Propellerads

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, April 27, 2016

Steller, Generasi Micro Blogging Baru?

Seorang kawan ngepost link website. Saya pun coba klik. Agak asing. Media sosial baru, menurutku. Saya gunakan google chrome sebagai peramban. Saya pun kemudian daftar dengan sign in with facebook
Blar. Begini tampilannya.

Jika dilihat di lamannya (www.steller.co), Steller adalah sosial media berbasis foto, video, dan teks. Gabungan ketiganya ini akan menjadi semacam majalah atau album mini. Jadi, kamu bisa memasukkan foto dan videomu serta menyertakan cerita pendek di balik foto dan video tersebut. Bisa jadi semacam diari perjalanan juga.

Setelah path, Instagram dan beberapa media sosial lain. kini, Steller.co mulai merambah Indonesia. Tawaran tawaran media sosial dengan fitur masing-masing menjadikan pegiat sosial media melupakan diri sendiri dan orang lain.

Tak dipungkiri sayapun terjebak.

Tuesday, April 26, 2016

Sebelum acara Gambang Syafaat April

Jaringan komunikasi grup WhatsApp selalu menyenangkan. Hadir memberikan informasi. Salah satu grup yang menurutku sedikit berbeda dengan grup lain adalah Forum Komunikasi Gambang Syafaat. Gambang syafaat adalah Simpul maiyahan Nusantara area Semarang dan sekitarnya.

Maiyah Nusantara ialah pengajian dan ruang diskusi publik di bawah naungan Cak Nun yang tersebar di beberapa daerah.

Mengapa berbeda? Karena perlahan-lahan saya mulai belajar intelektualitas dasar Islam yang dikaji jaringan ini. Agak konyol sebetulnya jika dibandingkan dengan pengajian lain. Pengajian lain, mungkin, dituntut untuk menerima apapun dari apa yang dibicarakan. Namun dalam maiyahan justru siapapun yang datang, setidaknya, memikirkan apa yang dibicarakan. Kadang malah makin mumet memikirkannya setelah pengajian.

Pengajian pun kadang diselingi guyonan jawa yang turut menyegarkan jamaah sehingga durasi 4 jam tidak terasa menjenuhkan.

Saya akan bercerita sedikit mengenai grup WhatsApp tadi. Sejak saya dimasukkan grup itu 4 April 2016. Saya mulai berinteraksi dengan tim Gambang Syafaat. Mulai bertanya proses sebelum maiyahan, yang diselenggarakan setiap bulan pada tanggal 25 Masehi, hingga acara tersebut dimulai.

Kebetulan malam lalu (25 april), salah satu admin grup, Ali Fatkhan, mengajak penghuni grup untuk bercengkerama. Kami pun dikumpulkan di sekretariat Ikatan pemuda Masjid Baiturrahman (IKAMABA) setelah maghrib. Beberapa orang dalam grup hadir.

Saya yang kebetulan datang lebih awal menyempatkan bertanya-tanya. Ibarat anak baru dalam sebuah organisasi. Maksud tujuan hingga nanti apa yang perlu dibantu.

Ali Fatkhan, yang kebetulan ditugasi sebagai pemantik tema, bercerita gabungnya dia di Gambang Syafaat. "Saya baru sebelas bulan ini bergabung intens di Gambang Syafaat. Karena makin tertarik saya pun ikut kecemplung dengan kegiatan-kegiatan ini" ungkap Ali Fatkhan. Menurut penuturannya, dia terjebak sebagai pemantik tema karena pos itu yang belum terisi. Penggiat Gambang Syafaat, harus mau mengorbankan diri (menabung kerelaan, maksudnya) untuk menjaga agar kegiatan maiyahan berjalan setiap bulannya.

Kemudian dia pun menyampaikan maksud dikumpulkan teman-teman di grup. "Setiap anggota penggiat Gambang Syafaat, sudah dapat plot masing-masing. Tetapi ada satu yang kurang di Gambang Syafaat ini. Kami harap ada teman-teman yang nanti di grup bisa ikut andil. Terus terang, kami kekurangan bagian reportase." terangnya.

Selang beberapa menit. Azis dan Sentosa datang disusul kemudian Yusuf, Alumni UIN walisongo, turut hadir juga. Setiap orang diminta untuk cerita latar belakang dan ketertarikan ke Gambang Syafaat.

Azis pun bercerita. "Saya sering kali ke Mocopat Syafaat (Kasihan, Bantul) setiap tanggal 17. Dan setiap tanggal 25, dan sebisa mungkin meluangkan waktu di Gambang Syafaat".

Obrolan ini berlanjut hingga adzan isya berkumandang.

Kami diberi informasi menarik dari Ali Fatkhan.
"Maiyahan, ibarat warung yg menyediakan nasi pecel prasmanan, setiap jamaah meramu sendiri dg takaran masing2. Sedangkan pengajian lain ibaratnya menyediakan Siomay dan Bakso, yang sudah siap saji paket menunya. Di Maiyahan kita boleh makan, dengan porsi berbeda-beda. Mau makan sampai kepedasan atau tak habis juga silakan " lanjut Ali Fatkhan.

Karena di IKAMABA tidak ada pengisi dahaga. Kami diajak ke warung padang, belakang IKAMABA, yang berjarak tak kurang 10 meter.

Obrolan dilanjutkan di warung Padang ini.

Teman Azis dan Sentosa juga hadir, aku lupa namanya, di warung ini. Ali fatkhan pamit izin ke toilet. Kami ceritakan pengalaman kami di setiap maiyahan yang kami hadiri.

Selang lima menit kemudian, Ali Fatkhan, kembali. Kami ngobrol ngalor ngidul, apa saja. Sedang asyik mengobrol, Ali Fatkhan menerima telepon. Seseorang di seberang telepon, yang akhirnya kami ketahui, tak lain Drs Ilyas, dosen hukum Unnes. Sarung batik dan baju putih, dengan badan agak subur ini, menemui kami. Kemudian berjabat tangan. Satu per satu dari kami ditanyai mengenai latar belakang.

Saya pun tak luput dari pertanyaan sederhananya : Sibuk apa mas, kuliah, kerja?. Karena pak Illyas duduk dekatku. Dia menanyaiku pertama.

Saya pun menjawabnya : Kuliah di (....) (menyebut salah satu universitas swasta di Semarang), jurusan teknik, pak.
"Siapa nama rektormu?" lanjutnya.
Saya mengingat nama rektorku. Terus terang, aku tak ingat namanya. Karena kelemahanku mengingat nama seseorang yang tak kukenal baik. Dan kebetulan rektor lama ganti rektor baru, rektor lamaku, Noor Ahmad baru saja dilantik jadi DPR RI, sehingga rektor baru saya tak ingat.

Saya alibi pada pak Ilyas. Kemudian pak Ilyas, berkomentar : "wong rektornya sendiri saja tidak tahu. Itu ironi bagi mahasiswa". Komentarnya bernada guyon. Namun pukulan bagiku.

Pak Ilyas menjelaskan berbagai polemik mahasiswa saat ini. Mahasiswa kehilangan jati diri sebagai Maha-Siswa. Sengaja aku tulis seperti ini, sebagai tanda kebesaran siswa, yang dianggap agent of change . Namun nama rektor tak dikenal.

Obrolan gayeng pun harus kami akhiri mengingat maiyahan 25 April 2016 segera dimulai, dan jam dinding menunjukkan pukul 20.10. Dan bertajuk Tadabbur Selfie

Friday, April 15, 2016

Kenangan di Kudus

Smartphone bergetar pukul 20.00, pemberitahuan dari Line. Sepupu beri kabar agar saya ikut truknya. Saya lalu telpon kantor untuk pastikan truk berangkat. Eh gak nyangka jam delapan tadi truk sampai Kudus. Saya bergegas menemuinya ke Kudus. Mampir bentar, minum es jeruk di angkringan langganan. Segelas es jeruk cukup mengisi kerongkongan.

Selesai minum saya menyetop bus di pinggir jalan. Tak lama pukul 20.38 saya dapat bus. Naik bus dengan ongkos Rp. 7.000 (sewaktu SMA di kudus, sampai 2009, ongkos Rp. 3000).

Pelan bus merambat di jalan. Tak terasa setengah jam saya berdiri diantara penumpang lain. Agak pegal. Karena Dua puluh kilometer lebih saya berdiri.

Sesampai di Kudus. Saya minta turun di RS Mardi Rahayu. Depan RS. Mardi Rahayu, biasanya truk kami, parkir untuk isi es batu. Belum sampai mardi rahayu, bus yang saya tumpang berbelok arah kanan menuju lingkar tanjung dari Lampu merah perempatan PT. Pura Barutama, Jati.

Sial. Kondektur memaki supir yang tak memberitahu akan lewati situ. Sayapun bergerak turun diantara sesaknya penumpang bus. Gantian saya mengumpat : "Sial!! Kenapa harus diturunkan di sini."

Sayapun harus berjalan kaki dari lampu merah ini menuju pabrik es yang berjarak hampir 2km. Agak cepat saya jalan. Sembari mengingat masa silam di Kudus. Sepanjang jalan beberapa bangunan nampak baru. Tak seperti saat saya sekolah, dulu.

Jika jalan kaki seperti ini. Saya akan Flasback masa di sekolah. Dulu, tiap pagi, saya juga harus jalan kaki hampir dua kilometer, di pinggir jalan menuju sekolah, tanpa rasa capek. Dan Sekarang terulang. Tapi lumayan pegal untuk berjalan kaki.

Hampir 15 menit kaki melangkah. Saya melihat truk kami, terparkir di Pabrik es.
Karena kebetulan supir baru, saya sempat salah menyapa orang. Orang yang kusapa bukan supir truk tersebut. Tetapi, pegawai pabrik es. Agak canggung. Saya pura-pura kenal saja dan mengobrol.

Banyak cerita yang diungkapnya. Satu persatu memori muncul, sembari ingat beberapa tempat. Dia agak kaget, ketika saya tahu nama-nama tempat di kota ini. Djarum, Pabrik Gula Rendeng dan nama lain. Desa dengan hasil panen tebunya. Letak strategis pabrik rokok berdiri hingga nama sekolahku.

Kudus, 15-04-2016
Mampir kesini ya.

Cerita : Jumat Berkah (?)

Di kampus, saya menemui 2 dosen, Kaprodi, dan pengampu tribologi  yang menyambi beberapa mata kuliah lain. Pertemuan itu membahas tawaran Tugas Akhir. Kaprodi kutemui karena meminta izin untuk pindah kelas lain, karena UTS bertabrakan. Sekaligus menanyakan tawaran tugas akhir.

"Permisi, pak" kataku.
"Kamu lagi, har. Ada apa? Dispensasi lagi?" ujar Kaprodi.
"Bukan kok pak. Saya mau tanya dua hal. Pertama, UTSku bersamaan bagaimana pak? " jawabku.
"Kok bisa bersamaan, apa kamu gak lihat jadwal?" sambil cari surat pemindahan jadwal UTS. 
"Ini diisi" lanjutnya.

"Sudah kok, pak. Sejak awal sudah tabrakan. Karena memang saya mengulang mata kuliah tersebut." jelas saya sembari menyerahkan surat dari beliau.

Kaprodi itu lalu mengecek surat itu. Beberapa kata diubah dengan bolpoin. Dan menyerahkan pada saya.

Saya pun kemudian bertanya padanya. "Bapak, maaf. Kira-kira punya tema untuk Tugas akhir apa?"
"Kamu yakin bisa? Soalnya kamu paling lambat di antara temanmu lain" sembari menjawab pesan singkat di Whatsapp-nya. Nada dering grup terdengar samar.
"Kalau saya mau paksa diri sendiri, saya mampu kok pak. Buktinya Kerja Praktek kemarin cuma 1 semester" sanggahku, optimis.

"Kalau kamu mau, kamu teliti bahan rem di laboratorium. Kemarin ada adik kelasmu, ada yang mau ambil tema itu. Kamu gabung dengan dia" Kaprodi menjelaskan.

"Kira-kira untuk penelitian Tugas Akhir itu berapa pak?" alibi saya melarikan diri. Karena memang untuk masalah biaya nyerah kalau mahal.
"Buat alat uji rem cakram +/- 1.500.000, kalau kamu mau dengan adik kelasmu. Bisa dibagi dua."
"Iya, pak" sekaligus pamit.

Setelah menemui Kaprodi tersebut. Saya menemui dosen Tribologi. Mumpung masih ingat materi yang disampaikan kemarin kamis. 

Karena beliau sedang berbincang dengan staf. Saya pun menunggu, sembari melihat laboratorium. Dosen ini berkantor di lab. 

Setelah selesai berbincang. Saya ke tempat duduknya. 

"Mesti neg meh bimbingan, diskusi, opo liyane wektune dipepetke. Ben ora ono kuliah, sakwise iki. (pasti kalau mau bimbingan, diskusi, atau lainnya di waktu yang mepet. Biar tak ada kuliah setelah ini.)" ungkap beliau sembari memakai sepatu. 
"Saya bukan mau bimbingan atau apa, pak. Saya cuma minta waktu bapak sebentar saja. Dan membahas Tugas Akhir yang bapak tawarkan kemarin. Boleh?" rayuku. Dosen ini, pernah bimbing saya Kerja Praktek dan menjudge saya sebagai mahasiswa keras kepala.

"Iya silakan. Tapi waktunya gak banyak?" mendongakkan kepala sambil lihat jam. Jam menunjukkan 09.40 WIB.

"Saya juga tahu pak. Karena saya juga kuliah di kelas bapak hari ini." saya memelas.

"Kalau kamu mau ambil judul yang kemarin. (Saya sengaja tak jelaskan apa penelitian saya nanti. Karena ini berkaitan dengan program kerja Universitas pada mahasiswanya) Beberapa hal juga harus kamu pelajari." jelasnya sambil melihatku.

Saya lalu mengambil buku catatan. Menulis beberapa hal penting.
"Kamu harus punya Ansys 15, entah bagaimana caranya, untuk pembelajaranmu. Di lab, ada programnya, kalau kamu mau. Tapi kamu juga harus menguasai materi itu. Cari tutorial tersebut. Nanti teknisnya bisa kami mintai tolong mahasiswa Universitas lain untuk membantumu. Kamu cari juga paper, jurnal, atau karya ilmiah lain. Nanti kita pelajari." panjang lebar dia jelaskan seperti itu. Saya berulang kali tanya, untuk catatan. 

Setelah penjelasan itu, beliau kembali melihat jam dinding dan menunjukan pukul 09.50. Dan bersiap ke kelas. Saya pun mengular dibelakangnya.
Di kelas, saya tak perhatikan mata kuliahnya. Karena pengulangan mata kuliah beliau, sedikit saya paham. Beliau berpesan, kuliah akan berjalan 30 menit. Saya pun sibuk dengan smartphoneku, sembari cari materi yang disarankannya. Tak terasa penjelasan di kelas berjalan sesuai janjinya.

Saya keluar kelas, kemudian menemui kawan angkatan atas saya. Kami pun mengobrol sebentar. Kemudian Saya mengajukan tawaran tugas akhir bersamanya. Diapun antusias. Kami bertukar nomor handphone untuk kelanjutan nanti.

Di Asrama Kampus.

Pulang dari kampus saya menuju ke kamar. Beristirahat sejenak. Sayup-sayup terdengar suara tape recorder dari masjid. Sesekali mataku tak mau diajak kompromi. Kupaksa agar tetap melek. Untuk membunuh ngantuk kudengar salah satu lagu dari handphone kawan. Efek rumah kaca featuring Barasuara berjudul 'Sebelah mata' live konser. Salah satu lagu pembangkit mood. Bosan menunggu azan tak berkumandang. Saya coba telpon kantor. Menawarkan diri untuk isi weekend. Setelah selesai berbincang melalui handphone.

Beberapa menit kemudian, panggilan alam terdengar. Suara yang tak asing bagi siapapun. Panggilan untuk salat jumat.

Ada kawan saya, sebut saja R, yang punya hobi unik yang sama denganku. Malam untuk begadang dan pagi hingga siang digunakan untuk tidur. Bagi sebagian ahli kesehatan hobi ini kategori gejala skizofrenia. Tapi bagi kami, hobi ini cara menyendiri yang baik. Karena otak seolah bersih tanpa beban pikiran seperti siang yang disibukkan aktivitas. Cara ini efektif untuk menulis atau berdoa.

Kemudian saya bangunkan dia. Saya bisikkan ke telinganya, dan menggoyangkan tubuhnya : "Ndes tangi, mengko neg mati lho". Kuucapkan berulang.  Dia paham caraku membangunkan tidurnya. "hmmm..." bergumam dan membuka matanya.

Saya pun menuju kran, berwudu. Sementara dari kamar mandi ada kawan lain keluar. Sebut saja B. Lalu, Dor..dor..dor..dor.. menggedor pintu dengan sangat keras. Saya tahu, R, sudah bangun. Selesai wudu saya menemui B.

Saya coba ajak bicara : "le nggugah kancane rodo alun, opo ora iso? Lawange ora digedor, ora iso po? (Bangunkan teman agak pelan, apa tidak bisa? Pintu tidak digedor apa tidak bisa?)"
Diapun menyangkal : "ben tangi, wayahe jumatan (biar bangun, waktunya salat jumat)"

Saya kembalikan sikap dia kalau dibangunkan :"koe wae nguripke alarm jam 3 rak tangi, opo iku rak nganggu? Digugah pas kon salat wae, angel kok, gedor-gedor kancane? (Kamu saja hidupkan alarm jam 3 tidak bangun. Apa itu tidak mengganggu? Dibangunkan untuk salat saja, susah kok, gedor-gedor temanmu?)"
Dia kemudian menyontohkan pengalaman dibangunkan gurunya : "aku wae biyen ditangiake guruku digedor-gedor ben tangi.(aku dulu kalau dibangunkan guruku digedor-gedor biar muridnya bangun).

Karena tak mau terusan debat. Saya meninggalkannya. Lalu menuju masjid. Saya duduk di serambi masjid dengarkan khotbah. Khatib berkhotbah gafatar sebagai aliran sesat. Karena bosan bahasan menyesatkan orang saya pura-pura dengar.

Khotbah selesai, lalu muadzin iqamat.
Kami berjamaah salat jumat. Rakaat pertama, sang imam enak bacaan alqurannya. Rakaat kedua pikiran saya ambyar karena mengingat kejadian sebelum berangkat masjid.



Semarang-Demak, 15 April 2016
Baca juga MEMAHAMI CERITA

Thursday, April 7, 2016

Enkripsi Baru WhatsApp

Setelah beberapa bulan lalu menggratiskan selamanya bagi pengguna media sosial ini. Kini, WhatsApp menggunakan enkripsi baru untuk memberikan kenyamanan. Fungsinya menjaga privasi penggunanya.

Dalam situs resminya WhatsApp mengungkapkan: " Privasi dan keamanan ada dalam DNA kami, oleh sebab itu kami memiliki enkripsi end-to-end pada versi-versi terbaru aplikasi kami. Ketika terenkripsi secara end-to-end, pesan-pesan, foto, video, pesan suara, dokumen, dan panggilan Anda diamankan dari kemungkinan jatuh ke tangan yang salah.
Enkripsi end-to-end tersedia ketika Anda dan orang-orang yang Anda kirimi pesan berada pada versi-versi terbaru WhatsApp.
Enkripsi end-to-end WhatsApp memastikan bahwa hanya Anda dan orang yang berkomunikasi dengan Anda sajalah yang dapat membaca apa yang telah dikirimkan, dan tidak ada orang lain di antara Anda, bahkan WhatsApp. Pesan-pesan Anda diamankan dengan sebuah kunci, dan hanya penerima dan Anda sajalah yang memiliki kunci spesial yang diperlukan untuk membuka dan membaca pesan Anda. Untuk keamanan tambahan, setiap pesan yang Anda kirimkan memiliki kunci yang unik. Semua ini terjadi secara otomatis: tidak perlu mengaktifkan pengaturan tertentu atau menyiapkan sebuah chat spesial yang bersifat rahasia untuk mengamankan pesan-pesan Anda."  baca selengkapnya FAQ WhatsApp.



Dalam security WhatsApp juga menjelaskan :
"Enkripsi end-to-end WhatsApp tersedia ketika Anda dan orang-orang yang Anda kirimi pesan menggunakan versi-versi terbaru aplikasi kami. Banyak aplikasi perpesanan lain hanya mengenkripsikan pesan-pesan antara Anda dan mereka, tetapi enkripsi end-to-end WhatsApp memastikan bahwa hanya Anda dan orang yang berkomunikasi dengan Anda sajalah yang dapat membaca apa yang telah dikirimkan, dan tidak ada orang lain di antara Anda, bahkan WhatsApp. Hal ini karena pesan-pesan Anda diamankan dengan sebuah kunci, dan hanya penerima dan Anda sajalah yang memiliki kunci spesial yang diperlukan untuk membuka dan membaca pesan-pesan Anda. Untuk keamanan tambahan, setiap pesan yang Anda kirimkan memiliki kunci yang unik. Semua hal ini terjadi secara otomatis: tidak perlu mengaktifkan pengaturan tertentu atau menyiapkan sebuah chat spesial yang bersifat rahasia untuk mengamankan pesan-pesan Anda.
Berbicara dengan Bebas
Panggilan WhatsApp memampukan Anda untuk berbicara dengan teman-teman dan keluarga Anda, bahkan jika mereka berada di negara lain. Sama halnya dengan pesan-pesan Anda, panggilan WhatsApp Anda juga terenkripsi secara end-to-end sehingga WhatsApp dan pihak ketiga tidak dapat mendengarkannya.
Pesan-pesan yang Tetap Beserta Anda
Pesan-pesan Anda harus berada di tangan Anda. Oleh karena inilah WhatsApp tidak menyimpan pesan-pesan Anda di server kami sesudah kami mengirimkannya, dan enkripsi end-to-end berarti WhatsApp dan pihak ketiga tidak dapat membacanya pula.
Pastikan Sendiri
WhatsApp memampukan Anda untuk memeriksa apakah panggilan yang Anda lakukan dan pesan-pesan yang Anda kirimkan terenkripsi secara end-to-end. Cukup temukan indikator ini di halaman info kontak atau info grup.
Dapatkan Rinciannya
Silakan baca sebuah ulasan teknis yang mendalam tentang enkripsi end-to-end WhatsApp, yang dikembangkan dalam sebuah kolaborasi dengan Open Whisper Systems." seperti dilansir di situs Keamanan WhatsApp

Kita bisa melihat keamanan tersebut melalui percakapan di grup ataupun antar personal




Wednesday, April 6, 2016

Slilit sang Kiai

Oleh : Emha Ainun Najib ( Cak Nun ) 10 September 1983


Tidak jelas apa bahasa Indonesianya, tapi biasa disebut slilit. Kalau habis ditraktir makan sate, biasanya ada serabut kecil sisa daging nyelip di antara gigi -----itulah slilit.
Slilit sama sekali tak penting. Tak pernah jadi urusan nasional. Tak terkait dengan kampanye pembangunan. Koran tak pernah meng-cover-nya. Para ilmuwan atau penyair tak pernah mengingatnya. Bahkan, satu-satunya produksi ekonomi yang punya urusan dengannya disebut "tusuk gigi"-----bukan "tusuk slilit". Padahal, slilit-lah yang ditusuk.


Namun, begitulah, slilit pernah memusingkan seorang kiai di alam kuburnya, bahkan mengancam kemungkinan suksesnya masuk surga. Ceritanya, dia mendadak dipanggil Tuhan, sebelum santrinya siap untuk itu. Murid-murid setia itu, sesudah menguburkan sang kiai, lantas nglembur mengaji berhari-hari---agar diperkenankan bertemu ruh beliau barang satu dua jenak. Dan Allah Yang Maha Memungkinkan Segala Kejadian akhirnya menunjukkan tanda kebesaran-Nya dalam mimpi para santri itu. Ruh kiai menemui mereka.

Terjadilah wawancara singkat, perihal nasib sang Kiai di "sana". "Baik-baik,Nak. Dosa-dosaku umumnya diampuni. Amalku diterima. Cuma ada satu hal yang membuatku masygul. Kalian ingat waktu aku memimpin kenduri di rumah Pak Kusen? Sehabis makan bareng, hadirin berebut menyalamiku, hingga tak sempat aku mengurus slilit di gigiku. Ketika pulang, di tengah jalan, barulah bisa kulakukan sesuatu. Karena lupa enggak bawa tusuk slilit, maka aku mengambil potongan kayu kecil dari pagar orang. Kini, alangkah sedihnya: aku tak sempat meminta maaf kepada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah bakal mengampuniku?"

Para santri pun turut berduka. Kemudian membayangkan, alangkah lebih malangnya nasib sang Kiai bila slilit di giginya itu, serta tusuk yang dicurinya itu, sebesar gelondongan kayu raksasa di hutan Kalimantan. Lebih-lebih lagi kalau menyamai Hotel Asoka atau Candi Borobudur, setidaknya satelit Pallapa.


Ada satu intensitas ruhani tertentu dari hidup manusia. Yakni, tempat Tuhan itu mutlak. Tempat pahala begitu sakral, dan dosa begitu menakutkan lebih dari Banaspati. Intensitas itu tentunya bergantung pada bagaimana seseorang mengolah dirinya dalam hidup.

Meski demikian, hak itu sebenarnya naluriah saja. Tanpa mengenal konsep dosa secara agama pun, orang menebang pohon angker dan jatuh sakit menganggap penyakitnya karena dosa kepada yang punya dan menjaga pohon itu. Ada juga yang merasionalisasi: karena tindakan penebangan itu merusak sistem ekologis. Seorang Indian Wintu di California berkata pilu :
"Orang-orang kulit putih ini tak pernah mencintai tanah, rusa, atau beruang. Jika kami makan daging, kami tak menyisakannya. Jika kami memerlukan akar, kami bikin lubang bukan mencerabutnya. Kami tak menumbangkan pohon. Kami hanya memakai kayu yang sudah mati. Tapi, orang kulit putih membajak tanah, merobohkan pohon, membunuh segala yang dikendaki. Pohon-pohon menangis, 'Jangan! Aku luka dan sakit !'----tapi mereka mencerabutnya, memotong-motongnya. Ruh tanah benci mereka! Mereka meledakkan batu-batu, gunung-gunung kecil, menghamparkannya di tanah sehingga tidak bisa bernafas. Batu-batu mengaduh, 'Jangan! Aku pecah dan sakit!'----tapi mereka tak ambil peduli. Bagaimana ruh batu menyanyangi mereka, rusaklah segala sesuatu itu ...!"

Naluri jernih suku Wintu bagau menyindir sejarah, sesudah kepunahan bangsa kulit merah. Manusia dengan kecerdasan berhasil menaklukkan alam, menggenggamnya, mengeksplorasinya, mengeksploitasinya, menyulap menjadi surga impian, memakannya, menghabiskannya, menguras, dan mengenyamnya, demi kelayakan-kelayakan yang irrasional dan mubazir, bagai direncanakan untuk menyegerakan berbagai kehancuran yang ditutup-tutupi.

Jika naluri suku Wintu bisa disebut identik dengan kesadaran dosa, pada zaman serba-penaklukan ini rumusan dosa telah begitu sukar diperoleh. Segalanya serba-berkaitan, semrawut dan membenang kusut, menjadi tidak penting, juga di negeri yang bangsanya nampak begitu religius. Kata "Tuhan" disebut ratusan kali setiap hari. Konsep dosa tidak memiliki fungsi di hampir setiap kebijaksanaan yang menyangkut orang banyak. Konsep dosa hanya tersisa di bagian pinggiran dari urusan pokok masyarakat.

Dan di bagian pinggiran itulah hidup Pak Kiai, yang sangat masygul akibat dosa slilit-nya.



Diambil dari kumpulan cerpen yang dibukukan dengan judul yang sama.

Tuesday, April 5, 2016

Tujuh Belas Ribu Kartu Nama

Oleh : Cak Nun , 8 Oktober 1983

Bersurat kepada seseorang yang "selama tujuh tahun, tiap hari, pukul 11 siang hingga 2 malam, bergaul di tengah ribuan hostes, massage girls atau apa pun namanya di tiga streambath terkenal". Sesudah membaca tulisan saya tentang "martabat wanita modern", ia tulis surat imbauan itu karena "banyak pertanyaan di benakku yang tak mendapat jawaban".
Ia membantah asumsi saya tentang motivasi ekonomis para pelacur. Karena "delapan dari sepuluh 'wanita ribuan' yang kuamati itu rata-rata sudah punya rumah, cukup mewah, bahkan sampai dua biji, biasanya yang satu dikontrakkan". Dikatakan jarang yang sekadar punya motor roda dua. Tabanas mereka aduhai. Penghasilan selama empat bulan rata-rata tujuh belas juta rupiah, bisa untuk membeli Honda Accord mutakhir. Bagaimana mungkin?
"Tiap hari mereka meladeni lima sampai tujuh pamong negeri kelas menegah. Ada hostes top kerja lima tahun punya 17.000 kartu nama. Saingannya kerja enam tahun dapat 15.000 kartu nama. Bonus ekstra mereka selalu fantastis." Oke. Tapi apa sesungguhnya "kartu As" mereka ini, hingga memperoleh duit begitu banyak?
"Ialah bermain tidak hanya di tempatnya!" Baiklah sebut nama Allah, tapi yang dimaksud tentu anu, anu, dan anu (maaf, ini sudah disensor---red.). Jumlah angka tentu gampang diterobos, karena negoisasi dilakukan pada kondisi psikologi yang revolusioner dan penuh nafsu dan kesusu.
Tentu "dampak kultural"-nya macam-macam. "Di rumah, mereka tak puas melayani suami sehabis di 'kantor' makan 6-7 manusia. Soal buang air seni terasa panas dan perih, itu biasa. Tapi batuk tak mau sembuh, buang air besar seperti menyiksa padahal bukan menderita wazir, bernapas terasa sesak padahal tak sakit asma ......" Hmmm.
Dikemukakan, semula tak banyak yang melakukan pariwisata liar seperti itu. Sering juga bermula "normal" saja, tapi akhirnya---yah, Adam tak cukup makan sebiji khuldi. Dampak lain? "6/10 tiap enam bulan menggugurkan kandungan."
Ada beberapa pengemukaan data yang saya sensor demi stabilitas. Tapi yang penting sahabat kita ini menyuruh saya mengira-ngirakan, berapa banyak uang yang dikorup untuk kegiatan yang "telah, sedang, dan akan terus berlangsung" ini.
Bayangkan, katanya. (Jelas, kalau sekadar membayangkan saja saya jago). "Peraturan perizinan hitam atas putih itu nol besar. Saya berani sumpah, saya bukan orang kejam yang mau memfitnah." Ia berkata bahwa sudah ada tempat begituan yang jadi abu karena kutukan Allah, tapi kini sudah berdiri megah pasar kelamin baru, tempat hiburan Martini kontemporer menjadi perangsang korupsi. "Wanita-wanita itu pada hakikatnya pemalas, pemeras, dan pemacu penyelewengan."
Ia menghimbau : "Apakah Bapak-bapak tidak menyadari timbulnya keresahan sosial bila hal itu terus berlanjut? Telah kusaksikan ratusan keluarga berantakan karenanya----keluarga para hostes maupun konsumen." Ia tidak rela "kemajuan bangsa Indonesia terhambat dan terkotori oleh beberapa bagian dari masyarakat yang berlepotan kemaksiatan dan bejat moral."
Demikianlah, seperti orang kehujanan tanpa bisa berteduh, dengan murung saya membaca akhir suratnya yang menghimbau saudara-saudaraku, agar bersedia menghimbau. Marilah kita ini kemerdekaan ini dengan imbau-menghimbau. Sebab mungkin hanya itu kemampuan pamungkas kita.

Diambil dari buku "Slilit Sang Kiai".

Baca lainnya disini

Thursday, March 31, 2016

Alasanku Menyukai Lagu

Beruntung. Kata pertama yang kutulis dalam cerita di blog ini. Beruntung karena setiap lagu mampu membangkitkan mood saya. Bermilyaran lagu menguap di dunia. Jutaan band menuliskan lirik indah dalam lagu mereka. Hanya dalam tujuh nada. Beruntung karena pencipta nada do re mi fa shol la si, ternyata seorang muslim.

Kali pertama saya menyukai lagu bukan terletak pada nada. Karena sampai saat ini saya tak bisa membaca not balok. Tapi lirik yang easy listening-lah akhirnya membuat saya tak ragu.

Setiap hari lagu-lagu kudengar, kutelaah ulang lirik, dengan menulis ulang. Menggali kata per kata, apa makna tersirat. Kemudian menemukan makna didalam cerita lirik tersebut.

Pada blog sebelumnya sayapun menuliskan ulang lirik tersebut. Agar saya tahu maknanya. Seperti Tentang hidup , Selamat Datang,  dll.

Baca juga
http://mrgostuquwh.blogspot.com/2012/11/menelaah-lirik.html

Ceritaku di Pasar Lamongan

Memasuki tahun ketujuh ini, kami masih mengadu nasib di kota lain. Tuntutan dari sang bos yang terikat kontrak kerja dengan pabrik ratusan ton jadi alasan kami. Tujuan kami ialah Pasar Ikan Lamongan. Terletak di sudut kota Lamongan, yang beralamat di Jalan Kusuma Bangsa. 

Akses ke pasar tersebut cukup mudah bagi siapapun. Bagi yang berasal dari barat (Semarang) ataupun timur (Surabaya), cukup turun ke terminal Lamongan. Setelah di terminal bisa jalan kaki turun di pinggir terminal. Jalan kearah timur, ada pertigaan, masuk sekitar 250 meter setelah kafe dan karaoke 'Rasa Sayang'. Jika naik becak / betor (becak bermotor), tanya pengemudi, nanti akan diantarkan. Tak jauh kok dari terminal Lamongan.

Petunjuk di atas cukup ya.

Kami warga Semarang dan sekitarnya malah memilih pasar ikan di Lamongan. Namanya juga mengadu nasib. Eh, bukan itu maksudku. Bukankah lebih enak di Semarang, kan. Efisien dan hemat. Pasar ikan Semarang atau biasa disebut pasar pathok (karena dulu terdapat kuburan), bisa disebut juga pasar kobong (tahun 90an pernah terjadi kebakaran), merupakan pijakan pertama bos saya merintis usaha. Bos saya adik kandung ibu. Anak nenek nomor tiga. Pasar kobong hanya buka setiap malam. Lagi pula ukuran pasar kobong lebih kecil dibandingkan pasar ikan Lamongan. Bisa dikatakan pasar ikan Lamongan salah satu pasar ikan terbesar di pulau Jawa.

Karena bos suplier udang. Dan beberapa titik pertambakan udang di sekitar Semarang telah dipercayakan pada kami untuk dipanen. Jadi kami tahu kualitas udang yang dijual di pasar tersebut.
Kami pedagang musiman. Hanya datang sekitar bulan februari hingga juli. Atau hingga puasa saja. Setelah itu, kami kembali ke Semarang.

Di pasar ikan ini jujur, nilai termahal. Lebih mahal dari miliaran uang yang dibelanjakan bos saya di pasar tersebut setiap bulan. Dari tahun 2009 hingga kini kami terus belajar akan hal itu. Kami acap kali, menemui para pedagang tak jujur. Berulang kali setiap bulan kami kehilangan jutaan rupiah. Bisa dikatakan akibat kelengahan kami yang dimanfaatkan oleh pedagang atau memang kepribadian mereka yang tak jujur. Sejak tahun 2009 kami melakukan pembelian secara cash. Modal ini yang menarik minat pedagang untuk menjual udangnya pada kami.

Tahun 2009, pertama kali kami datang, kami tak punya tempat tinggal. Kami tidur di pasar berteman nyamuk dan kekumuhan. Tahun 2010 Kami coba mengontrak sebuah rumah. Namun sama saja. Rumah yang kami tempat agak seram. Tahun 2011 kami balik lagi tidur di pasar, sembari mencari rumah yang dijual untuk jangka panjang. Tujuan kami ingin mengembangkan sayap dan menetap di sana setiap tahun. Karena aturan perda setempat mewajibkan harus punya domisili di pasar. Akhirnya pada tahun 2012 keinginan itu tercapai. Sebidang tanah berukuran 1000 m² beserta bangunannya dapat kami beli. Kami pun juga membeli lapak di pasar tersebut. Cukup fantastis. Bos rela mengeluarkan 1,3 milyar. Untuk membeli lapak dan rumah.

Kami melakukan pembayaran tunai setiap hari, kecuali bank tutup. Setiap hari ratusan juta kami ambil di salah satu bank di Lamongan. Uang dari Semarang dikirim dan kami mengambilnya untuk belanja.

Ojek Panggul, Pedagang dan Pengemis.

Hal menarik di pasar ikan ini ialah ojek panggul, pedagang dan peminta-minta.
Bisa dikatakan penghasilan mereka melebihi pegawai negeri swasta. Maksudku pegawai negeri sipil. Ojek panggul. Dalam setiap mengantar mereka meminta imbalan dari pedagang dan pengepul. Umpama saya pedagang. Saya mau jual barang ke pengepul. Nah ojek panggul akan menerima dari saya dan pengepul sekian ribu rupiah sekali antar, tergantung ukuran. Umpama ember cat 1000 hingga 2000. Blong ukuran kecil hingga besar Rp. 3000 - Rp. 5000. Bisa diakumulasikan seperti ini : seandainya 1 barang mendapat upah 10000/blong, jika dia mengirim 30 blong. Silakan hitung sendiri. Lumayan kan.

Cerita lainnya ialah pengemis dan pengamen yang berjumlah puluhan orang setiap hari. Bagi mereka, pasar merupakan ladang subur meminta uang. Jika dihitung secara kasar seperti ini : di pasar ada sekitar 500 pengadu nasib. Mereka terdiri dari pengepul, pedagang kecil seperti yang saya sebut, juga pedagang makanan di sekitaran pasar. Andai pengemis ataupun pengamen itu meminta setiap pedagang dan pengepul Rp. 500 x 500 = Rp. 250000. Belum lagi para pengemis dan pengamen ini jika mengambil keuntungan dari ikan yang jatuh, tidak ditimbang. Dengar-dengar para pengemis punya rumah yang layak tinggal. Semoga berita ini benar.
Pengamen lain yang buat saya agak merinding ialah bencong. Mereka  datang setiap hari minggu.

Acap kali mereka mengganggu konsentrasi kasir. Lagi asyik membayar nota dan menghitung uang, tiba-tiba datang meminta uang. Tanpa memedulikan sang kasir sedang sibuk. Kesabaranmu diuji di sana. Kami sering cekcok dengan mereka. Bahkan ada juga ojek panggul yang tak jujur. Jika kami lengah mereka asal sebut. Padahal yang dikirim tak sesuai.

Warung  nasi dan kopi.

Di salah satu sudut pasar kita akan menemukan berjejer warung. Kopi atau pun makanan. Saya selalu menyempatkan makan di warung Umi. Wanita paruh baya dari Madura. Suaminya bekerja di Arab sebagai supir. 

Setiap pagi dan siang saya menyempatkan mampir. Kopi yang dia sajikan hasil olahan sendiri. Biji kopi digoreng dan diselep sendiri. Saat menggoreng akan tercium aroma kopinya di siang hari. Sungguh menggodaku. 

Masakan Umi yang paling enak ialah Rawon. Sepuluh ribu rupiah sudah medapatkan nasi Rawon + 1 gorengan + teh. Namun saya jarang sarapan. Rawon ini hanya saya dapatkan sekitar pukul 10.00 WIB. Jika Umi sedang repot saya menyajikan sendiri makanan. Sering kali saya menambah telur. Dan harga tetap sama 10.000.

Sejak pukul 05.30 Umi sudah di pasar. Menyiapkan apapun untuk menyajikan semuanya sendirian. 

Kalau saya bosan ke Umi saya menyempatkan ke warung Marpuah berjarak beberapa meter dari Umi. Di warung ini pula, kopi dibuat sendiri seperti halnya Umi. Bahkan jika siang saya sulit membedakan mana kopi masakan Umi dan Marpuah. Marpuah mempunyai masakan khasnya : Ikan Patin, ikan Lele, Ikan mujair,  Kuah kuning dan Sayur bayem. Cuma 12.000 sudah bisa merasakan kenikmatan masakannya.

Keluarga Baru

Sistem yang kami bangun di pasar ini dengan cara kekeluargaan. Antar pedagang kami saling kenal. Bahkan sebelah kami, bos es batu, lapaknya baru kami beli, menganggap kami saudaranya. Keluarga dari sisi bisnis ataupun apa kurang tahu motivasi utamanya beliau mendekati kami. Bos es batu itu, bernama H. Jenni. Setiap kali datang ke Lamongan, kami pasti meminjam motornya. Begitu pun ketika saldo uang tunai masih sedikit. Berapapun kami pinjam tanpa anjungan ataupun materai, sebagai bukti peminjam. Lidah tak bertulang menjadi modal kami meminta tolong.


Saturday, March 19, 2016

Lirik Kasih Tak Memilih Letto

Melalui kabar burung alias twitter. Bahwa tanggal 14 maret lalu mereka sedang launching album maka saya pun mencoba menuliskan lirik single Kasih Tak Memilih milik Letto.

Kasih Tak Memilih - Letto

Rasa benci itu
yang tersimpan setiap waktu
berapa lama ku mau tuk menderita
Aku tak mengerti kata dari hati

Reffrain :
Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih

Cerita yang tlah hilang
Seharusnya tak mengapa
Hati yang bersih
Hati yang telah murni
Takkan tersakiti

Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih

Interlude
Back to reffrain 3x

Dapatkan single terbaru Letto “Kasih Tak Memilih” di link berikut ini:

itunes.apple: Kasih Tak Memilih

Amazon.com: Kasih Tak Memilih

Microsoft.com: Kasih Tak Memilih

www.deezer.com: Kasih Tak Memilih

Sunday, February 7, 2016

Menelisik Buku dari Sisi Lain

Sebelum masuk ke tulisan ini, simaklah tulisan saya sebelumnya http://bit.ly/1mlIYLD

Bercerita sebuah buku memang unik dibahas. Cerita, pengetahuan bahkan proses pembuatannya mampu membuat menarik setiap pembacanya. Penawaran demi penawaran turut andil dalam mengembangkan buku tersebut. Jauh sebelumnya banyak buku dilarang peredarannya. Sebut saja karya Pramoedya Ananta Toer, Widji Thukul, hingga Pidi Baiq, pernah merasakan bukunya dilarang beredar. Namun seiring berjalan waktu, karya mereka menghiasi industri buku masa kini.

Dilan, 1990. Merupakan buku yang dicekal era 90an. Karena ada 1 kalimat yang diduga kontroversi, dengan menyinggung presiden yang berkuasa saat itu. Beruntunglah kita saat ini. Dilan 1990 dan Dilan 1991 dicetak ulang. Pramoedya Ananta Toer, beliau memilih dijebloskan di penjara bertahun-tahun karena karyanya. Bahkan info dari berbagai sumber, 500 sampai 5000 lembar : kliping dan tulisannya dihanguskan dari peredaran. Namun, Pram tak kecewa. Berulang kali beliau menulis di penjara, karyanya tetap masih dinikmati saat ini. Akhirnya berhasil melewati orde lama dan orde baru. Widji Thukul, mungkin tak seberuntung Pidi Baiq dan Pramoedya Ananta Toer. Puisi-puisi perlawanan beliau diberangus. Bahkan dokumen-dokumen yang telah siap cetak juga disita. Tahun 1997-1998, Thukul, dinyatakan tak kembali ke rumah hingga kini.

Ketiga penulis tersebut mampu melewatkan masa kelam bukunya. Hanya Thukul yang tak beruntung, diantara keduanya.

Buku berupa catatan seseorang yang mampu hidup di zaman tertentu. Generasi 90an mungkin mengenalnya dengan diary, generasi sekarang, media sosial dianggap sebagai buku hidupnya. Melalui timeline, media sosial merekam jejak pemilik akun, menggeser posisi diary di generasi 90an.

Setiap orang berhak mencetak buku. Yup. Buku merupakan hal sakral untuk dibagikan cerita, keilmuan bahkan catatan pinggirnya. Bagi mahasiswa tingkat akhir, buku ini sangat ditakuti.

Sebuah karya yang harus ditempuh beberapa tahun menuju kelulusan. Buku menakutkan itu bernama Skripsi. Menggali ide, menulis, berpikir, cari referensi kemudian dipertaruhkan dihadapan penguji yang berakhir revisi tanpa bantuan penyunting, selain penulisnya. Banyak diantara kita menunda beberapa bulan bahkan bertahun, untuk menulis karya itu. Sadar atau tidak, kemalasan bertemu kekasih (pembimbing), peliknya.

Kok malah curhat ya?

Bukan hanya itu saja. Buku bagi penulis baru, bagai bertemu dosen pembimbing dan dosen penguji, saat akan diajukan ke penerbit mayor. Eksistensi penulis dipertaruhkan. Mampu diterima pasar atau tidak, harga pertaruhan itu. Sayangnya seperti mahasiswa tingkat akhir yang mengajukan judul atau bahkan bab per bab, yang tak kunjung diterima dihadapan dosen pembimbing.

Belum lagi ketika sudah dicetak. Musuh besarnya, pembajakan. Bisa jadi harganya turun puluhan persen. Hasilnya tidak seberapa. Namun prestige dikenal jadi sangat bagus.

Cara paling ampuh mencari informasi penerbitan indie. Namun terjal tetap menghadang. Persyaratan penerbitan indie menjadi polemik tersendiri bagi penulis baru. Biaya cetak, dan administrasi.

Pilihan sulit bukan?

Thursday, February 4, 2016

Resensi "Yuna dan Juna"

Bingung ingin memulai dari mana ketika sebuah buku harus diceritakan ulang melalui blog. Sebenarnya bukan keahlian saya untuk menulis ulang apa yang saya baca. Biasanya saya sering menceritakan pengalaman pribadi dalam blog ini. Terlebih novel romance.

Buku "Yuna dan Juna" yang ditulis oleh Yundra Karina. Diterbitkan oleh Pataba press, yang merupakan perpustakaan nirlaba dari Toer bersaudara : Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Susilo Toer. Pataba sendiri merupakan akronim dari Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa. "Yuna dan Juna" diterbitkan pada Januari, dengan ISBN 9786027389304 yang berukuran 12,5 cm x 17,5 cm berhalaman xiv + 182. Seharga Rp. 30.000.
"Yuna dan Juna" bercerita tentang romance. Diawali dengan prolog yang manis dengan puisi dari penulis membawa pembaca hanyut untuk membaca halaman selanjutnya.

Dua sahabat, "Yuna dan Juna" berteman sejak kecil. Mereka menikmati masa mahasiswa menuju tingkat akhir yang menarik. Kekonyolan Juna saat yang sering berkunjung ke indekos Yuna dengan membawakan balon, mengendarai Vespa Kuning kesukaan Juna, menjadi daya tarik yang mampu mengingatkan kenangan masing masing pembaca. Yuna yang penakut, cengeng, dan mellow ini menaruh harapan hati pada Juna. Tiap hari Juna mengunjungi Yuna untuk sekedar melewatkan hari²nya. Bentuk perhatian Juna ini menjadi saat saat membahagiakan bagi Yuna. Hingga tak sadar mereka saling mencintai satu sama lain.

Sayangnya Juna lebih senang bercerita tentang Dea, gebetan Juna untuk menutup cintanya pada Yuna. Berulang kali Juna meminta saran Yuna tentang Dea. 


"Yuna dan Juna" memilih untuk diam mengungkap perasaan masing². Mereka saling dekat tapi tak punya hasrat untuk menjalin hubungan kecuali bersahabat. Yuna merasa dihibur dengan kedatangan Mizwar. Namun kedekatan Yuna dengan Mizwar seolah angin lalu.

Jika dikritik buku ini. Saya mungkin juga perlu berbicara langsung pada penulisnya untuk menggali lebih dalam karya ini. Itupun jika saya bertemu langsung dengannya. 

Saya memaklumi jika ada beberapa kata yang kurang ataupun salah huruf. Seperti 'mengucak' yang seharusnya mengacak di halaman 17, Satnya yang seharusnya Saatnya di halaman 29, Prof esor yang seharusnya Profesor di halaman 81, Spongesbob yang seharusnya Spongebob di halaman 102, are yang seharusnya area di halaman 143, padaaku yang seharusnya padaku di halaman 150, biaskan yang seharusnya biasakan di halaman 159. Dan mungkin beberapa kata yang luput dari bacaan saya. 
Penulisan buku ini sudah begitu sempurna jika font yang tertulis Times New Roman, 12. Karena pembaca harus membuka sedikit lebar mata untuk.membaca.

Untuk urusan percintaan novel ini masih menggunakan kata-kata klise. Seperti : 'Aku ingin selalu ada buat kamu, Na. Aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta padaku." Kata-kata ini memang sulit dilepaskan bagi orang yang kasmaran. Tetapi kalimat ini kadang membunuh ide penulis ketika lemah diksi. Lima kali saya menemui "menyilangkan tanda kening" yang bermaksud janji tak boleh diingkari. Dan hampir sepuluh kali saya menemukan "kupencet hidung" sebagai Kegemasan antara Yuna dan Juna.

Cerita ini sangat natural antara Yuna dan Juna. Jika saja Mizwar dan Dea tak masuk sebagai bumbu pemanis. Saya rasa beberapa tokoh seharusnya lebih dalam diceritakan. Bagaimana ending ini dibangun agar tak menggantung. Hubungan Juna dan Dea bagaimana?, Mizwar dengan Yuna berlanjut sampai mana?. Semoga ini sebagai masukan ide untuk novel kedua yang dijanjikan di kata pengantar dari Gunawan Budi Susanto.

Sekian resensi yang saya tulis. Mungkin ini juga jadi catatan untuk saya pribadi. Jika nanti saya bisa menulis buku. Semoga buku ini makin banyak peminatnya. Maaf jika seperti ini yang saya tulis. Terima kasih juga telah membaca resensiku ini. Salam. 


@nahar_gostu


http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/02/resensi-dan-juna.html

Friday, January 29, 2016

Oh Dik!

Oleh : Geriel Farah Faizah (yang dipublikasikan di grup sekolah menulis facebook)

Jogja hampir kelabu. Baru saja badanku berhasil keluar dari kotakan sempit shelter Trans Jogja. Aku menemukan senyum samarmu. Berjalan menyeberang zebra cross di depan Vrederburg. Sepertinya hujan baru saja reda, meninggalkan beberapa kubangan yang membuat langkahmu sesekali berjingkat menghindarinya.

“Hai,” niatnya menyapamu renyah, tapi entah, suara yang keluar dari tenggorok justru canggung, grogi, bernada rendah. Kiraku resah yang bercokol di dada akan seketika lenyap seperti hari-hari sebelumnya saat kita berjabat tangan dan sekadar basa-basi apa kabar. Ternyata resah itu semakin mendera, entah bagaimana caranya naik ke jantung dan ikut andil memompanya dalam detak yang sangat tidak beraturan. Aku semakin gusar apalagi menemukan jabatan tanganmu sedikit bergetar. Caramu melengos, ah pasti ada apa-apa di sana, di matamu. Sedangkan kita sama-sama tahu, ada rindu yang seharusnya terpecah dengan perbincangan panjang, gelak tawamu, membagi keluh-kesah hingga mereka-reka masa depan.

Oh Dik, membunuh waktu bersamamu bukan sebatas bercumbu menuntaskan nafsu, bukan sekadar membawamu kabur ke Kali Urang dan menelusuri lekuk tubuhmu yang sekarang hanya kau balut kaus V-neck dan celana tiga perempat. Caramu mengerutkan dahi, diam dan menatap tajam, serius berfikir, atau juga sedikit kemayu menyelipkan rokok menthol, mengebulkan asap dengan angkuh sebelum berkata-kata, lalu menyambung obrolan, dari Khatmandu hingga Karimun Jawa, Das Kapital hingga Pramoedya, inflasi, nilai tukar rupiah, hingga pelecehan seks perempuan-perempuan di Afrika, semuanya seolah tanpa muara. Mengalir terus, sederhana tapi penuh gairah. Semakin mengenalmu, semakin banyak kesempatan menyelusup ke ceruk-ceruk di mana pemikiranmu bertapa, aku semakin jatuh cinta. Tingkah manjamu yang tidak berlebihan, hobimu mengeratkan genggaman lalu mengelusnya lembut, atau pelukan hangatmu, aku hanya seperti selalu menemukan suara, “Tenanglah Mas, pulanglah ke mari kapanpun kau mau. Semua akan baik-baik saja.” Diantara jibunan tuntutan dunia, menemukan sore dan senyummu adalah garba menuju gua ketenangan tanpa terlalu banyak dentuman dan gesekan. Masa bodoh mereka di luar sana menyebutku terlampau terlena. “Bukankah cinta yang tulus sudah cukup, Mas?” katamu selalu meyakinkanku, setidaknya aku terlena oleh cinta yang tulus, toh nafsu hanya bumbu.

--- --- ---

Kita berjalan dalam diam, seperti dua orang yang tidak saling kenal. Aku membuntutimu, melangkah tergesa diantara orang-orang yang berjubel merburu suvenir. Kau tidak ingin bernostalgia sepertinya, sekadar mengangkat Nikon-mu dari kalungan. Lalu membidikkan lensa ke beberapa arah. Padahal katamu dulu Malioboro selalu cantik, menggoda untuk dipotret, auranya bak perempuan bergincu merah muda. Dulu kita sering hunting bersama bukan? Aku ketularan aliran street photography-mu, hingga murtad dari landscape. “Jalanan punya segalanya, Mas. Mau drama model apa saja, asal Mas jeli. Aliran yang paling mudah mengungkap banyak cerita.” katamu dulu. Kau yang mengajarkan bagaimana candid denagan POI yang akan tampak begitu menarik, setelan aperture, memilih lensa, hingga interaksi dengan obyek.

Aku baru sadar, kita sudah daritadi melewati Bringharjo. Kujajari langkahmu, “ Eh Dik, kita mau kemana?” Datar saja kau ucapkan, sebuah kedai donat premium di dalam Malioboro Mall. “Padahal aku kangen dawet yang di dalam Bringharjo, gimana kalau ke sana saja?” Langkahmu terhenti, nah, akhirnya bertemu matamu. “Tempat seramai itu Mas. Obrolan kita…” dari matamu aku tahu, kata-katamu tercekat di tenggorok, dicekat sesak yang sedari tadi menyumpal ulu hati. Kau membuang pandangan, artinya usahaku membuat kita tidak sekaku ini kau tolak mentah-mentah. Baiklah Dik, obrolan kita memang Dewa sore ini, terserah apa maunya akan membawa kita kemana selanjutnya, hanya obrolan. Ah, begini benar!
Kita berbelok ke Malioboro Mall, kotakan kaca besar di sebelah kanan pintu masuk, kedai yang tidak terlalu ramai sore ini. Sementara di luar gerimis mulai merintis, pendingin ruangan dan dingin hujan membekukanku, juga mungkin membuat bibirmu kelu. Aku memperhatikan caramu terdiam, menatap kosong pada rintik air di luar. Kau masih suka gerimis, caramu menatapnya seolah menginginkan menari di bawahnya. Bukankah kita pernah berlarian di bawah gerimis waktu gagal memotret senja di Ratu Boko? Kau kedinginan tapi sangat bahagia waktu itu. Lalu kita naik Trans Jogja menuju kontrakanmu. Sesekali kau kagumi caraku memotret kota dengan rintik gerimis pada dinding kaca bis. “Sendu,” ucapmu, lalu kusambung, “Ya, sendu seperti wajahmu.” Kau tergelak, tawamu lepas memamerkan deretan gigi rapi hasil behel dua tahun katamu. Oh Dik, bahagia memang milik kita waktu itu.

Sejak kapan di meja kita ada dua cangkir coklat panas dan tiga buah donat warna-warni? Aku terlalu larut dalam lamunan, mungkin kau juga. Sekarang kau seruput pelan coklat panasmu. Aku menunggu, tapi tidak tahu menunggu apa.

“Jadi…” trimakasih Dik, akhirnya kau mengawali.

“Jadi… aku…” semalam sudah kususun apa yang ingin aku katakana. Tapi kemana semua. Oh Dik, aku sebenarnya tahu, kau tahu apa yang akan kita bicarakan. Social mediaku telah gamblang menceritakan semuanya, kan?

“Foto-foto di Instagram-mu, Mas.”

“Iya, Dik. Sebenarnya sore ini aku ingin memberikan ini,” kuambil dari ransel lalu meletakkannya di meja. Adakah warna jingga di sana semakin menohok ulu hatimu? Aku juga tahu setelah gerimis kau menggilai senja yang jingga, Jangan kau gigit bibir bawahmu sekuat itu Dik, perih. Berhentilah, apa yang kau tahan, air mata? Toh matamu tetap berkaca-kaca. Matamu kau paksa tak mengalihkan pandangan, meski tanpa berniat menyentuh benda itu sama sekali.

“Aku hanya tiba-tiba lupa berekspresi, Mas.” Nafasmu sesak, kau ambil oksigen sepanjang yang kau kuat, “Mas..” emosimu tertahan, dahimu tiba-tiba bercucuran keringat, di ruangan sedingin ini dan Jogja yang gerimis? 
Aku menatap matamu. Pasti juga bisa kau baca apa yang ingin meluap dari lelakimu ini. Banyak sekali hal yang ingin kuutarakan, namun tak bisa Dik, aku tiba-tiba bodoh dan terbata, “Maafkan aku, Dik,” hanya itu yang mampu kukeluarkan, sangat lirih.

“Maafkan aku juga, tidak bisa berpura-pura memberimu doa, Mas. Sakit, Mas. Aku juga tidak bisa memberimu selamat. Maaf.”

Tuhan, rasanya seperti ada paku yang dipalu tepat di gendang telinga. Nyeri, ngilu, sakitnya semenyiksa ini. Aku hanya tampak begitu kejam, seperti menuli, tak punya hati. Oh Dik, ingin memelukmu dan menampung tangisanmu di bahuku. Kita pernah mengobrolkan semua ini sebelumnya. Pernah juga saling meyakinkankan bahwa kita tidak akan serapuh ini ketika semua ini terjadi.

“Memang pada akhirnya harus begini, Mas. Sudah, jangan khawatirkan aku.”

Jemariku bergerak hendak menggenggammu, kau menarik diri. “Dik, aku selalu mencintaimu,” kataku.

“Dunia yang tidak pernah mencintai kita,” nadamu lelah dan pasrah. Kali ini benar-benar jatuh air matamu, tidak peduli beberapa pasang mata memperhatikan kita. “Kenapa saling mencintai saja tidak pernah cukup, Mas? Aku mencintaimu bukan sebatas kamu top dan aku bot.” Aku juga Dik, aku pakai hati denganmu. Sayang aku tetap tak bisa menjawab pertanyaan, “ Kenapa aku harus lagi-lagi kehilangan?”

Seharusnya aku membawamu lari ke Belanda, hidup tentram dan sama-sama mewujudkan mimpi-mimpi kita. Seharusnya aku tidak memilih pergi. Lagi-lagi kau harus bertemu pecundang yang tak berani mempertaruhkan diri. Masih kuingat getir suaramu di suatu sore gerimis di Parang Tritis. “Kenapa dunia, manusia-manusia itu, harus mengendalikan segalanya? Mengendalikan cara berfikir, mengendalikan persepsi, mengendalikan mana yang benar dan yang salah. Mas, cintapun harus dikendalikan mereka? Cinta kan hanya aku dan kamu yang tahu, yang menjalani. Kenapa harus tunduk pada kendali mereka, persepsi mereka, benar salah mereka?” Aku menyimpan kata-kata itu, termasuk ekspresi marah dan kecewamu yang tak tahu hendak kau luapkan pada siapa.

Menyembunyikan cinta kita tidak pernah semudah menyembunyikan vigel di dalam sneakers usang di pojok rumahku. Kalau sampai ketahuan ibu, aku hanya akan bilang itu minyak bulus penumbuh rambut. Semuanya penuh konsekuensi, dan aku lelakimu yang pecundang ini tak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan. Aku memilih memaksa diri tunduk pada persepsi mereka, benar-salah mereka.

“Aku harus pergi mas. Terimakasih untuk semuanya.” Suaramu masih sesenggukan, dalam sekali tangismu sore ini. Nafasmu teresengal-sengal, aku ingin menahan kepulanganmu, menarik pergelanganmu. Tapi aku juga tidak tahu, jika terus di sini aku bisa memperimu apa. Oh Dik, lelakimu ini hanya mampu memandang kau berjalan ke luar kedai yang mulai ramai lalu tertelan kerumunan dan hilang. Sementara orang-orang di sekitar meja bertanya-tanya melalui pandangan mereka.

Aku menyesap coklat yang tadi kau pesankan, terlalu pahit. Kubalik benda jingga yang telah menamparmu meski tanpa bergerak sedikitpun. Aku membaca di sampulnya, ada namaku Satriya Astapraja, dan nama calon istriku, Tulip Sasmita Prihantari. Ada pula foto kami, aku menggendongnya di punggungku dengan latar belakang jalanan Jakarta waktu senja. Foto yang tadi kau sebut ada di akun Instagram-ku dengan hastag ‪#‎prewed‬. Dan dipojok bawah itu, namamu, Diki Rahadian Soetopo. Aku sendiri yang mengetik huruf-huruf itu, mencetaknya diatas label nama, dan baru tadi di atas Trans Jogja kutempel di sana.

Aku melihat keluar, masih gerimis. Semoga kau sedang menari di bawahnya, menyembuhkan luka. Semoga setiap luka memang ada obatnya. Semoga Tuhan berhenti menggodamu dengan kebahagiaan semu. Oh Dik!

--- selesai ---

Thursday, January 14, 2016

Sinestesia - Efek Rumah Kaca

Sekali lagi, saya ucap terima kasih pada efek rumah kaca yang telah berani mengunggah Sinestesia Efek rumah kaca untuk diunduh gratis. Banyak hal yang ingin digali pada album ini. Cerita dibalik sinestesia yang didedikasikan untuk Adrian, yang telah menemani Efek Rumah Kaca.

Baca juga : Belajar dari Sinestesia Efek Rumah Kaca

Saya membagikan ini : karena Efek Rumah Kaca sengaja share di ripstore, dan membolehkan untuk dibagikan ulang. Maka silakan download jika memang ini mendengarkan.

Kali pertama mereka mengeluarkan single Pasar Bisa Diciptakan,  - yang menjadi keseluruhan Biru - kemudian Putih yang bercerita Ada Dan Tiada. Cerita suatu keadaan kematian dan kelahiran.

Baca juga : Putih

Maka jika berkenan silakan download.

http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/01/unduh-sinestesia-efek-rumah-kaca.html