Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, April 6, 2016

Slilit sang Kiai

Oleh : Emha Ainun Najib ( Cak Nun ) 10 September 1983


Tidak jelas apa bahasa Indonesianya, tapi biasa disebut slilit. Kalau habis ditraktir makan sate, biasanya ada serabut kecil sisa daging nyelip di antara gigi -----itulah slilit.
Slilit sama sekali tak penting. Tak pernah jadi urusan nasional. Tak terkait dengan kampanye pembangunan. Koran tak pernah meng-cover-nya. Para ilmuwan atau penyair tak pernah mengingatnya. Bahkan, satu-satunya produksi ekonomi yang punya urusan dengannya disebut "tusuk gigi"-----bukan "tusuk slilit". Padahal, slilit-lah yang ditusuk.


Namun, begitulah, slilit pernah memusingkan seorang kiai di alam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan suksesnya masuk surga. Ceritanya, dia mendadak dipanggil Tuhan, sebelum santrinya siap untuk itu. Murid-murid setia itu, sesudah menguburkan sang kiai, lantas nglembur mengaji berhari-hari---agar diperkenankan bertemu ruh beliau barang satu dua jenak. Dan Allah Yang Maha Memungkinkan Segala Kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebesaran-Nya dalam mimpi para santri itu. Ruh kiai menemui mereka.

Terjadilah wawancara singkat, perihal nasib sang Kiai di "sana". "Baik-baik,Nak. Dosa-dosaku umumnya diampuni. Amalku diterima. Cuma ada satu hal yang membuatku masygul. Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah Pak Kusen? Sehabis makan bareng, hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat aku mengurus slilit di gigiku. Ketika pulang, di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak bawa tusuk slilit, maka aku mengambil potongan kayu kecil dari pagar orang. Kini, alangkah sedihnya: aku tak sempat meminta maaf kepada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku?"

Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan, alangkah lebih malangnya nasib sang Kiai bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih-lebih lagi kalau menyamai Hotel Asoka atau Candi Borobudur, setidaknya satelit Pallapa.


Ada satu intensitas ruhani tertentu dari hidup manusia. Yakni, tempat Tuhan itu mutlak. Tempat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati. Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup.

Meski demikian, hak itu sebenarnya naluriah saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun, orang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan itu merusak sistem ekologis. Seorang Indian Wintu di California berkata pilu :
"Orang-orang kulit putih ini tak pernah mencintai tanah, rusa, atau beruang. Jika kami makan daging, kami tak menyisakannya. Jika kami memerlukan akar, kami bikin lubang bukan mencerabutnya. Kami tak menumbangkan pohon. Kami hanya memakai kayu yang sudah mati. Tapi, orang kulit putih membajak tanah, merobohkan pohon, membunuh segala yang dikendaki. Pohon-pohon menangis, 'Jangan! Aku luka dan sakit !'----tapi mereka mencerabutnya, memotong-motongnya. Ruh tanah benci mereka! Mereka meledakkan batu-batu, gunung-gunung kecil, menghamparkannya di tanah sehingga tidak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh, 'Jangan! Aku pecah dan sakit!'----tapi mereka tak ambil peduli. Bagaimana ruh batu menyanyangi mereka, rusaklah segala sesuatu itu ...!"

Naluri jernih suku Wintu bagau menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangsa kulit merah. Manusia dengan kecerdasan berhasil menaklukkan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya, menyulap menjadi surga impian, memakannya, menghabiskannya, menguras, dan mengenyamnya, demi kelayakan-kelayakan yang irrasional dan mubazir, bagai direncanakan untuk menyegerakan berbagai kehancuran yang ditutup-tutupi.

Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba-penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba-berkaitan, semrawut dan membenang kusut, menjadi tidak penting, juga di negeri yang bangsanya nampak begitu religius. Kata "Tuhan" disebut ratusan kali setiap hari. Konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat.

Dan di bagian pinggiran itulah hidup Pak Kiai, yang sangat masygul akibat dosa slilit-nya.



Diambil dari kumpulan cerpen yang dibukukan dengan judul yang sama.

Tuesday, April 5, 2016

Tujuh Belas Ribu Kartu Nama

Oleh : Cak Nun , 8 Oktober 1983

Bersurat kepada seseorang yang "selama tujuh tahun, tiap hari, pukul 11 siang hingga 2 malam, bergaul di tengah ribuan hostes, massage girls atau apa pun namanya di tiga streambath terkenal". Sesudah membaca tulisan saya tentang "martabat wanita modern", ia tulis surat imbauan itu karena "banyak pertanyaan di benakku yang tak mendapat jawaban".
Ia membantah asumsi saya tentang motivasi ekonomis para pelacur. Karena "delapan dari sepuluh 'wanita ribuan' yang kuamati itu rata-rata sudah punya rumah, cukup mewah, bahkan sampai dua biji, biasanya yang satu dikontrakkan". Dikatakan jarang yang sekadar punya motor roda dua. Tabanas mereka aduhai. Penghasilan selama empat bulan rata-rata tujuh belas juta rupiah, bisa untuk membeli Honda Accord mutakhir. Bagaimana mungkin?
"Tiap hari mereka meladeni lima sampai tujuh pamong negeri kelas menegah. Ada hostes top kerja lima tahun punya 17.000 kartu nama. Saingannya kerja enam tahun dapat 15.000 kartu nama. Bonus ekstra mereka selalu fantastis." Oke. Tapi apa sesungguhnya "kartu As" mereka ini, hingga memperoleh duit begitu banyak?
"Ialah bermain tidak hanya di tempatnya!" Baiklah sebut nama Allah, tapi yang dimaksud tentu anu, anu, dan anu (maaf, ini sudah disensor---red.). Jumlah angka tentu gampang diterobos, karena negoisasi dilakukan pada kondisi psikologi yang revolusioner dan penuh nafsu dan kesusu.
Tentu "dampak kultural"-nya macam-macam. "Di rumah, mereka tak puas melayani suami sehabis di 'kantor' makan 6-7 manusia. Soal buang air seni terasa panas dan perih, itu biasa. Tapi batuk tak mau sembuh, buang air besar seperti menyiksa padahal bukan menderita wazir, bernapas terasa sesak padahal tak sakit asma ......" Hmmm.
Dikemukakan, semula tak banyak yang melakukan pariwisata liar seperti itu. Sering juga bermula "normal" saja, tapi akhirnya---yah, Adam tak cukup makan sebiji khuldi. Dampak lain? "6/10 tiap enam bulan menggugurkan kandungan."
Ada beberapa pengemukaan data yang saya sensor demi stabilitas. Tapi yang penting sahabat kita ini menyuruh saya mengira-ngirakan, berapa banyak uang yang dikorup untuk kegiatan yang "telah, sedang, dan akan terus berlangsung" ini.
Bayangkan, katanya. (Jelas, kalau sekadar membayangkan saja saya jago). "Peraturan perizinan hitam atas putih itu nol besar. Saya berani sumpah, saya bukan orang kejam yang mau memfitnah." Ia berkata bahwa sudah ada tempat begituan yang jadi abu karena kutukan Allah, tapi kini sudah berdiri megah pasar kelamin baru, tempat hiburan Martini kontemporer menjadi perangsang korupsi. "Wanita-wanita itu pada hakikatnya pemalas, pemeras, dan pemacu penyelewengan."
Ia menghimbau : "Apakah Bapak-bapak tidak menyadari timbulnya keresahan sosial bila hal itu terus berlanjut? Telah kusaksikan ratusan keluarga berantakan karenanya----keluarga para hostes maupun konsumen." Ia tidak rela "kemajuan bangsa Indonesia terhambat dan terkotori oleh beberapa bagian dari masyarakat yang berlepotan kemaksiatan dan bejat moral."
Demikianlah, seperti orang kehujanan tanpa bisa berteduh, dengan murung saya membaca akhir suratnya yang menghimbau saudara-saudaraku, agar bersedia menghimbau. Marilah kita ini kemerdekaan ini dengan imbau-menghimbau. Sebab mungkin hanya itu kemampuan pamungkas kita.

Diambil dari buku "Slilit Sang Kiai".

Baca lainnya disini

Thursday, March 31, 2016

Alasanku Menyukai Lagu

Beruntung. Kata pertama yang kutulis dalam cerita di blog ini. Beruntung karena setiap lagu mampu membangkitkan mood saya. Bermilyaran lagu menguap di dunia. Jutaan band menuliskan lirik indah dalam lagu mereka. Hanya dalam tujuh nada. Beruntung karena pencipta nada do re mi fa shol la si, ternyata seorang muslim.

Kali pertama saya menyukai lagu bukan terletak pada nada. Karena sampai saat ini saya tak bisa membaca not balok. Tapi lirik yang easy listening-lah akhirnya membuat saya tak ragu.

Setiap hari lagu-lagu kudengar, kutelaah ulang lirik, dengan menulis ulang. Menggali kata per kata, apa makna tersirat. Kemudian menemukan makna didalam cerita lirik tersebut.

Pada blog sebelumnya sayapun menuliskan ulang lirik tersebut. Agar saya tahu maknanya. Seperti Tentang hidup , Selamat Datang,  dll.

Baca juga
http://mrgostuquwh.blogspot.com/2012/11/menelaah-lirik.html

Ceritaku di Pasar Lamongan

Memasuki tahun ketujuh ini, kami masih mengadu nasib di kota lain. Tuntutan dari sang bos yang terikat kontrak kerja dengan pabrik ratusan ton jadi alasan kami. Tujuan kami ialah Pasar Ikan Lamongan. Terletak di sudut kota Lamongan, yang beralamat di Jalan Kusuma Bangsa. 

Akses ke pasar tersebut cukup mudah bagi siapapun. Bagi yang berasal dari barat (Semarang) ataupun timur (Surabaya), cukup turun ke terminal Lamongan. Setelah di terminal bisa jalan kaki turun di pinggir terminal. Jalan kearah timur, ada pertigaan, masuk sekitar 250 meter setelah kafe dan karaoke 'Rasa Sayang'. Jika naik becak / betor (becak bermotor), tanya pengemudi, nanti akan diantarkan. Tak jauh kok dari terminal Lamongan.

Petunjuk di atas cukup ya.

Kami warga Semarang dan sekitarnya malah memilih pasar ikan di Lamongan. Namanya juga mengadu nasib. Eh, bukan itu maksudku. Bukankah lebih enak di Semarang, kan. Efisien dan hemat. Pasar ikan Semarang atau biasa disebut pasar pathok (karena dulu terdapat kuburan), bisa disebut juga pasar kobong (tahun 90an pernah terjadi kebakaran), merupakan pijakan pertama bos saya merintis usaha. Bos saya adik kandung ibu. Anak nenek nomor tiga. Pasar kobong hanya buka setiap malam. Lagi pula ukuran pasar kobong lebih kecil dibandingkan pasar ikan Lamongan. Bisa dikatakan pasar ikan Lamongan salah satu pasar ikan terbesar di pulau Jawa.

Karena bos suplier udang. Dan beberapa titik pertambakan udang di sekitar Semarang telah dipercayakan pada kami untuk dipanen. Jadi kami tahu kualitas udang yang dijual di pasar tersebut.
Kami pedagang musiman. Hanya datang sekitar bulan februari hingga juli. Atau hingga puasa saja. Setelah itu, kami kembali ke Semarang.

Di pasar ikan ini jujur, nilai termahal. Lebih mahal dari miliaran uang yang dibelanjakan bos saya di pasar tersebut setiap bulan. Dari tahun 2009 hingga kini kami terus belajar akan hal itu. Kami acap kali, menemui para pedagang tak jujur. Berulang kali setiap bulan kami kehilangan jutaan rupiah. Bisa dikatakan akibat kelengahan kami yang dimanfaatkan oleh pedagang atau memang kepribadian mereka yang tak jujur. Sejak tahun 2009 kami melakukan pembelian secara cash. Modal ini yang menarik minat pedagang untuk menjual udangnya pada kami.

Tahun 2009, pertama kali kami datang, kami tak punya tempat tinggal. Kami tidur di pasar berteman nyamuk dan kekumuhan. Tahun 2010 Kami coba mengontrak sebuah rumah. Namun sama saja. Rumah yang kami tempat agak seram. Tahun 2011 kami balik lagi tidur di pasar, sembari mencari rumah yang dijual untuk jangka panjang. Tujuan kami ingin mengembangkan sayap dan menetap di sana setiap tahun. Karena aturan perda setempat mewajibkan harus punya domisili di pasar. Akhirnya pada tahun 2012 keinginan itu tercapai. Sebidang tanah berukuran 1000 m² beserta bangunannya dapat kami beli. Kami pun juga membeli lapak di pasar tersebut. Cukup fantastis. Bos rela mengeluarkan 1,3 milyar. Untuk membeli lapak dan rumah.

Kami melakukan pembayaran tunai setiap hari, kecuali bank tutup. Setiap hari ratusan juta kami ambil di salah satu bank di Lamongan. Uang dari Semarang dikirim dan kami mengambilnya untuk belanja.

Ojek Panggul, Pedagang dan Pengemis.

Hal menarik di pasar ikan ini ialah ojek panggul, pedagang dan peminta-minta.
Bisa dikatakan penghasilan mereka melebihi pegawai negeri swasta. Maksudku pegawai negeri sipil. Ojek panggul. Dalam setiap mengantar mereka meminta imbalan dari pedagang dan pengepul. Umpama saya pedagang. Saya mau jual barang ke pengepul. Nah ojek panggul akan menerima dari saya dan pengepul sekian ribu rupiah sekali antar, tergantung ukuran. Umpama ember cat 1000 hingga 2000. Blong ukuran kecil hingga besar Rp. 3000 - Rp. 5000. Bisa diakumulasikan seperti ini : seandainya 1 barang mendapat upah 10000/blong, jika dia mengirim 30 blong. Silakan hitung sendiri. Lumayan kan.

Cerita lainnya ialah pengemis dan pengamen yang berjumlah puluhan orang setiap hari. Bagi mereka, pasar merupakan ladang subur meminta uang. Jika dihitung secara kasar seperti ini : di pasar ada sekitar 500 pengadu nasib. Mereka terdiri dari pengepul, pedagang kecil seperti yang saya sebut, juga pedagang makanan di sekitaran pasar. Andai pengemis ataupun pengamen itu meminta setiap pedagang dan pengepul Rp. 500 x 500 = Rp. 250000. Belum lagi para pengemis dan pengamen ini jika mengambil keuntungan dari ikan yang jatuh, tidak ditimbang. Dengar-dengar para pengemis punya rumah yang layak tinggal. Semoga berita ini benar.
Pengamen lain yang buat saya agak merinding ialah bencong. Mereka  datang setiap hari minggu.

Acap kali mereka mengganggu konsentrasi kasir. Lagi asyik membayar nota dan menghitung uang, tiba-tiba datang meminta uang. Tanpa memedulikan sang kasir sedang sibuk. Kesabaranmu diuji di sana. Kami sering cekcok dengan mereka. Bahkan ada juga ojek panggul yang tak jujur. Jika kami lengah mereka asal sebut. Padahal yang dikirim tak sesuai.

Warung  nasi dan kopi.

Di salah satu sudut pasar kita akan menemukan berjejer warung. Kopi atau pun makanan. Saya selalu menyempatkan makan di warung Umi. Wanita paruh baya dari Madura. Suaminya bekerja di Arab sebagai supir. 

Setiap pagi dan siang saya menyempatkan mampir. Kopi yang dia sajikan hasil olahan sendiri. Biji kopi digoreng dan diselep sendiri. Saat menggoreng akan tercium aroma kopinya di siang hari. Sungguh menggodaku. 

Masakan Umi yang paling enak ialah Rawon. Sepuluh ribu rupiah sudah medapatkan nasi Rawon + 1 gorengan + teh. Namun saya jarang sarapan. Rawon ini hanya saya dapatkan sekitar pukul 10.00 WIB. Jika Umi sedang repot saya menyajikan sendiri makanan. Sering kali saya menambah telur. Dan harga tetap sama 10.000.

Sejak pukul 05.30 Umi sudah di pasar. Menyiapkan apapun untuk menyajikan semuanya sendirian. 

Kalau saya bosan ke Umi saya menyempatkan ke warung Marpuah berjarak beberapa meter dari Umi. Di warung ini pula, kopi dibuat sendiri seperti halnya Umi. Bahkan jika siang saya sulit membedakan mana kopi masakan Umi dan Marpuah. Marpuah mempunyai masakan khasnya : Ikan Patin, ikan Lele, Ikan mujair,  Kuah kuning dan Sayur bayem. Cuma 12.000 sudah bisa merasakan kenikmatan masakannya.

Keluarga Baru

Sistem yang kami bangun di pasar ini dengan cara kekeluargaan. Antar pedagang kami saling kenal. Bahkan sebelah kami, bos es batu, lapaknya baru kami beli, menganggap kami saudaranya. Keluarga dari sisi bisnis ataupun apa kurang tahu motivasi utamanya beliau mendekati kami. Bos es batu itu, bernama H. Jenni. Setiap kali datang ke Lamongan, kami pasti meminjam motornya. Begitu pun ketika saldo uang tunai masih sedikit. Berapapun kami pinjam tanpa anjungan ataupun materai, sebagai bukti peminjam. Lidah tak bertulang menjadi modal kami meminta tolong.


Saturday, March 19, 2016

Lirik Kasih Tak Memilih Letto

Melalui kabar burung alias twitter. Bahwa tanggal 14 maret lalu mereka sedang launching album maka saya pun mencoba menuliskan lirik single Kasih Tak Memilih milik Letto.

Kasih Tak Memilih - Letto

Rasa benci itu
yang tersimpan setiap waktu
berapa lama ku mau tuk menderita
Aku tak mengerti kata dari hati

Reffrain :
Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih

Cerita yang tlah hilang
Seharusnya tak mengapa
Hati yang bersih
Hati yang telah murni
Takkan tersakiti

Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih

Interlude
Back to reffrain 3x

Dapatkan single terbaru Letto “Kasih Tak Memilih” di link berikut ini:

itunes.apple: Kasih Tak Memilih

Amazon.com: Kasih Tak Memilih

Microsoft.com: Kasih Tak Memilih

www.deezer.com: Kasih Tak Memilih

Sunday, February 7, 2016

Menelisik Buku dari Sisi Lain

Sebelum masuk ke tulisan ini, simaklah tulisan saya sebelumnya http://bit.ly/1mlIYLD

Bercerita sebuah buku memang unik dibahas. Cerita, pengetahuan bahkan proses pembuatannya mampu membuat menarik setiap pembacanya. Penawaran demi penawaran turut andil dalam mengembangkan buku tersebut. Jauh sebelumnya banyak buku dilarang peredarannya. Sebut saja karya Pramoedya Ananta Toer, Widji Thukul, hingga Pidi Baiq, pernah merasakan bukunya dilarang beredar. Namun seiring berjalan waktu, karya mereka menghiasi industri buku masa kini.

Dilan, 1990. Merupakan buku yang dicekal era 90an. Karena ada 1 kalimat yang diduga kontroversi, dengan menyinggung presiden yang berkuasa saat itu. Beruntunglah kita saat ini. Dilan 1990 dan Dilan 1991 dicetak ulang. Pramoedya Ananta Toer, beliau memilih dijebloskan di penjara bertahun-tahun karena karyanya. Bahkan info dari berbagai sumber, 500 sampai 5000 lembar : kliping dan tulisannya dihanguskan dari peredaran. Namun, Pram tak kecewa. Berulang kali beliau menulis di penjara, karyanya tetap masih dinikmati saat ini. Akhirnya berhasil melewati orde lama dan orde baru. Widji Thukul, mungkin tak seberuntung Pidi Baiq dan Pramoedya Ananta Toer. Puisi-puisi perlawanan beliau diberangus. Bahkan dokumen-dokumen yang telah siap cetak juga disita. Tahun 1997-1998, Thukul, dinyatakan tak kembali ke rumah hingga kini.

Ketiga penulis tersebut mampu melewatkan masa kelam bukunya. Hanya Thukul yang tak beruntung, diantara keduanya.

Buku berupa catatan seseorang yang mampu hidup di zaman tertentu. Generasi 90an mungkin mengenalnya dengan diary, generasi sekarang, media sosial dianggap sebagai buku hidupnya. Melalui timeline, media sosial merekam jejak pemilik akun, menggeser posisi diary di generasi 90an.

Setiap orang berhak mencetak buku. Yup. Buku merupakan hal sakral untuk dibagikan cerita, keilmuan bahkan catatan pinggirnya. Bagi mahasiswa tingkat akhir, buku ini sangat ditakuti.

Sebuah karya yang harus ditempuh beberapa tahun menuju kelulusan. Buku menakutkan itu bernama Skripsi. Menggali ide, menulis, berpikir, cari referensi kemudian dipertaruhkan dihadapan penguji yang berakhir revisi tanpa bantuan penyunting, selain penulisnya. Banyak diantara kita menunda beberapa bulan bahkan bertahun, untuk menulis karya itu. Sadar atau tidak, kemalasan bertemu kekasih (pembimbing), peliknya.

Kok malah curhat ya?

Bukan hanya itu saja. Buku bagi penulis baru, bagai bertemu dosen pembimbing dan dosen penguji, saat akan diajukan ke penerbit mayor. Eksistensi penulis dipertaruhkan. Mampu diterima pasar atau tidak, harga pertaruhan itu. Sayangnya seperti mahasiswa tingkat akhir yang mengajukan judul atau bahkan bab per bab, yang tak kunjung diterima dihadapan dosen pembimbing.

Belum lagi ketika sudah dicetak. Musuh besarnya, pembajakan. Bisa jadi harganya turun puluhan persen. Hasilnya tidak seberapa. Namun prestige dikenal jadi sangat bagus.

Cara paling ampuh mencari informasi penerbitan indie. Namun terjal tetap menghadang. Persyaratan penerbitan indie menjadi polemik tersendiri bagi penulis baru. Biaya cetak, dan administrasi.

Pilihan sulit bukan?

Thursday, February 4, 2016

Resensi "Yuna dan Juna"

Bingung ingin memulai dari mana ketika sebuah buku harus diceritakan ulang melalui blog. Sebenarnya bukan keahlian saya untuk menulis ulang apa yang saya baca. Biasanya saya sering menceritakan pengalaman pribadi dalam blog ini. Terlebih novel romance.

Buku "Yuna dan Juna" yang ditulis oleh Yundra Karina. Diterbitkan oleh Pataba press, yang merupakan perpustakaan nirlaba dari Toer bersaudara : Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Susilo Toer. Pataba sendiri merupakan akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. "Yuna dan Juna" diterbitkan pada Januari, dengan ISBN 9786027389304 yang berukuran 12,5 cm x 17,5 cm berhalaman xiv + 182. Seharga Rp. 30.000.
"Yuna dan Juna" bercerita tentang romance. Diawali dengan prolog yang manis dengan puisi dari penulis membawa pembaca hanyut untuk membaca halaman selanjutnya.

Dua sahabat, "Yuna dan Juna" berteman sejak kecil. Mereka menikmati masa mahasiswa menuju tingkat akhir yang menarik. Kekonyolan Juna saat yang sering berkunjung ke indekos Yuna dengan membawakan balon, mengendarai Vespa Kuning kesukaan Juna, menjadi daya tarik yang mampu mengingatkan kenangan masing masing pembaca. Yuna yang penakut, cengeng, dan mellow ini menaruh harapan hati pada Juna. Tiap hari Juna mengunjungi Yuna untuk sekedar melewatkan hari²nya. Bentuk perhatian Juna ini menjadi saat saat membahagiakan bagi Yuna. Hingga tak sadar mereka saling mencintai satu sama lain.

Sayangnya Juna lebih senang bercerita tentang Dea, gebetan Juna untuk menutup cintanya pada Yuna. Berulang kali Juna meminta saran Yuna tentang Dea. 


"Yuna dan Juna" memilih untuk diam mengungkap perasaan masing². Mereka saling dekat tapi tak punya hasrat untuk menjalin hubungan kecuali bersahabat. Yuna merasa dihibur dengan kedatangan Mizwar. Namun kedekatan Yuna dengan Mizwar seolah angin lalu.

Jika dikritik buku ini. Saya mungkin juga perlu berbicara langsung pada penulisnya untuk menggali lebih dalam karya ini. Itupun jika saya bertemu langsung dengannya. 

Saya memaklumi jika ada beberapa kata yang kurang ataupun salah huruf. Seperti 'mengucak' yang seharusnya mengacak di halaman 17, Satnya yang seharusnya Saatnya di halaman 29, Prof esor yang seharusnya Profesor di halaman 81, Spongesbob yang seharusnya Spongebob di halaman 102, are yang seharusnya area di halaman 143, padaaku yang seharusnya padaku di halaman 150, biaskan yang seharusnya biasakan di halaman 159. Dan mungkin beberapa kata yang luput dari bacaan saya. 
Penulisan buku ini sudah begitu sempurna jika font yang tertulis Times New Roman, 12. Karena pembaca harus membuka sedikit lebar mata untuk.membaca.

Untuk urusan percintaan novel ini masih menggunakan kata-kata klise. Seperti : 'Aku ingin selalu ada buat kamu, Na. Aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta padaku." Kata-kata ini memang sulit dilepaskan bagi orang yang kasmaran. Tetapi kalimat ini kadang membunuh ide penulis ketika lemah diksi. Lima kali saya menemui "menyilangkan tanda kening" yang bermaksud janji tak boleh diingkari. Dan hampir sepuluh kali saya menemukan "kupencet hidung" sebagai Kegemasan antara Yuna dan Juna.

Cerita ini sangat natural antara Yuna dan Juna. Jika saja Mizwar dan Dea tak masuk sebagai bumbu pemanis. Saya rasa beberapa tokoh seharusnya lebih dalam diceritakan. Bagaimana ending ini dibangun agar tak menggantung. Hubungan Juna dan Dea bagaimana?, Mizwar dengan Yuna berlanjut sampai mana?. Semoga ini sebagai masukan ide untuk novel kedua yang dijanjikan di kata pengantar dari Gunawan Budi Susanto.

Sekian resensi yang saya tulis. Mungkin ini juga jadi catatan untuk saya pribadi. Jika nanti saya bisa menulis buku. Semoga buku ini makin banyak peminatnya. Maaf jika seperti ini yang saya tulis. Terima kasih juga telah membaca resensiku ini. Salam. 


@nahar_gostu


http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/02/resensi-dan-juna.html

Friday, January 29, 2016

Oh Dik!

Oleh : Geriel Farah Faizah (yang dipublikasikan di grup sekolah menulis facebook)

Jogja hampir kelabu. Baru saja badanku berhasil keluar dari kotakan sempit shelter Trans Jogja. Aku menemukan senyum samarmu. Berjalan menyeberang zebra cross di depan Vrederburg. Sepertinya hujan baru saja reda, meninggalkan beberapa kubangan yang membuat langkahmu sesekali berjingkat menghindarinya.

“Hai,” niatnya menyapamu renyah, tapi entah, suara yang keluar dari tenggorok justru canggung, grogi, bernada rendah. Kiraku resah yang bercokol di dada akan seketika lenyap seperti hari-hari sebelumnya saat kita berjabat tangan dan sekadar basa-basi apa kabar. Ternyata resah itu semakin mendera, entah bagaimana caranya naik ke jantung dan ikut andil memompanya dalam detak yang sangat tidak beraturan. Aku semakin gusar apalagi menemukan jabatan tanganmu sedikit bergetar. Caramu melengos, ah pasti ada apa-apa di sana, di matamu. Sedangkan kita sama-sama tahu, ada rindu yang seharusnya terpecah dengan perbincangan panjang, gelak tawamu, membagi keluh-kesah hingga mereka-reka masa depan.

Oh Dik, membunuh waktu bersamamu bukan sebatas bercumbu menuntaskan nafsu, bukan sekadar membawamu kabur ke Kali Urang dan menelusuri lekuk tubuhmu yang sekarang hanya kau balut kaus V-neck dan celana tiga perempat. Caramu mengerutkan dahi, diam dan menatap tajam, serius berfikir, atau juga sedikit kemayu menyelipkan rokok menthol, mengebulkan asap dengan angkuh sebelum berkata-kata, lalu menyambung obrolan, dari Khatmandu hingga Karimun Jawa, Das Kapital hingga Pramoedya, inflasi, nilai tukar rupiah, hingga pelecehan seks perempuan-perempuan di Afrika, semuanya seolah tanpa muara. Mengalir terus, sederhana tapi penuh gairah. Semakin mengenalmu, semakin banyak kesempatan menyelusup ke ceruk-ceruk di mana pemikiranmu bertapa, aku semakin jatuh cinta. Tingkah manjamu yang tidak berlebihan, hobimu mengeratkan genggaman lalu mengelusnya lembut, atau pelukan hangatmu, aku hanya seperti selalu menemukan suara, “Tenanglah Mas, pulanglah ke mari kapanpun kau mau. Semua akan baik-baik saja.” Diantara jibunan tuntutan dunia, menemukan sore dan senyummu adalah garba menuju gua ketenangan tanpa terlalu banyak dentuman dan gesekan. Masa bodoh mereka di luar sana menyebutku terlampau terlena. “Bukankah cinta yang tulus sudah cukup, Mas?” katamu selalu meyakinkanku, setidaknya aku terlena oleh cinta yang tulus, toh nafsu hanya bumbu.

--- --- ---

Kita berjalan dalam diam, seperti dua orang yang tidak saling kenal. Aku membuntutimu, melangkah tergesa diantara orang-orang yang berjubel merburu suvenir. Kau tidak ingin bernostalgia sepertinya, sekadar mengangkat Nikon-mu dari kalungan. Lalu membidikkan lensa ke beberapa arah. Padahal katamu dulu Malioboro selalu cantik, menggoda untuk dipotret, auranya bak perempuan bergincu merah muda. Dulu kita sering hunting bersama bukan? Aku ketularan aliran street photography-mu, hingga murtad dari landscape. “Jalanan punya segalanya, Mas. Mau drama model apa saja, asal Mas jeli. Aliran yang paling mudah mengungkap banyak cerita.” katamu dulu. Kau yang mengajarkan bagaimana candid denagan POI yang akan tampak begitu menarik, setelan aperture, memilih lensa, hingga interaksi dengan obyek.

Aku baru sadar, kita sudah daritadi melewati Bringharjo. Kujajari langkahmu, “ Eh Dik, kita mau kemana?” Datar saja kau ucapkan, sebuah kedai donat premium di dalam Malioboro Mall. “Padahal aku kangen dawet yang di dalam Bringharjo, gimana kalau ke sana saja?” Langkahmu terhenti, nah, akhirnya bertemu matamu. “Tempat seramai itu Mas. Obrolan kita…” dari matamu aku tahu, kata-katamu tercekat di tenggorok, dicekat sesak yang sedari tadi menyumpal ulu hati. Kau membuang pandangan, artinya usahaku membuat kita tidak sekaku ini kau tolak mentah-mentah. Baiklah Dik, obrolan kita memang Dewa sore ini, terserah apa maunya akan membawa kita kemana selanjutnya, hanya obrolan. Ah, begini benar!
Kita berbelok ke Malioboro Mall, kotakan kaca besar di sebelah kanan pintu masuk, kedai yang tidak terlalu ramai sore ini. Sementara di luar gerimis mulai merintis, pendingin ruangan dan dingin hujan membekukanku, juga mungkin membuat bibirmu kelu. Aku memperhatikan caramu terdiam, menatap kosong pada rintik air di luar. Kau masih suka gerimis, caramu menatapnya seolah menginginkan menari di bawahnya. Bukankah kita pernah berlarian di bawah gerimis waktu gagal memotret senja di Ratu Boko? Kau kedinginan tapi sangat bahagia waktu itu. Lalu kita naik Trans Jogja menuju kontrakanmu. Sesekali kau kagumi caraku memotret kota dengan rintik gerimis pada dinding kaca bis. “Sendu,” ucapmu, lalu kusambung, “Ya, sendu seperti wajahmu.” Kau tergelak, tawamu lepas memamerkan deretan gigi rapi hasil behel dua tahun katamu. Oh Dik, bahagia memang milik kita waktu itu.

Sejak kapan di meja kita ada dua cangkir coklat panas dan tiga buah donat warna-warni? Aku terlalu larut dalam lamunan, mungkin kau juga. Sekarang kau seruput pelan coklat panasmu. Aku menunggu, tapi tidak tahu menunggu apa.

“Jadi…” trimakasih Dik, akhirnya kau mengawali.

“Jadi… aku…” semalam sudah kususun apa yang ingin aku katakana. Tapi kemana semua. Oh Dik, aku sebenarnya tahu, kau tahu apa yang akan kita bicarakan. Social mediaku telah gamblang menceritakan semuanya, kan?

“Foto-foto di Instagram-mu, Mas.”

“Iya, Dik. Sebenarnya sore ini aku ingin memberikan ini,” kuambil dari ransel lalu meletakkannya di meja. Adakah warna jingga di sana semakin menohok ulu hatimu? Aku juga tahu setelah gerimis kau menggilai senja yang jingga, Jangan kau gigit bibir bawahmu sekuat itu Dik, perih. Berhentilah, apa yang kau tahan, air mata? Toh matamu tetap berkaca-kaca. Matamu kau paksa tak mengalihkan pandangan, meski tanpa berniat menyentuh benda itu sama sekali.

“Aku hanya tiba-tiba lupa berekspresi, Mas.” Nafasmu sesak, kau ambil oksigen sepanjang yang kau kuat, “Mas..” emosimu tertahan, dahimu tiba-tiba bercucuran keringat, di ruangan sedingin ini dan Jogja yang gerimis? 
Aku menatap matamu. Pasti juga bisa kau baca apa yang ingin meluap dari lelakimu ini. Banyak sekali hal yang ingin kuutarakan, namun tak bisa Dik, aku tiba-tiba bodoh dan terbata, “Maafkan aku, Dik,” hanya itu yang mampu kukeluarkan, sangat lirih.

“Maafkan aku juga, tidak bisa berpura-pura memberimu doa, Mas. Sakit, Mas. Aku juga tidak bisa memberimu selamat. Maaf.”

Tuhan, rasanya seperti ada paku yang dipalu tepat di gendang telinga. Nyeri, ngilu, sakitnya semenyiksa ini. Aku hanya tampak begitu kejam, seperti menuli, tak punya hati. Oh Dik, ingin memelukmu dan menampung tangisanmu di bahuku. Kita pernah mengobrolkan semua ini sebelumnya. Pernah juga saling meyakinkankan bahwa kita tidak akan serapuh ini ketika semua ini terjadi.

“Memang pada akhirnya harus begini, Mas. Sudah, jangan khawatirkan aku.”

Jemariku bergerak hendak menggenggammu, kau menarik diri. “Dik, aku selalu mencintaimu,” kataku.

“Dunia yang tidak pernah mencintai kita,” nadamu lelah dan pasrah. Kali ini benar-benar jatuh air matamu, tidak peduli beberapa pasang mata memperhatikan kita. “Kenapa saling mencintai saja tidak pernah cukup, Mas? Aku mencintaimu bukan sebatas kamu top dan aku bot.” Aku juga Dik, aku pakai hati denganmu. Sayang aku tetap tak bisa menjawab pertanyaan, “ Kenapa aku harus lagi-lagi kehilangan?”

Seharusnya aku membawamu lari ke Belanda, hidup tentram dan sama-sama mewujudkan mimpi-mimpi kita. Seharusnya aku tidak memilih pergi. Lagi-lagi kau harus bertemu pecundang yang tak berani mempertaruhkan diri. Masih kuingat getir suaramu di suatu sore gerimis di Parang Tritis. “Kenapa dunia, manusia-manusia itu, harus mengendalikan segalanya? Mengendalikan cara berfikir, mengendalikan persepsi, mengendalikan mana yang benar dan yang salah. Mas, cintapun harus dikendalikan mereka? Cinta kan hanya aku dan kamu yang tahu, yang menjalani. Kenapa harus tunduk pada kendali mereka, persepsi mereka, benar salah mereka?” Aku menyimpan kata-kata itu, termasuk ekspresi marah dan kecewamu yang tak tahu hendak kau luapkan pada siapa.

Menyembunyikan cinta kita tidak pernah semudah menyembunyikan vigel di dalam sneakers usang di pojok rumahku. Kalau sampai ketahuan ibu, aku hanya akan bilang itu minyak bulus penumbuh rambut. Semuanya penuh konsekuensi, dan aku lelakimu yang pecundang ini tak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan. Aku memilih memaksa diri tunduk pada persepsi mereka, benar-salah mereka.

“Aku harus pergi mas. Terimakasih untuk semuanya.” Suaramu masih sesenggukan, dalam sekali tangismu sore ini. Nafasmu teresengal-sengal, aku ingin menahan kepulanganmu, menarik pergelanganmu. Tapi aku juga tidak tahu, jika terus di sini aku bisa memperimu apa. Oh Dik, lelakimu ini hanya mampu memandang kau berjalan ke luar kedai yang mulai ramai lalu tertelan kerumunan dan hilang. Sementara orang-orang di sekitar meja bertanya-tanya melalui pandangan mereka.

Aku menyesap coklat yang tadi kau pesankan, terlalu pahit. Kubalik benda jingga yang telah menamparmu meski tanpa bergerak sedikitpun. Aku membaca di sampulnya, ada namaku Satriya Astapraja, dan nama calon istriku, Tulip Sasmita Prihantari. Ada pula foto kami, aku menggendongnya di punggungku dengan latar belakang jalanan Jakarta waktu senja. Foto yang tadi kau sebut ada di akun Instagram-ku dengan hastag ‪#‎prewed‬. Dan dipojok bawah itu, namamu, Diki Rahadian Soetopo. Aku sendiri yang mengetik huruf-huruf itu, mencetaknya diatas label nama, dan baru tadi di atas Trans Jogja kutempel di sana.

Aku melihat keluar, masih gerimis. Semoga kau sedang menari di bawahnya, menyembuhkan luka. Semoga setiap luka memang ada obatnya. Semoga Tuhan berhenti menggodamu dengan kebahagiaan semu. Oh Dik!

--- selesai ---

Thursday, January 14, 2016

Sinestesia - Efek Rumah Kaca

Sekali lagi, saya ucap terima kasih pada efek rumah kaca yang telah berani mengunggah Sinestesia Efek rumah kaca untuk diunduh gratis. Banyak hal yang ingin digali pada album ini. Cerita dibalik sinestesia yang didedikasikan untuk Adrian, yang telah menemani Efek Rumah Kaca.

Baca juga : Belajar dari Sinestesia Efek Rumah Kaca

Saya membagikan ini : karena Efek Rumah Kaca sengaja share di ripstore, dan membolehkan untuk dibagikan ulang. Maka silakan download jika memang ini mendengarkan.

Kali pertama mereka mengeluarkan single Pasar Bisa Diciptakan,  - yang menjadi keseluruhan Biru - kemudian Putih yang bercerita Ada Dan Tiada. Cerita suatu keadaan kematian dan kelahiran.

Baca juga : Putih

Maka jika berkenan silakan download.

http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/01/unduh-sinestesia-efek-rumah-kaca.html

Sunday, December 27, 2015

Bertemu @eae18 di Tangerang

Sebelum menceritakan pertemuan itu, alangkah baiknya saya ceritakan dahulu mengapa saya follow beliau.

Kalau tak salah ingat, pertengahan tahun 2013, saya disarankan kawan untuk follow beliau. Teman saya, sebut saja peyeq, menganjurkan : "untuk perindah timeline twittermu coba follow dia, dia banyak cerita banyak tentang "kejujuran" di media". Saran itu saya turuti.

Lama menyimak twitnya, saya mencoba menanyakan facebook @eae18 (selanjutnya nanti saya tulis dengan panggilan "Om"), dan beliau memberikan alamat facebooknya. Maka januari 2014, kami resmi berteman di facebook, dan belum difollback di twitter.

Memang benar kata Peyeq, om @eae18 banyak menceritakan hal tak lazim media-media di Indonesia. Bahkan pernah beliau mengungkapkan sisi lain Media Indonesia pada tahun 2012, yang berujung mundurnya beliau di media tersebut.

Lama mengikuti di twitter, hal tak kusangka akhirnya beliau secara sengaja follback pada pertengahan tahun 2015. Kultwit beliau memang menyejukan. Bahkan ketika membaca :"menikahimu, cara membesuk cahayaMu". Air mata saya menetes seperti hujan di bulan januari.

Maklum, saya memang tak pernah berpacaran, bahkan disebut jomblo taat. Taat untuk tidak berpacaran, maksudku. ☺☺☺😀😀😀😀

Pernah suatu kali dia menulis sebuah twit : "Aku salat karena aku sesat". Maka saya memunculkan ide untuk membuat kaos, dan sempat tertulis disini.

Karena saya ingin belajar lebih, saya menginginkan bertemu secara langsung dengan Om @eae18. Bagi saya, bertemu secara nyata dengan orang di media sosial, cara bersilaturahmi yang baik. Maka saya utarakan niat tersebut pada bulan oktober 2015. Namun karena kondisi keuanganku tak cukup, saya mengurungkan niat ketemu.

Pertengahan bulan november, sayapun akhirnya menentukan tanggal pertemuan. Berkomunikasi melalui twitter makin intens dan saya utarakan ingin bertemu pada 21 desember 2015, di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang.

Bertemu di Alam Sutera

Maka berbekal tiket kereta api yang berangkat tanggal 19 Desember 2015, saya ke Jakarta. Niat sudah bulat. Bertemu kawan-kawan jakarta, dan menemui Om @eae18. Selama perjalanan 7 jam, Semarang-Jakarta, menggunakan kereta, saya menyempatkan menghubungi kawan-kawan maupun saudara untuk menginap. Beberapa kawan belum memberi jawaban, atas kesediaannya. Namun saya yakin bakal ada tempat untuk menginap. (Cerita perjalanan di kereta api tanggal 19 hingga 20 desember bakal saya ceritakan di blog ini dengan judul lain)

Senin, 21 desember. Saya menginap di Sunter. Tempat kakak sepupu saya, bernama nazal. Pada hari itu kebetulan mengajak menemui kliennya di sekitaran Bundaran HI. Kami bangun pagi, lalu bergegas, dan berangkat. Selama menemui klien, nazal yang kebetulan followers Om @eae18, juga punya keinginan bertemu beliau. Tak lupa saya mengontak Om @eae18 melalui Whatsapp, untuk bertemu di UIN, sekitar jam 2 siang.

Setelah selesai bertemu klien, kami mampir di rumah pakdhe di Sunter. Di rumah pakdhe bertemu saudara sepupuku lain, bernama wawan. Niat kami mampir untuk menanyakan pekerjaan. Eh gak disangka mas wawan juga ingin pergi ke tempat kerjanya di Alam Sutera, Tangerang. "Daripada kami bengong di kost, dan bakal bosan." usul Nazal. Dan mas wawanpun memberiku saran : "jarak antara Alam Sutera ke UIN Syarif Hidayatullah sekitar 1 jam. Ayo kalau mau ikut sekalian."

Perjalanan roda dua dari Sunter, Jakarta utara hingga Alam Sutera, Tangerang Selatan kurang lebih dua jam. Kamipun menuju ke United Bike, Alam Sutera, tempat mas wawan akan melakukan pekerjaannya. Kebetulan mereka sering mengerjakan proyek pemasangan kaca dan aluminium di beberapa tempat di jabodetabek. Dan hari ini, dia untuk pemasangannya.

Di parkiran ini, kami menunggu barang yang akan dipasang. Sembari bercakap-cakap, saya pun mengontak Om @eae18, menanyakan memastikan tempat ketemuan. Antara UIN atau rumah beliau. Tak kusangka beliau malah menyarankan saya untuk ke rumahnya. Karena sudah dekat dengan tempat tinggal beliau.

Sekitar pukul 13.49 Om @eae18 menelpon saya melalui Whatsapp. Karena sinyal handphone jelek, suara agak kurang jelas. Aku cek chatting di Whatsapp, eh malah beliau mengatakan sudah diparkiran.

Sayapun beranjak dari taman dan mencari beliau di parkiran. Memastikan kami berada di tempat ini. Dari arah masuk parkiran kulihat seseorang mengendarai motor vixion merah, dengan jaket parasit hitam, dan menghampiriku. Sayapun bertemu, dan menyalami. "Kamu sama siapa disini?" sapaan pertama beliau. "Sama saudara dan teman" jawabku. "Mau mampir ke rumah?" tanya beliau lagi. "Sebentar saya pamit dulu sama saudara."

Saya dan nazal, mengikuti kendaraan yang dibawa Om @eae18 ke arah dekat tol. Kami lalu menuju jalanan pasar, dan menuju perkampungannya. Saat hampir sampai ke rumahnya, ada mobil berhenti di tengah jalan satu-satunya yang akan kami masuki. Om @eae18 masuk dan menemui sopir dan mengatakan sesuatu. Mobil tersebutpun maju dan minggir.

Pintu gerbang setinggi satu setengah meter, dibuka Om @eae18. Kami masuk ke rumah yang mempunyai halaman cukup untuk memarkirkan 4 mobil, dan beberapa motor. Rumah semi letter L, dan halaman yang melengkapi bentuk persegi. Kami menuju teras rumah yang terdapat meja dan kursi. Om @eae18 mempersilakan kami duduk. Kulihat halaman rumah terdapat hijaunya jenis dedaunan dari berbagai macam pohon yang sangat sejuk dipandang ketika sore tiba.

Om @eae18 mengawali obrolan : "kalian para jomblo kok yo betah ya?" . Kami diam sejenak. Berbagai alibi kuutarakan mengapa betah sendiri. Nazal menimpali dan bercerita. Cerita yang menurutku sangat ditutup rapat, terbuka saat itu. Saya sempat tercengang ketika dia bicara hal pribadi itu. Betah jomblo karena janji ibu dan keluarganya yang dibayar lunas.

Lalu bercerita saat pengambilan raport anaknya. Persis seperti status facebooknya tempo lalu. Kemarahan beliau, mengetahui seorang guru melakukan "Orba". Asyik bercerita, kami ditawari kopi. Dipanggillah Osa dan raffi. Osa, anak pertamanya yang saat itu memakai kaos chelsea keluar dan menyalami kami. Raffi anak kedua beliau juga keluar dan diminta ke warung untuk beli kopi. Sambil menunjukkan Osa, Om @eae18 bercerita : "di kelas cuma Osa, cowok yang remedial. Padahal pernah saya kirim ke pare untuk belajar bahasa inggris. Kok bisa bisanya remedial? Ada yang gak bener nih dengan gurunya." sayapun manggut-manggut. "Tadi, di ruang guru saya labrak tuh har gurunya. Saya gebrak meja gurunya. Dan saya minta pertanggungjawaban, mengapa anak saya bisa diremedial." ucapnya kesal. "Sekarang saya tes, ibu atau anak saya yang pintar berbahasa inggris. Biar seluruh guru diruangan ini tahu. Siapa yang pintar." lanjutnya.

Obrolan pertama ini mengalir. Kami bahas sedikit tentang pendidikan. Bagaimana peran murid dan guru. Ketika guru menjadi digugu lan ditiru melakukan penggebirian terhadap murid jelas ini tindakan orba. Hanya karena tak suka dengan murid, guru menganulir nilai mata pelajaran saat UAS, jelas ini orba.

Raffi pulang. Om @eae18 pamit ke dalam untuk buat kopi. Saya dan Nazal mengomentari sekitar halaman rumah ini. Begitu juga, Kolam ikan yang kotor karena lumut, plastik, dan dedaunan.

Sambil berbisik Nazal memintaku membeli rokok. Sayapun bergegas ke warung. Sekembalinya dari warung. Kulihat ada dua anak seusia SMA berdiri didepan rumahnya. Sayapun masuk tanpa mengajak mereka. Karena tak tahu maksud mereka berdiri di depan gerbang itu.

Saya kembali ke kursi, dan duduk. Beberapa menit kemudian kopipun diantar ke meja kami. Kulihat dua anak tadi juga masuk dan menyalami kami. Om @eae18 membuka omongan tentang sekolah mereka. Dan bercerita kembali seperti yang saya tulis diatas mengenai pendidikan. Osa, kemudian dipanggil dan menyalami mereka. Itu cara menyapa tamu.

Mereka berdua adalah murid ekstrakurikuler jurnalistik di salah satu MAN di Tangerang. Kedatangannya juga seperti saya, silaturahmi. Itu kudengar dari percakapan mereka pada om @eae18. Keduanya sedikit gelisah, karena menunggu kawan lain yang belum datang. Adzan ashar terdengar sayup bersamaan angin yang sepoi-sepoi diantara obrolan kami.

Keduanya pamit untuk beli minum sembari menunggu kawan lain.

Kami saling mengutarakan banyak hal yang terjadi di twitter, dunia nyata jakarta, hingga beberapa tokoh-tokoh yang dia kenali secara dekat. Kami sangat terbuka bercerita. Kondisi dibalik layar para tokoh, dan lainnya.

Anak SMA tadi kembali dengan membawa lima cup es. Beberapa menit kemudian 2 teman dari anak SMA itu datang. Kami duduk bersama di terasnya. Saling menyalami dan bercerita. Lagi-lagi cerita bercerita tentang pendidikan. Keadaan sekolah dan tentang guru yang dibentak. Saya mendengarkan dengan seksama. Salah satu dari mereka menyampaikan bahwa guru itu, tidak kompeten dalam mengajar. Saat menerangkan, menurut mereka, seperti bergumam dan sulit dipahami.

Ditengah-tengah obrolan, kami kedatangan tamu lain. Seorang lelaki berpakai koko, sarung, peci dan tas kecil. Silaturahmi ini makin ramai. Kawan-kawan saling bercerita, mendengar, dan menjawab seperti diskusi.

Handphone om @eae18 berdering. Dan diangkat. Panggilan telepon dari sang istri minta dijemput. Kami lalu ditinggal om @eae18 untuk menunggu istrinya, disalah satu tempat pemberhentian bus.

Kami mengalir bercengkeraman. Sayangnya anak-anak SMA lebih memilih menghindar, untuk membicarakan hal lain. Mereka memilih di duduk halaman yang disulap jadi seperti bangku taman, di bawah pohon.

Lelaki yang berbaju koko lengkap itu baru tahu kalau bernama miftah. Kami bicara banyak hal : tanaman, peternakan, hingga pekerjaan. Nazal meninggalkan kartu namanya ke miftah.

Saat maghrib. Om @eae18 kembali bersama istrinya. Kami dikenalkan ke istri beliau. Sang istripun menyalami kami. Tak lupa om @eae18 membawa gorengan.

Sejenak om @eae18 masuk ke rumah. Setelah itu kembali bercengkrama. Satu persatu dari kami memohon izin untuk salat.

Om @eae18 mendekatiku dan mengatakan hal yang tak kuduga sama sekali. Baru pertama kali bertemu beliau mengatakan sisi lainku. Sebagai lelaki normal dan belum beristri, penyaluran hasratku ya di kamar mandi. Lalu beliau memberiku saran yang baik. Sangat hati-hati beliau mengutarakan hal itu.

Siswi-siswi SMA itu undur diri dan pamit pulang. Karena waktu memang memungkinkan mereka pulang larut.

Miftah sebenarnya juga mau pamit pulang. Takut tak ada angkutan umum menuju rumahnya. Kami lalu diajak makan ke warung makan padang, sembari mengantar miftah ke tempat pemberhentian bus. Saat makan wawan menelpon. Menanyakan kemana kami.

Selesai makan, kami menemui wawan ditempat yang disebutkan. Miftahpun kami tinggal di warung makan tersebut. Kami pamitan, karena arah yang dituju miftah seberang jalan.

Lalu kami menemui wawan. Kami diberi kabar tempat dia  menunggui kami. Dia mengatakan salah satu tempat dekat IKEA. Kami menjemput dan mengajak ke rumah om @eae18. Lampu-lampu di sekitar Alam Sutera Tangerang memancarkan keindahan sudut-sudut kota ini.

Kami kembali ke rumah om @eae18. Kami duduk kembali di bangku dan melanjutkan obrolan yang belum kami ketahui.

Hal-hal tentang agama : shalat, tasawuf, hingga batiniah. Dikupas sedikit demi sedikit. Kami sebagai tamu senang mendapat wawasan baru tentang agama.

Kami diberi wejangan sangat menarik malam itu. Ketaatan seorang anak ke ibunya. Beliau : "kalau kamu ingin sukses, muliakan ibumu." sambil mengutip kisah Uwais Alqarni, dan hadits nabi tentang ibu. "Kamu kalau ingin memuliakan ibu, caranya: kamu pulang temui ibumu, terus cuci kaki beliau, minum air yang kamu buat cuci kaki ibu. Insya Allah akan terkabul semua doamu, urusanmu." air mataku tiba-tiba menetes, mendengar uraiannya tentang ibu. Saya makin ingat ibu, yang kadang kubantah ucapannya. Saya akui, saya bukan lelaki yang belum bisa membalas kebaikan ibu.

Makin intens dan perlahan bercerita alasanku belum ingin menikah. Dan saya menganalogi pengalaman kawan sekitar, yang gagal di pernikahan. Cerita gagal pernikahan kuungkap. Juga hal lain di keseharian kami.

Jam di handphone kami menunjuk pukul 12.56. Dan pamit.

http://goo.gl/fb/sgy9v0

Belajar dari Sinestesia Efek Rumah Kaca

Jumat, 18 desember 2015, pukul 00.00 WIB, efek rumah kaca secara resmi merilis album ketiga. Album lanjutan selama 7 tahun vakum. Efek rumah kaca mengumumkan ke publik secara online, album yang mereka rilis. Melalui I-tunes, dezeer dan beberapa media penjualan musik digital online, musik mereka boleh diluncurkan saat itu juga.

Bagi saya yang yang tak bisa membeli Digital, pilihan lain adalah menunggu rilis albumnya. Album bentuk CD sebenarnya sudah disiapkan demajors.

Ada hal menarik ketika mendengar nama sinestesia. Menurut KBBI :
si·nes·te·sia /sinéstésia/ n Ling metafora berupa ungkapan yg bersangkutan dng indra yg dipakai untuk objek atau konsep tertentu, biasanya disangkutkan dng indra lain. bisa dilihat http://goo.gl/Gq4kf0

Bagi pendengar setia efek rumah kaca, pasti pernah dengar Sebelah Mata yang diciptakan Adrian Yunan, sang basis. Dalam liriknya, sang basis bercerita pengalaman beliau mengalami kebutaan yang dia alami karena retinus... (Saya lupa). Pada sebelah mata adrian mendefinisikan penyakitnya sebagai diabetes.

Ada cerita sebelum rilis album ini, beberapa materi lagu telah mereka siapkan. Saat proses perekaman satu per satu lagu, Cholil dkk, memberikan lagu-lagu tersebut untuk diperdengarkan Adrian, sang bassis. Secara tidak langsung, Adrian merespon lagu-lagu itu dengan warna. Putih salah satunya, terdiri dari 2 lirik : Ada dan Tiada, yang bercerita pengalaman hidup kawan-kawan di balik efek rumah kaca mampu didefinisikan dengan warna putih, sebagai simbol kedamaian, suci.

Maka wajar jika masing-masing berjudul "Merah", "Biru", "Jingga", "Hijau", "Putih", dan "Kuning", memang didedikasikan pada Adrian.

Pemilihan warna-warna tersebut menurut Cholil kepada Tribun News dilakukan oleh Adrian yang hingga saat ini belum dapat menemani mereka di atas panggung.

Friday, November 20, 2015

Rokok dan Marketing Akhir Tahun 2015

Rokok sebagaimana diketahui merupakan aset bangsa. Dari rokok, perekonomian Indonesia mampu ditopang. Contoh riil rokok mampu menopang perekonomian dapat dilihat dalam bungkusnya. Pada label cukai disebutkan bahwa SKM 2015 adalah Rp. 415/batang.

Dari sisi itulah rokok menyumbang pajak sekitar 35% per batangnya.

Lalu dalam bidang marketing, rokok justru saling bersaing. Para salesman, berlomba-lomba "membunuh" satu sama lain.

Bagaimana mereka bersaing?

Saya ambil contoh di sekitar sampangan Semarang, beberapa warung mempunyai trade mark sendiri. Nah dari situ mereka bermain. Aturan diterapkan. Rokok merk A, tak boleh masuk dalam warung yang punya trade mark rokok B. Begitu sebaliknya.

Akhir tahun, memang digunakan perhitungan tutup tahun. Lebih umum pabrik menggunakan kuartal per 3 bulan, per 6 bulan, atau per 4 bulan. Perhitungan itu digunakan untuk statistik penjualan yang berjalan dalam setahun.

Penjualan yang harusnya dipatok memenuhi target dalam setahun. Namun saat target tak terpenuhi, berbagai cara dipakai untuk mendongkrak dagangan. Promosi besar-besaran, jalan terakhirnya. Sales menerapkan aturan : hadiah berupa alat elektronik jika rokok merk lain tidak dijual di warung yang dikunjungi, setiap pembelian rokok di agen/pasar dilakukan pengecekan nota agar rokok merk lain terdeteksi pembeliannya.

Langkah itu mampu menarik minat warung untuk ikut. Namun perlu diingat bahwa cara itu mematikan dagangan rokok merek lain.

Cerdasnya pemilik warung ialah tetap menjual rokok merek lain dengan terselubung.

Thursday, November 19, 2015

Zen - Tak Harus Sama

*Cobalah tuk pahami arti
Perbedaan ini
Tak selalu kita harus sama
Menjalani semua ini
Kita memang berbeda

**Oh coba pikir sejenak
Tak harus sama
Jalani saja
Kita pasti bisa hadapi

Back to * dan **

Oh coba renungkan lagi
Tak harus sama
Jalani saja
Kita pasti bisa hadapi

Oh.....
Cara berpikir kita tak harus sama... 4x
Kita memang berbeda.
Cobalah tuk pahami arti
Perbedaan ini


Melalui akun facebook mas Helmy Prastowo Budi yang melintasi berandaku, beliau memberikan #freesongdelivery lagu lamanya saat di Zen. Mungkin bagi yang belum tahu ZEN, wajar karena band tersebut telah lama tak mengudara seperti pada umumnya.
Band ZEN itu merupakan alumni Dream Band TV7 tahun 2005.

Saya tak ingin larut ke dalam band tersebut, karena saat akan menuliskan makna dibalik lirik ini. Melalui kontak WA, saya menanyakan langsung pada empunya lagu ini. Helmy Prastowo Budi.

Beranda facebook helmy


Lagu yang masuk ke emailku.

Lirik yang ditulis beliau tahun 2008 dan direkam di Home studio. Dan diaransemen oleh ZEN ini bercerita banyak hal. 
Jika ditelaah lebih dalam, beliau mencoba memberi pemahaman sebuah perbedaan. Sikap dan cara berpikir, harus dipahami lebih. Memang setiap orang berbeda. Tiap individu, mempunyai cara menjalani hidup dengan berbeda. Dari situ tiap individu mampu berpikir dewasa.

Pada bait 2 dan 3, disebut dua kali bahwa kita harus Jalani saja//Kita pasti bisa hadapi//.

Jika ingin mendapat #freesongdelivery bisa tulis email di kolom komentar. 

Thanks mas Helmy untuk #freesongdelivery yang kesekian kalinya. 

Monday, November 16, 2015

Frau - Sepasang Kekasih Bercinta di Luar Angkasa

Di rentang waktu yang berjejal dan memburai, kau berikan,
Sepasang tanganmu terbuka dan membiru, enggan
Di gigir yang curam dan dunia yang tertinggal, gelap membeku
Sungguh, peta melesap dan udara yang terbakar jauh

*) Kita adalah sepasang kekasih yang pertama bercinta di luar angkasa

Seperti takkan pernah pulang (yang menghilang) kau membias di udara dan terhempaskan cahaya
Seperti takkan pernah pulang, ketuk langkahmu
menarilah di jauh permukaan

Di rentang waktu yang berjejal dan memburai, kau berikan,
Sepasang tanganmu terbuka dan membiru, enggan

*)
Seperti takkan pernah pulang (yang menghilang) kau membias di udara dan terhempaskan cahaya
Seperti takkan pernah pulang, ketuk langkahmu
menarilah di jauh permukaan

Jalan pulang yang menghilang, tertulis dan menghilang,
karena kita, sebab kita, telah bercinta di luar angkasa

Monday, November 9, 2015

Dibalik Lirik "Selamat Datang" Sheila on 7

Lirik Selamat Datang 


ini lagumu yang kutuliskan
untuk temani dimanapun kau
tetap semangat jadi dewasa
seperti yang kamu impikan
jangan mengeluh jadilah tangguh
seperti yang kau impikan
dimanapun kau berada
ho…o bahagialah
dimanapun kau berada
ho…o selamat datang
tuhan tak akan meninggalkanmu
atas yakinmu sejauh ini
jangan mengeluh jadilah tangguh
seperti yang kamu impikan
dimanapun kau berada
ho…o bahagialah
dimanapun kau berada
ho…o selamat datang
For all the good times
And all the bad times
I'll follow you with this song
I'll follow you

Foto by @abdee507 

Bagi yang punya album ini. Pasti tak asing dengan lirik di atas. Lagu pembuka di album Musim yang baik ini, mempunyai banyak makna. Diusia yang menginjak 20 tahun menunjukkan Semakin dewasanya Sheila on 7. Melalui lirik Selamat Datang ini, Duta memberi contoh pada dua sisi. Sisi dia sebagai bapak untuk anak-anaknya, dan anak dari bapaknya.

Dia memberikan optimistik kepada anaknya melalui lirik "jangan mengeluh jadilah tangguh, seperti yang kau impikan" yang didapat dari sosok ayahnya. Komunikasi yang baik dari dua generasi ini menunjukkan sifat asli penulis lirik. Yang saya ketahui, Duta memanglah bijak ketika memutuskan. Dan wajar jika nanti mengharapkan sang anak, kelak menirunya.

Lirik sesudahnya ialah apa yang diharap oleh sang ayah. "Dimanapun kau berada, berbahagialah. Dimanapun kau berada, selamat datang" merupakan wujud doa sang ayah padanya.

Ada hal yang lebih menarik dalam lirik " Selamat Datang" ini. Seperti : Tuhan tak akan meninggalkanmu//atas yakinmu sejauh ini// lirik ini kalau boleh, kawan telisik dalam Alquran atau Alkitab (cek kitab masing masing ya?, hehehe), bakal menemukan banyak hal tersurat di dalamnya. Dugaanku, Duta memang sengaja menyisipkan ayat-ayat tersebut secara sengaja. Ringan namun mengenai. Dan kebetulan lagu ini, easy listening.


Demikian uraian singkatku.
@nahar_gostu

Sunday, November 8, 2015

Para Kekasih Iblis

Para Kekasih Iblis
Oleh Emha Ainun Nadjib • 13 Oktober 2012

Semakin banyak orang tahu bahwa dunia ini bergerak menuju “Indonesia harus terus hidup, tapi jangan sampai besar dan kuat. Negara Indonesia harus lemah, bangsa Indonesia harus kerdil”.
Maka orasi seorang tokoh tua di sebuah “rapat gelap” ini mungkin justru merupakan ungkapan cinta yang mendalam dan pembelaan kepada Indonesia:
“Kita bangsa Indonesia jangan sampai berhenti berjuang sebelum Indonesia benar-benar total kehilangan Indonesianya. UUD perlu kita amandemen terus sampai berapa kalipun sampai kelak nasionalisme dan kedaulatan keIndonesiaan terkikis habis”.
“Setiap bikin undang-undang baru, peraturan-peraturan baru, di lembaga kenegaraan sebelah manapun, di tingkat paling atas sampai bawah, sebaiknya dipastikan menuju proyek besar sejarah de-nasionalisasi Indonesia hingga titik paling nadir”.

“Demikian juga policy dan penanganan segala bidang: perdagangan, pertanian, perpajakan, pendidikan, kebudayaan, sampaipun cara berpikir dan selera makan, hendaknya jangan memanjakan ke-Indonesiaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang dengan ketangguhannya siap ditimpa dan memikul ujian-ujian sangat berat yang tak mungkin dipanggul oleh bangsa-bangsa lain”.

“Pemimpin bangsa berikutnya haruslah lebih buruk. Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali. Kita memerlukan tempo yang lebih tinggi untuk menyelenggarakan kehancuran, kebobrokan dan kebusukan — bangsa kita amat sangat tahan derita, sanggup hidup nyaman dalam kebusukan, bahkan mampu hidup sebagai kebusukan itu sendiri”.

“Dialektika Penghancuran Nasional harus dipacu habis. Kokohkan setiap pemerintahan sebagai perusahaan yang memanipulasi dan mengeksploitasi rakyatnya. Proyek penjualan tanah air dengan segala kekayaannya harus dijadikan ideologi utama”.

Pasti itu bukan pernyataan politik. Bukan anjuran sejarah. Itu jeritan orang patah hati.
Kalau Negara rusak, pemerintahan penuh dusta, sistem bobrok dan prinsip nilai jungkir-balik: yang terutama menangis adalah “orang”. Adalah “manusia”. Adapun Negara, pemerintah, sistem, nilai, tak bisa menangis, tak bisa bersedih. Juga tak menanggung apa-apa. Yang menanggung duka derita adalah manusia.

Jadi tulisan ini tak lebih hanyalah tegur sapa dengan sesama manusia, dengan derita hatinya, tangisnya, sepi dan bisunya.
Dan apa boleh buat, kalau menyapa manusia, tidak mungkin dilakukan tanpa menyapa juga pihak yang bikin manusia: Tuhan. Kemudian juga Iblis, “hulu” derita ummat manusia.
Iblis berkata : “Tahukan engkau, Muhammad, aku adalah asal usul dusta. Aku adalah makhluk pertama yang berdusta. Para pendusta di bumi adalah sahabatku. Dan mereka yang bersumpah kemudian mendustakan sumpah itu, mereka adalah kekasihku”.

Kurang jelaskah pemandangan wajah Indonesia sekarang ini di kalimat Iblis itu? Kurang tampakkah, sosok pemerintahan Indonesia, tradisi mental banyak pejabatnya, pengkhianatan terhadap amanat kerakyatannya, juga manipulasi kebijakan yang sangat tidak bijak — pada pernyataan Iblis itu?

Dan, pen “citra” an, apakah gerangan ia kalau bukan dusta? Siapakah yang memamerkan wajahnya, menyorong punggungnya, menyodorkan dirinya untuk menjadi pemimpin, selain sahabat dan kekasih Iblis?

Iblis tidak berjarak dengan diri kita, dengan karakter budaya, politik dan pasar sejarah kita. Malah Tuhan yang jaraknya cenderung semakin menjauh dari kita, kecuali pas kita perlukan untuk memperoleh keuntungan atau mentopengi muka.

Akan tetapi dalam kehidupan kita Iblis bukan fakta. Ia hanya simbol. Idiom. Icon. Hanya abastraksi untuk menuding “kambing hitam”. Atau Tuhan kita perlukan untuk kapitalisasi karier, bisnis pendidikan, usaha dagang sedekah dan industri zakat, kostum religi perbankan dan bermacam-macam lagi dusta liberal penyelenggaraan kapitalisme kita.
Tuhan juga makin jadi “dongeng”. Segera Ia akan masuk daftar dongeng sesudah Malaikat dan dan Iblis. Peta mitos. Khayalan tentang suatu pemahaman yang disepakati istilahnya: Iblis, Setan, Dajjal, sebagaimana abstraksi kata Bajingan, Bangsat, Dancuk, Anjing. Sebab pada makian “Anjing!” yang dimaksud bukan benar-benar anjing. Anjing adalah binatang yang baik, tidak pernah berdosa, tidak pernah berbuat jahat dan tidak ada statemen Tuhan yang menyatakan bahwa anjing masuk neraka. Bahkan dalam faham pewayangan malah Puntadewa atau Prabu Dharmakusuma yang hidupnya sangat ikhlas dan sumeleh, tidak bisa naik ke langit yang lebih tinggi sementara anjingnya melaju ke sana.
Iblis dipahami sebagai simbol, tidak sebagai fakta. Itupun wilayah berlakunya simbolisasi Iblis tidak dipetakan secara memadai. Iblis diidentifikasi sebagai “idiom” untuk menyebut segala jenis keburukan dan kejahatan manusia — dan itu tidak sepenuhnya benar. Sedangkan “arupadatu” di Borobudur pun fakta, tak hanya “rupa datu” yang tampak oleh mata, yang tergolong “Ilmu Katon”: pemahaman tentang segala sesuatu yang bisa dilihat dengan mata. Iblis sendiri tidak sepenuhnya tinggal di wilayah “arupadatu”. Ia sangat faktual di “rupadatu”, sebab ia berada pada syariat utama kehidupan manusia, yakni darah yang mengalir di dalam tubuhnya.
“Kamu Muhammad”, kata Iblis suatu hari, “tak akan bisa berbahagia dengan ummatmu, karena aku bisa memasuki darah mereka tanpa mereka bisa menemukanku”. Iblis melanjutkan, “aku minta kepada Allah agar menganugerahiku kemampuan untuk mengalir di dalam darah manusia, dan Allah menjawab Silahkan!”.
Sebentar. Yang menyuruh Iblis datang ke Muhammad adalah Tuhan sendiri. Yang disuruh itu lazimnya adalah anak buah. Dan kalau musuh tidak pada tempatnya menyuruh musuh. Allah menginstruksikan agar Iblis tidak berdusta kepada Muhammad, menjawab pertanyaan dengan jujur, serta membuka semua rahasia tugasnya dari Allah di medan kehidupan manusia.
Coba ingat kata-kata Iblis “Akulah makhluk pertama yang berdusta”. Fakta dusta Iblis yang pertama adalah ia tidak mau bersujud kepada Adam. Penolakan untuk menghormati manusia ini parallel dengan pernyataan semua Malaikat kepada Tuhan: “Kenapa Engkau ciptakan manusia, yang kerjanya merusak bumi dan menumpahkan darah”. Andai di-kalimat-kan, Iblis meneruskan: “Maka aku menolak bersujud kepada Adam”.
Kemudian Allah mengizinkan Iblis yang meminta “tangguh waktu” sampai hari Kiamat, untuk kelak membuktikan bahwa setelah menjalani sekian peradaban, manusia terbukti tidak punya kelayakan untuk dihormati atau “disembah” oleh Iblis dan para Malaikat. Dan Iblis hari ini tersenyum-senyum: tak perlu nunggu sampai Kiamat, datang saja ke Indonesia tanggal berapa bulan apa saja untuk menemukan bahwa penolakan bersujud oleh Iblis itu pada hakekatnya bukan dusta.
Jadi, siapa yang lebih kompatibel dengan neraka: kita atau Iblis? Ketika ada orang berbuat jahat, kita maki “Dasar Iblis!”, secara idiomatik makian itu tidak faktual. Ketika 70.000 anak-anak Iblis berdebat, lantas salah satu dari mereka memaki “Dasar manusia!”, itu bisa jadi itu malah benar dan jujur.
Kayaknya salah satu kesalahan manusia yang paling serius adalah memanipulasi Iblis. Padahal seluruh keburukan yang kita ludahkan itu bukan bikinan Iblis, melainkan produk keputusan kita sendiri.
“Aku tidak diberi kemampuan oleh Allah untuk menyesatkan manusia”, kata Iblis lagi kepada Muhammad, “Aku hanya membisiki dan menggoda. Kalau aku dikasih kuasa untuk menyesatkan manusia, maka tak akan tersisa satu orangpun yang menjadi pengikutmu. Sebagaimana engkau Muhammad, tak ada kemampuanmu untuk memberi hidayah kepada manusia. Engkau hanya berhak dan mampu menyampaikan, tetapi tak bisa mengubah hati manusia. Sebab kalau kau dianugerahi kesanggupan untuk memberi hidayah, tak akan ada satu orangpun yang menjadi pengikutku”.
Begitu banyak — mengacu ke Borobudur — fakta “rupadatu” pada kehidupan manusia yang mata mereka tak melihatnya. Udara yang ia hirup, suaranya sendiri, bahkan mata tidak mampu melihat mata, paling jauh ia melihat bayangannya di cermin, tapi bukan diri mata itu sendiri. Jangankan lagi dengan semakin canggihnya teknologi ultra-modern sekarang: kita bingung siaran televisi itu berasal dari “rupadatu”, diantarkan oleh “arupadatu”, ditangkap dan diekspressikan secara “rupadatu”. Belum lagi ke kerjaan frekwensi yang lain: software di komputer, lalulalang Sms, Bbm, unduh ini unggah itu. Dulu saya menyangka telegram itu dikirim kertasnya meluncur nyantol lewat kabel-kabel sepanjang jalan. Se-nyata dan se-faktual itulah Iblis dalam kehidupan kita, bahkan di dalam diri kita, bahkan ia mengalir di dalam darah kita.
Maka sebagaimana formula “casting” Iblis, orasi tokoh tua kita di atas tepatnya dipahami tidak dengan logika linier. Ia suatu lipatan, mungkin dialektika berpikir yang zigzag, mungkin spiral, mungkin siklikal. Kalimat seniman kita “Nasionalisme Indonesia harus dihajar habis sampai tingkat kematian yang memungkinkan ia lahir kembali” adalah sisipan cita-cita mulia di tengah deretan pernyataan yang seolah-olah mendorong kita ke kehancuran.
Muhammad bertanya, “Siapa temanmu?”
Iblis menjawab, “Para pemakan riba”. Sangat jelas mappingnya di Indonesia.
“Siapa tamumu?”
“Para pencuri”. Sampai-sampai diperlukan KPK, yang kita doakan segera bubar, yakni sesudah Kepolisian Kejaksaan Kehakiman bisa dipercaya untuk menangani perilaku tamu-tamu Iblis.
“Siapa utusanmu?”
“Tukang-tukang sihir”. Sihir pemikiran, cara berpikir, peta manipulasi wacana berpikir, di Sekolah, Kampus, semua media wadah pemikiran.
“Siapa teman tidurmu?”
“Para pemabuk”. Mabuk idolatri, mabuk tayangan-tayangan, mabuk artis-artisan, Ustadz-ustadzan, Gus-Gusan, Kiai-Kiaian… yang terbuat dari plastik… seperti mobil-mobilan untuk kanak-kanak di pasar Kecamatan.
Iblis juga menyindir kita: “Gosip dan adu-domba adalah hobiku”.
Ada baiknya kita undang Iblis menjadi narasumber rembug nasional, dengan syarat: “Aku mendatangi semua manusia, yang bodoh maupun pintar, yang durjana atau yang salah, yang bisa membaca atau buta huruf. Semuanya, kecuali orang ikhlas”.


Yogya 25 September 2012
Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 49 XVIII 11 Oktober – 17 Oktober 2012

Melankolia- Efek Rumah Kaca

Lirik Melankolia

Tersungkur di sisa malam
Kosong dan rendah gairah 
Puisi yang romantik 
Menetes dari bibir 

Murung itu sungguh indah 
Melambatkan butir darah 

Nikmatilah saja kegundahan ini
Segala denyutnya yang merobek sepi
Kelesuan ini jangan lekas pergi
Aku menyelami sampai lelah hati

Dalam KBBI android seperti gambar, Melankolia bermakna "kelainan jiwa yang ditandai dengan depresi dan ketidakaktifan fisik."

Dalam Thesaurus Bahasa Indonesia (kamus sinonim kata), cek gambar, ada 2 kata berkaitan antara melankoli dan melankolis, bermakna seperti ini :

Bagi seseorang saat masa muda, mengalami hal ini. Kondisi yang membuat seseorang mudah murung ketika malam hingga pagi. Seperti pada lirik dibait ke satu hingga empat.

Inilah nikmat syairnya Efek Rumah Kaca. Band ini mampu mengungkapkan hal tak biasa di musik pop. Bahkan mereka membuat versi keduanya di Pandai Besi.

Menurutku musikalitas yang dibangun dengan lirik easy listening memang akan menimbulkan perspektif lain. Disisi lain ternyata, Cholil, mengungkap lirik ini ketika sang ayah meninggalkannya. Kehilangan sosok yang tiada mengganti dan beliau harus meninggalkan Cholil selamanya. 


Thursday, November 5, 2015

Matematika, Aku, Dibalik Sepakatnya.

Sejak kecil, sering kali kita diajar berhitung. Mulai mengeja angka, hingga hasil akhir angka.
Hal itu mudah diajarkan. Namun sulit meraba hal tersirat. Jika saja dulu aku terus menerus berlatih hingga paham, tentu ilmu hitung  sangat mudah.
Sewaktu SD, nilaiku jarang jelek, tentu tak bagus amat. Karena matematika yang diajarkan cuma perhitungan. Bukan mengaplikasikan angka untuk apa? Maka dewasa ini aku menemukan hal-hal yang sempat bikin nyeri di kepala.
Saat kelas 2 SMA, sekitar 2007 lalu. Pertemuanku dengan matematika makin intens. Matematika makin luas. Fungsi turunan, Determinan, Integral menjadi momok sendiri buatku. Aku sedikit menyerah matematika saat itu. Karena Guru yang mengajari hanya stuck pada angka-angka. Bukan fungsi turunan dalam aplikasi. Determinan atau integral pada bidang luas. Melulu pada angka.
Penyampaian yang belum bisa diraba nyata, membuat bosan di kelas. Akibatnya bolos saat  matematika jadi kebiasaan.
Kelas tiga SMA ketemu guru matematika yang menerangkan lebih kompleks. Fungsi angka-angka gunakan secara semestinya. Bagaimana nanti angka tersebut jadi kenyataan. Walaupun aku meraba pengaplikasianya.
Lulus SMA 2009, aku merantau ke bogor. Tak bertemu matematika. Hanya kitab kuning yang dikaji. Beruntung angka-angka tersebut tak menghantuiku. Gagal merantau di Bogor. Aku berpindah di Jakarta. Membantu tanteku.
2011, bosan di Jakarta. Keinginan kuliah terlintas. Sebelum memasuki kuliah, aku sempat kursus permesinan. Tujuanku ingin tahu mesin, yang jadi modal untuk melangkah ke perkuliahan.
Saat kuliah, ketemu kalkulus. Di teknik mesin, kalkulus sebagai dasar pengaplikasian mata kuliah lanjutan. Kalkulus lebih khusus bahas matematika. Ada beberapa materi Fungsi Turunan akhirnya diulang. Kegagalan meraba matematika saat SMA, muncul. Alhasil, nilai C kudapat.
Mata kuliah lanjutan makin bingung. Kalkulus digunakan di banyak hal. Menghitung suhu pada termodinamika, bahkan memecahkan segala persoalan mata kuliah eksakta.
Kata Sudjiwo Tedjo : "matematika adalah kemampuan menangkap pola yang semula tak berpola." Begitu ringkasnya sudjiwo tedjo menelaah matematika. Dan hal itu benar,