

Bercerita sebuah buku memang unik dibahas. Cerita, pengetahuan bahkan proses pembuatannya mampu membuat menarik setiap pembacanya. Penawaran demi penawaran turut andil dalam mengembangkan buku tersebut. Jauh sebelumnya banyak buku dilarang peredarannya. Sebut saja karya Pramoedya Ananta Toer, Widji Thukul, hingga Pidi Baiq, pernah merasakan bukunya dilarang beredar. Namun seiring berjalan waktu, karya mereka menghiasi industri buku masa kini.

Dilan, 1990. Merupakan buku yang dicekal era 90an. Karena ada 1 kalimat yang diduga kontroversi, dengan menyinggung presiden yang berkuasa saat itu. Beruntunglah kita saat ini. Dilan 1990 dan Dilan 1991 dicetak ulang. Pramoedya Ananta Toer, beliau memilih dijebloskan di penjara bertahun-tahun karena karyanya. Bahkan info dari berbagai sumber, 500 sampai 5000 lembar : kliping dan tulisannya dihanguskan dari peredaran. Namun, Pram tak kecewa. Berulang kali beliau menulis di penjara, karyanya tetap masih dinikmati saat ini. Akhirnya berhasil melewati orde lama dan orde baru. Widji Thukul, mungkin tak seberuntung Pidi Baiq dan Pramoedya Ananta Toer. Puisi-puisi perlawanan beliau diberangus. Bahkan dokumen-dokumen yang telah siap cetak juga disita. Tahun 1997-1998, Thukul, dinyatakan tak kembali ke rumah hingga kini.

Ketiga penulis tersebut mampu melewatkan masa kelam bukunya. Hanya Thukul yang tak beruntung, diantara keduanya.

Buku berupa catatan seseorang yang mampu hidup di zaman tertentu. Generasi 90an mungkin mengenalnya dengan diary, generasi sekarang, media sosial dianggap sebagai buku hidupnya. Melalui timeline, media sosial merekam jejak pemilik akun, menggeser posisi diary di generasi 90an.

Setiap orang berhak mencetak buku. Yup. Buku merupakan hal sakral untuk dibagikan cerita, keilmuan bahkan catatan pinggirnya. Bagi mahasiswa tingkat akhir, buku ini sangat ditakuti.

Sebuah karya yang harus ditempuh beberapa tahun menuju kelulusan. Buku menakutkan itu bernama Skripsi. Menggali ide, menulis, berpikir, cari referensi kemudian dipertaruhkan dihadapan penguji yang berakhir revisi tanpa bantuan penyunting, selain penulisnya. Banyak diantara kita menunda beberapa bulan bahkan bertahun, untuk menulis karya itu. Sadar atau tidak, kemalasan bertemu kekasih (pembimbing), peliknya.

Kok malah curhat ya?

Bukan hanya itu saja. Buku bagi penulis baru, bagai bertemu dosen pembimbing dan dosen penguji, saat akan diajukan ke penerbit mayor. Eksistensi penulis dipertaruhkan. Mampu diterima pasar atau tidak, harga pertaruhan itu. Sayangnya seperti mahasiswa tingkat akhir yang mengajukan judul atau bahkan bab per bab, yang tak kunjung diterima dihadapan dosen pembimbing.

Belum lagi ketika sudah dicetak. Musuh besarnya, pembajakan. Bisa jadi harganya turun puluhan persen. Hasilnya tidak seberapa. Namun prestige dikenal jadi sangat bagus.

Cara paling ampuh mencari informasi penerbitan indie. Namun terjal tetap menghadang. Persyaratan penerbitan indie menjadi polemik tersendiri bagi penulis baru. Biaya cetak, dan administrasi.

Pilihan sulit bukan?

Thursday, February 4, 2016

Resensi "Yuna dan Juna"

Bingung ingin memulai dari mana ketika sebuah buku harus diceritakan ulang melalui blog. Sebenarnya bukan keahlian saya untuk menulis ulang apa yang saya baca. Biasanya saya sering menceritakan pengalaman pribadi dalam blog ini. Terlebih novel romance.

Buku "Yuna dan Juna" yang ditulis oleh Yundra Karina. Diterbitkan oleh Pataba press, yang merupakan perpustakaan nirlaba dari Toer bersaudara : Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Susilo Toer. Pataba sendiri merupakan akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. "Yuna dan Juna" diterbitkan pada Januari, dengan ISBN 9786027389304 yang berukuran 12,5 cm x 17,5 cm berhalaman xiv + 182. Seharga Rp. 30.000.
"Yuna dan Juna" bercerita tentang romance. Diawali dengan prolog yang manis dengan puisi dari penulis membawa pembaca hanyut untuk membaca halaman selanjutnya.

Dua sahabat, "Yuna dan Juna" berteman sejak kecil. Mereka menikmati masa mahasiswa menuju tingkat akhir yang menarik. Kekonyolan Juna saat yang sering berkunjung ke indekos Yuna dengan membawakan balon, mengendarai Vespa Kuning kesukaan Juna, menjadi daya tarik yang mampu mengingatkan kenangan masing masing pembaca. Yuna yang penakut, cengeng, dan mellow ini menaruh harapan hati pada Juna. Tiap hari Juna mengunjungi Yuna untuk sekedar melewatkan hari²nya. Bentuk perhatian Juna ini menjadi saat saat membahagiakan bagi Yuna. Hingga tak sadar mereka saling mencintai satu sama lain.

Sayangnya Juna lebih senang bercerita tentang Dea, gebetan Juna untuk menutup cintanya pada Yuna. Berulang kali Juna meminta saran Yuna tentang Dea. 


"Yuna dan Juna" memilih untuk diam mengungkap perasaan masing². Mereka saling dekat tapi tak punya hasrat untuk menjalin hubungan kecuali bersahabat. Yuna merasa dihibur dengan kedatangan Mizwar. Namun kedekatan Yuna dengan Mizwar seolah angin lalu.

Jika dikritik buku ini. Saya mungkin juga perlu berbicara langsung pada penulisnya untuk menggali lebih dalam karya ini. Itupun jika saya bertemu langsung dengannya. 

Saya memaklumi jika ada beberapa kata yang kurang ataupun salah huruf. Seperti 'mengucak' yang seharusnya mengacak di halaman 17, Satnya yang seharusnya Saatnya di halaman 29, Prof esor yang seharusnya Profesor di halaman 81, Spongesbob yang seharusnya Spongebob di halaman 102, are yang seharusnya area di halaman 143, padaaku yang seharusnya padaku di halaman 150, biaskan yang seharusnya biasakan di halaman 159. Dan mungkin beberapa kata yang luput dari bacaan saya. 
Penulisan buku ini sudah begitu sempurna jika font yang tertulis Times New Roman, 12. Karena pembaca harus membuka sedikit lebar mata untuk.membaca.

Untuk urusan percintaan novel ini masih menggunakan kata-kata klise. Seperti : 'Aku ingin selalu ada buat kamu, Na. Aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta padaku." Kata-kata ini memang sulit dilepaskan bagi orang yang kasmaran. Tetapi kalimat ini kadang membunuh ide penulis ketika lemah diksi. Lima kali saya menemui "menyilangkan tanda kening" yang bermaksud janji tak boleh diingkari. Dan hampir sepuluh kali saya menemukan "kupencet hidung" sebagai Kegemasan antara Yuna dan Juna.

Cerita ini sangat natural antara Yuna dan Juna. Jika saja Mizwar dan Dea tak masuk sebagai bumbu pemanis. Saya rasa beberapa tokoh seharusnya lebih dalam diceritakan. Bagaimana ending ini dibangun agar tak menggantung. Hubungan Juna dan Dea bagaimana?, Mizwar dengan Yuna berlanjut sampai mana?. Semoga ini sebagai masukan ide untuk novel kedua yang dijanjikan di kata pengantar dari Gunawan Budi Susanto.

Sekian resensi yang saya tulis. Mungkin ini juga jadi catatan untuk saya pribadi. Jika nanti saya bisa menulis buku. Semoga buku ini makin banyak peminatnya. Maaf jika seperti ini yang saya tulis. Terima kasih juga telah membaca resensiku ini. Salam. 


@nahar_gostu


http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/02/resensi-dan-juna.html

Friday, January 29, 2016

Oh Dik!

Oleh : Geriel Farah Faizah (yang dipublikasikan di grup sekolah menulis facebook)

Jogja hampir kelabu. Baru saja badanku berhasil keluar dari kotakan sempit shelter Trans Jogja. Aku menemukan senyum samarmu. Berjalan menyeberang zebra cross di depan Vrederburg. Sepertinya hujan baru saja reda, meninggalkan beberapa kubangan yang membuat langkahmu sesekali berjingkat menghindarinya.

“Hai,” niatnya menyapamu renyah, tapi entah, suara yang keluar dari tenggorok justru canggung, grogi, bernada rendah. Kiraku resah yang bercokol di dada akan seketika lenyap seperti hari-hari sebelumnya saat kita berjabat tangan dan sekadar basa-basi apa kabar. Ternyata resah itu semakin mendera, entah bagaimana caranya naik ke jantung dan ikut andil memompanya dalam detak yang sangat tidak beraturan. Aku semakin gusar apalagi menemukan jabatan tanganmu sedikit bergetar. Caramu melengos, ah pasti ada apa-apa di sana, di matamu. Sedangkan kita sama-sama tahu, ada rindu yang seharusnya terpecah dengan perbincangan panjang, gelak tawamu, membagi keluh-kesah hingga mereka-reka masa depan.

Oh Dik, membunuh waktu bersamamu bukan sebatas bercumbu menuntaskan nafsu, bukan sekadar membawamu kabur ke Kali Urang dan menelusuri lekuk tubuhmu yang sekarang hanya kau balut kaus V-neck dan celana tiga perempat. Caramu mengerutkan dahi, diam dan menatap tajam, serius berfikir, atau juga sedikit kemayu menyelipkan rokok menthol, mengebulkan asap dengan angkuh sebelum berkata-kata, lalu menyambung obrolan, dari Khatmandu hingga Karimun Jawa, Das Kapital hingga Pramoedya, inflasi, nilai tukar rupiah, hingga pelecehan seks perempuan-perempuan di Afrika, semuanya seolah tanpa muara. Mengalir terus, sederhana tapi penuh gairah. Semakin mengenalmu, semakin banyak kesempatan menyelusup ke ceruk-ceruk di mana pemikiranmu bertapa, aku semakin jatuh cinta. Tingkah manjamu yang tidak berlebihan, hobimu mengeratkan genggaman lalu mengelusnya lembut, atau pelukan hangatmu, aku hanya seperti selalu menemukan suara, “Tenanglah Mas, pulanglah ke mari kapanpun kau mau. Semua akan baik-baik saja.” Diantara jibunan tuntutan dunia, menemukan sore dan senyummu adalah garba menuju gua ketenangan tanpa terlalu banyak dentuman dan gesekan. Masa bodoh mereka di luar sana menyebutku terlampau terlena. “Bukankah cinta yang tulus sudah cukup, Mas?” katamu selalu meyakinkanku, setidaknya aku terlena oleh cinta yang tulus, toh nafsu hanya bumbu.

--- --- ---

Kita berjalan dalam diam, seperti dua orang yang tidak saling kenal. Aku membuntutimu, melangkah tergesa diantara orang-orang yang berjubel merburu suvenir. Kau tidak ingin bernostalgia sepertinya, sekadar mengangkat Nikon-mu dari kalungan. Lalu membidikkan lensa ke beberapa arah. Padahal katamu dulu Malioboro selalu cantik, menggoda untuk dipotret, auranya bak perempuan bergincu merah muda. Dulu kita sering hunting bersama bukan? Aku ketularan aliran street photography-mu, hingga murtad dari landscape. “Jalanan punya segalanya, Mas. Mau drama model apa saja, asal Mas jeli. Aliran yang paling mudah mengungkap banyak cerita.” katamu dulu. Kau yang mengajarkan bagaimana candid denagan POI yang akan tampak begitu menarik, setelan aperture, memilih lensa, hingga interaksi dengan obyek.

Aku baru sadar, kita sudah daritadi melewati Bringharjo. Kujajari langkahmu, “ Eh Dik, kita mau kemana?” Datar saja kau ucapkan, sebuah kedai donat premium di dalam Malioboro Mall. “Padahal aku kangen dawet yang di dalam Bringharjo, gimana kalau ke sana saja?” Langkahmu terhenti, nah, akhirnya bertemu matamu. “Tempat seramai itu Mas. Obrolan kita…” dari matamu aku tahu, kata-katamu tercekat di tenggorok, dicekat sesak yang sedari tadi menyumpal ulu hati. Kau membuang pandangan, artinya usahaku membuat kita tidak sekaku ini kau tolak mentah-mentah. Baiklah Dik, obrolan kita memang Dewa sore ini, terserah apa maunya akan membawa kita kemana selanjutnya, hanya obrolan. Ah, begini benar!
Kita berbelok ke Malioboro Mall, kotakan kaca besar di sebelah kanan pintu masuk, kedai yang tidak terlalu ramai sore ini. Sementara di luar gerimis mulai merintis, pendingin ruangan dan dingin hujan membekukanku, juga mungkin membuat bibirmu kelu. Aku memperhatikan caramu terdiam, menatap kosong pada rintik air di luar. Kau masih suka gerimis, caramu menatapnya seolah menginginkan menari di bawahnya. Bukankah kita pernah berlarian di bawah gerimis waktu gagal memotret senja di Ratu Boko? Kau kedinginan tapi sangat bahagia waktu itu. Lalu kita naik Trans Jogja menuju kontrakanmu. Sesekali kau kagumi caraku memotret kota dengan rintik gerimis pada dinding kaca bis. “Sendu,” ucapmu, lalu kusambung, “Ya, sendu seperti wajahmu.” Kau tergelak, tawamu lepas memamerkan deretan gigi rapi hasil behel dua tahun katamu. Oh Dik, bahagia memang milik kita waktu itu.

Sejak kapan di meja kita ada dua cangkir coklat panas dan tiga buah donat warna-warni? Aku terlalu larut dalam lamunan, mungkin kau juga. Sekarang kau seruput pelan coklat panasmu. Aku menunggu, tapi tidak tahu menunggu apa.

“Jadi…” trimakasih Dik, akhirnya kau mengawali.

“Jadi… aku…” semalam sudah kususun apa yang ingin aku katakana. Tapi kemana semua. Oh Dik, aku sebenarnya tahu, kau tahu apa yang akan kita bicarakan. Social mediaku telah gamblang menceritakan semuanya, kan?

“Foto-foto di Instagram-mu, Mas.”

“Iya, Dik. Sebenarnya sore ini aku ingin memberikan ini,” kuambil dari ransel lalu meletakkannya di meja. Adakah warna jingga di sana semakin menohok ulu hatimu? Aku juga tahu setelah gerimis kau menggilai senja yang jingga, Jangan kau gigit bibir bawahmu sekuat itu Dik, perih. Berhentilah, apa yang kau tahan, air mata? Toh matamu tetap berkaca-kaca. Matamu kau paksa tak mengalihkan pandangan, meski tanpa berniat menyentuh benda itu sama sekali.

“Aku hanya tiba-tiba lupa berekspresi, Mas.” Nafasmu sesak, kau ambil oksigen sepanjang yang kau kuat, “Mas..” emosimu tertahan, dahimu tiba-tiba bercucuran keringat, di ruangan sedingin ini dan Jogja yang gerimis? 
Aku menatap matamu. Pasti juga bisa kau baca apa yang ingin meluap dari lelakimu ini. Banyak sekali hal yang ingin kuutarakan, namun tak bisa Dik, aku tiba-tiba bodoh dan terbata, “Maafkan aku, Dik,” hanya itu yang mampu kukeluarkan, sangat lirih.

“Maafkan aku juga, tidak bisa berpura-pura memberimu doa, Mas. Sakit, Mas. Aku juga tidak bisa memberimu selamat. Maaf.”

Tuhan, rasanya seperti ada paku yang dipalu tepat di gendang telinga. Nyeri, ngilu, sakitnya semenyiksa ini. Aku hanya tampak begitu kejam, seperti menuli, tak punya hati. Oh Dik, ingin memelukmu dan menampung tangisanmu di bahuku. Kita pernah mengobrolkan semua ini sebelumnya. Pernah juga saling meyakinkankan bahwa kita tidak akan serapuh ini ketika semua ini terjadi.

“Memang pada akhirnya harus begini, Mas. Sudah, jangan khawatirkan aku.”

Jemariku bergerak hendak menggenggammu, kau menarik diri. “Dik, aku selalu mencintaimu,” kataku.

“Dunia yang tidak pernah mencintai kita,” nadamu lelah dan pasrah. Kali ini benar-benar jatuh air matamu, tidak peduli beberapa pasang mata memperhatikan kita. “Kenapa saling mencintai saja tidak pernah cukup, Mas? Aku mencintaimu bukan sebatas kamu top dan aku bot.” Aku juga Dik, aku pakai hati denganmu. Sayang aku tetap tak bisa menjawab pertanyaan, “ Kenapa aku harus lagi-lagi kehilangan?”

Seharusnya aku membawamu lari ke Belanda, hidup tentram dan sama-sama mewujudkan mimpi-mimpi kita. Seharusnya aku tidak memilih pergi. Lagi-lagi kau harus bertemu pecundang yang tak berani mempertaruhkan diri. Masih kuingat getir suaramu di suatu sore gerimis di Parang Tritis. “Kenapa dunia, manusia-manusia itu, harus mengendalikan segalanya? Mengendalikan cara berfikir, mengendalikan persepsi, mengendalikan mana yang benar dan yang salah. Mas, cintapun harus dikendalikan mereka? Cinta kan hanya aku dan kamu yang tahu, yang menjalani. Kenapa harus tunduk pada kendali mereka, persepsi mereka, benar salah mereka?” Aku menyimpan kata-kata itu, termasuk ekspresi marah dan kecewamu yang tak tahu hendak kau luapkan pada siapa.

Menyembunyikan cinta kita tidak pernah semudah menyembunyikan vigel di dalam sneakers usang di pojok rumahku. Kalau sampai ketahuan ibu, aku hanya akan bilang itu minyak bulus penumbuh rambut. Semuanya penuh konsekuensi, dan aku lelakimu yang pecundang ini tak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan. Aku memilih memaksa diri tunduk pada persepsi mereka, benar-salah mereka.

“Aku harus pergi mas. Terimakasih untuk semuanya.” Suaramu masih sesenggukan, dalam sekali tangismu sore ini. Nafasmu teresengal-sengal, aku ingin menahan kepulanganmu, menarik pergelanganmu. Tapi aku juga tidak tahu, jika terus di sini aku bisa memperimu apa. Oh Dik, lelakimu ini hanya mampu memandang kau berjalan ke luar kedai yang mulai ramai lalu tertelan kerumunan dan hilang. Sementara orang-orang di sekitar meja bertanya-tanya melalui pandangan mereka.

Aku menyesap coklat yang tadi kau pesankan, terlalu pahit. Kubalik benda jingga yang telah menamparmu meski tanpa bergerak sedikitpun. Aku membaca di sampulnya, ada namaku Satriya Astapraja, dan nama calon istriku, Tulip Sasmita Prihantari. Ada pula foto kami, aku menggendongnya di punggungku dengan latar belakang jalanan Jakarta waktu senja. Foto yang tadi kau sebut ada di akun Instagram-ku dengan hastag ‪#‎prewed‬. Dan dipojok bawah itu, namamu, Diki Rahadian Soetopo. Aku sendiri yang mengetik huruf-huruf itu, mencetaknya diatas label nama, dan baru tadi di atas Trans Jogja kutempel di sana.

Aku melihat keluar, masih gerimis. Semoga kau sedang menari di bawahnya, menyembuhkan luka. Semoga setiap luka memang ada obatnya. Semoga Tuhan berhenti menggodamu dengan kebahagiaan semu. Oh Dik!

--- selesai ---

Thursday, January 14, 2016

Sinestesia - Efek Rumah Kaca

Sekali lagi, saya ucap terima kasih pada efek rumah kaca yang telah berani mengunggah Sinestesia Efek rumah kaca untuk diunduh gratis. Banyak hal yang ingin digali pada album ini. Cerita dibalik sinestesia yang didedikasikan untuk Adrian, yang telah menemani Efek Rumah Kaca.

Baca juga : Belajar dari Sinestesia Efek Rumah Kaca

Saya membagikan ini : karena Efek Rumah Kaca sengaja share di ripstore, dan membolehkan untuk dibagikan ulang. Maka silakan download jika memang ini mendengarkan.

Kali pertama mereka mengeluarkan single Pasar Bisa Diciptakan,  - yang menjadi keseluruhan Biru - kemudian Putih yang bercerita Ada Dan Tiada. Cerita suatu keadaan kematian dan kelahiran.

Baca juga : Putih

Maka jika berkenan silakan download.

http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/01/unduh-sinestesia-efek-rumah-kaca.html