This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Wednesday, April 27, 2016
Steller, Generasi Micro Blogging Baru?
Tuesday, April 26, 2016
Sebelum acara Gambang Syafaat April
Jaringan komunikasi grup WhatsApp selalu menyenangkan. Hadir memberikan informasi. Salah satu grup yang menurutku sedikit berbeda dengan grup lain adalah Forum Komunikasi Gambang Syafaat. Gambang syafaat adalah Simpul maiyahan Nusantara area Semarang dan sekitarnya.
Maiyah Nusantara ialah pengajian dan ruang diskusi publik di bawah naungan Cak Nun yang tersebar di beberapa daerah.
Mengapa berbeda? Karena perlahan-lahan saya mulai belajar intelektualitas dasar Islam yang dikaji jaringan ini. Agak konyol sebetulnya jika dibandingkan dengan pengajian lain. Pengajian lain, mungkin, dituntut untuk menerima apapun dari apa yang dibicarakan. Namun dalam maiyahan justru siapapun yang datang, setidaknya, memikirkan apa yang dibicarakan. Kadang malah makin mumet memikirkannya setelah pengajian.
Pengajian pun kadang diselingi guyonan jawa yang turut menyegarkan jamaah sehingga durasi 4 jam tidak terasa menjenuhkan.
Saya akan bercerita sedikit mengenai grup WhatsApp tadi. Sejak saya dimasukkan grup itu 4 April 2016. Saya mulai berinteraksi dengan tim Gambang Syafaat. Mulai bertanya proses sebelum maiyahan, yang diselenggarakan setiap bulan pada tanggal 25 Masehi, hingga acara tersebut dimulai.
Kebetulan malam lalu (25 april), salah satu admin grup, Ali Fatkhan, mengajak penghuni grup untuk bercengkerama. Kami pun dikumpulkan di sekretariat Ikatan pemuda Masjid Baiturrahman (IKAMABA) setelah maghrib. Beberapa orang dalam grup hadir.
Saya yang kebetulan datang lebih awal menyempatkan bertanya-tanya. Ibarat anak baru dalam sebuah organisasi. Maksud tujuan hingga nanti apa yang perlu dibantu.
Ali Fatkhan, yang kebetulan ditugasi sebagai pemantik tema, bercerita gabungnya dia di Gambang Syafaat. "Saya baru sebelas bulan ini bergabung intens di Gambang Syafaat. Karena makin tertarik saya pun ikut kecemplung dengan kegiatan-kegiatan ini" ungkap Ali Fatkhan. Menurut penuturannya, dia terjebak sebagai pemantik tema karena pos itu yang belum terisi. Penggiat Gambang Syafaat, harus mau mengorbankan diri (menabung kerelaan, maksudnya) untuk menjaga agar kegiatan maiyahan berjalan setiap bulannya.
Kemudian dia pun menyampaikan maksud dikumpulkan teman-teman di grup. "Setiap anggota penggiat Gambang Syafaat, sudah dapat plot masing-masing. Tetapi ada satu yang kurang di Gambang Syafaat ini. Kami harap ada teman-teman yang nanti di grup bisa ikut andil. Terus terang, kami kekurangan bagian reportase." terangnya.
Selang beberapa menit. Azis dan Sentosa datang disusul kemudian Yusuf, Alumni UIN walisongo, turut hadir juga. Setiap orang diminta untuk cerita latar belakang dan ketertarikan ke Gambang Syafaat.
Azis pun bercerita. "Saya sering kali ke Mocopat Syafaat (Kasihan, Bantul) setiap tanggal 17. Dan setiap tanggal 25, dan sebisa mungkin meluangkan waktu di Gambang Syafaat".
Obrolan ini berlanjut hingga adzan isya berkumandang.
Kami diberi informasi menarik dari Ali Fatkhan.
"Maiyahan, ibarat warung yg menyediakan nasi pecel prasmanan, setiap jamaah meramu sendiri dg takaran masing2. Sedangkan pengajian lain ibaratnya menyediakan Siomay dan Bakso, yang sudah siap saji paket menunya. Di Maiyahan kita boleh makan, dengan porsi berbeda-beda. Mau makan sampai kepedasan atau tak habis juga silakan " lanjut Ali Fatkhan.
Karena di IKAMABA tidak ada pengisi dahaga. Kami diajak ke warung padang, belakang IKAMABA, yang berjarak tak kurang 10 meter.
Obrolan dilanjutkan di warung Padang ini.
Teman Azis dan Sentosa juga hadir, aku lupa namanya, di warung ini. Ali fatkhan pamit izin ke toilet. Kami ceritakan pengalaman kami di setiap maiyahan yang kami hadiri.
Selang lima menit kemudian, Ali Fatkhan, kembali. Kami ngobrol ngalor ngidul, apa saja. Sedang asyik mengobrol, Ali Fatkhan menerima telepon. Seseorang di seberang telepon, yang akhirnya kami ketahui, tak lain Drs Ilyas, dosen hukum Unnes. Sarung batik dan baju putih, dengan badan agak subur ini, menemui kami. Kemudian berjabat tangan. Satu per satu dari kami ditanyai mengenai latar belakang.
Saya pun tak luput dari pertanyaan sederhananya : Sibuk apa mas, kuliah, kerja?. Karena pak Illyas duduk dekatku. Dia menanyaiku pertama.
Saya pun menjawabnya : Kuliah di (....) (menyebut salah satu universitas swasta di Semarang), jurusan teknik, pak.
"Siapa nama rektormu?" lanjutnya.
Saya mengingat nama rektorku. Terus terang, aku tak ingat namanya. Karena kelemahanku mengingat nama seseorang yang tak kukenal baik. Dan kebetulan rektor lama ganti rektor baru, rektor lamaku, Noor Ahmad baru saja dilantik jadi DPR RI, sehingga rektor baru saya tak ingat.
Saya alibi pada pak Ilyas. Kemudian pak Ilyas, berkomentar : "wong rektornya sendiri saja tidak tahu. Itu ironi bagi mahasiswa". Komentarnya bernada guyon. Namun pukulan bagiku.
Pak Ilyas menjelaskan berbagai polemik mahasiswa saat ini. Mahasiswa kehilangan jati diri sebagai Maha-Siswa. Sengaja aku tulis seperti ini, sebagai tanda kebesaran siswa, yang dianggap agent of change . Namun nama rektor tak dikenal.
Obrolan gayeng pun harus kami akhiri mengingat maiyahan 25 April 2016 segera dimulai, dan jam dinding menunjukkan pukul 20.10. Dan bertajuk Tadabbur Selfie
Friday, April 15, 2016
Kenangan di Kudus
Cerita : Jumat Berkah (?)
Thursday, April 7, 2016
Enkripsi Baru WhatsApp
Wednesday, April 6, 2016
Slilit sang Kiai
Tuesday, April 5, 2016
Tujuh Belas Ribu Kartu Nama
Thursday, March 31, 2016
Alasanku Menyukai Lagu
Beruntung. Kata pertama yang kutulis dalam cerita di blog ini. Beruntung karena setiap lagu mampu membangkitkan mood saya. Bermilyaran lagu menguap di dunia. Jutaan band menuliskan lirik indah dalam lagu mereka. Hanya dalam tujuh nada. Beruntung karena pencipta nada do re mi fa shol la si, ternyata seorang muslim.
Kali pertama saya menyukai lagu bukan terletak pada nada. Karena sampai saat ini saya tak bisa membaca not balok. Tapi lirik yang easy listening-lah akhirnya membuat saya tak ragu.
Setiap hari lagu-lagu kudengar, kutelaah ulang lirik, dengan menulis ulang. Menggali kata per kata, apa makna tersirat. Kemudian menemukan makna didalam cerita lirik tersebut.
Pada blog sebelumnya sayapun menuliskan ulang lirik tersebut. Agar saya tahu maknanya. Seperti Tentang hidup , Selamat Datang, dll.
Baca juga
http://mrgostuquwh.blogspot.com/2012/11/menelaah-lirik.html
Ceritaku di Pasar Lamongan
Saturday, March 19, 2016
Lirik Kasih Tak Memilih Letto
Melalui kabar burung alias twitter. Bahwa tanggal 14 maret lalu mereka sedang launching album maka saya pun mencoba menuliskan lirik single Kasih Tak Memilih milik Letto.
Kasih Tak Memilih - Letto
Rasa benci itu
yang tersimpan setiap waktu
berapa lama ku mau tuk menderita
Aku tak mengerti kata dari hati
Reffrain :
Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih
Cerita yang tlah hilang
Seharusnya tak mengapa
Hati yang bersih
Hati yang telah murni
Takkan tersakiti
Sebelum terlambat
Coba tuk mengingat
Seperti kertas yang putih
Cinta kasih tak memilih
Interlude
Back to reffrain 3x
Dapatkan single terbaru Letto “Kasih Tak Memilih” di link berikut ini:
itunes.apple: Kasih Tak Memilih
Sunday, February 7, 2016
Menelisik Buku dari Sisi Lain
Sebelum masuk ke tulisan ini, simaklah tulisan saya sebelumnya http://bit.ly/1mlIYLD
Bercerita sebuah buku memang unik dibahas. Cerita, pengetahuan bahkan proses pembuatannya mampu membuat menarik setiap pembacanya. Penawaran demi penawaran turut andil dalam mengembangkan buku tersebut. Jauh sebelumnya banyak buku dilarang peredarannya. Sebut saja karya Pramoedya Ananta Toer, Widji Thukul, hingga Pidi Baiq, pernah merasakan bukunya dilarang beredar. Namun seiring berjalan waktu, karya mereka menghiasi industri buku masa kini.
Dilan, 1990. Merupakan buku yang dicekal era 90an. Karena ada 1 kalimat yang diduga kontroversi, dengan menyinggung presiden yang berkuasa saat itu. Beruntunglah kita saat ini. Dilan 1990 dan Dilan 1991 dicetak ulang. Pramoedya Ananta Toer, beliau memilih dijebloskan di penjara bertahun-tahun karena karyanya. Bahkan info dari berbagai sumber, 500 sampai 5000 lembar : kliping dan tulisannya dihanguskan dari peredaran. Namun, Pram tak kecewa. Berulang kali beliau menulis di penjara, karyanya tetap masih dinikmati saat ini. Akhirnya berhasil melewati orde lama dan orde baru. Widji Thukul, mungkin tak seberuntung Pidi Baiq dan Pramoedya Ananta Toer. Puisi-puisi perlawanan beliau diberangus. Bahkan dokumen-dokumen yang telah siap cetak juga disita. Tahun 1997-1998, Thukul, dinyatakan tak kembali ke rumah hingga kini.
Ketiga penulis tersebut mampu melewatkan masa kelam bukunya. Hanya Thukul yang tak beruntung, diantara keduanya.
Buku berupa catatan seseorang yang mampu hidup di zaman tertentu. Generasi 90an mungkin mengenalnya dengan diary, generasi sekarang, media sosial dianggap sebagai buku hidupnya. Melalui timeline, media sosial merekam jejak pemilik akun, menggeser posisi diary di generasi 90an.
Setiap orang berhak mencetak buku. Yup. Buku merupakan hal sakral untuk dibagikan cerita, keilmuan bahkan catatan pinggirnya. Bagi mahasiswa tingkat akhir, buku ini sangat ditakuti.
Sebuah karya yang harus ditempuh beberapa tahun menuju kelulusan. Buku menakutkan itu bernama Skripsi. Menggali ide, menulis, berpikir, cari referensi kemudian dipertaruhkan dihadapan penguji yang berakhir revisi tanpa bantuan penyunting, selain penulisnya. Banyak diantara kita menunda beberapa bulan bahkan bertahun, untuk menulis karya itu. Sadar atau tidak, kemalasan bertemu kekasih (pembimbing), peliknya.
Kok malah curhat ya?
Bukan hanya itu saja. Buku bagi penulis baru, bagai bertemu dosen pembimbing dan dosen penguji, saat akan diajukan ke penerbit mayor. Eksistensi penulis dipertaruhkan. Mampu diterima pasar atau tidak, harga pertaruhan itu. Sayangnya seperti mahasiswa tingkat akhir yang mengajukan judul atau bahkan bab per bab, yang tak kunjung diterima dihadapan dosen pembimbing.
Belum lagi ketika sudah dicetak. Musuh besarnya, pembajakan. Bisa jadi harganya turun puluhan persen. Hasilnya tidak seberapa. Namun prestige dikenal jadi sangat bagus.
Cara paling ampuh mencari informasi penerbitan indie. Namun terjal tetap menghadang. Persyaratan penerbitan indie menjadi polemik tersendiri bagi penulis baru. Biaya cetak, dan administrasi.
Pilihan sulit bukan?
Thursday, February 4, 2016
Resensi "Yuna dan Juna"
Friday, January 29, 2016
Oh Dik!
Oleh : Geriel Farah Faizah (yang dipublikasikan di grup sekolah menulis facebook)
Jogja hampir kelabu. Baru saja badanku berhasil keluar dari kotakan sempit shelter Trans Jogja. Aku menemukan senyum samarmu. Berjalan menyeberang zebra cross di depan Vrederburg. Sepertinya hujan baru saja reda, meninggalkan beberapa kubangan yang membuat langkahmu sesekali berjingkat menghindarinya.
“Hai,” niatnya menyapamu renyah, tapi entah, suara yang keluar dari tenggorok justru canggung, grogi, bernada rendah. Kiraku resah yang bercokol di dada akan seketika lenyap seperti hari-hari sebelumnya saat kita berjabat tangan dan sekadar basa-basi apa kabar. Ternyata resah itu semakin mendera, entah bagaimana caranya naik ke jantung dan ikut andil memompanya dalam detak yang sangat tidak beraturan. Aku semakin gusar apalagi menemukan jabatan tanganmu sedikit bergetar. Caramu melengos, ah pasti ada apa-apa di sana, di matamu. Sedangkan kita sama-sama tahu, ada rindu yang seharusnya terpecah dengan perbincangan panjang, gelak tawamu, membagi keluh-kesah hingga mereka-reka masa depan.
Oh Dik, membunuh waktu bersamamu bukan sebatas bercumbu menuntaskan nafsu, bukan sekadar membawamu kabur ke Kali Urang dan menelusuri lekuk tubuhmu yang sekarang hanya kau balut kaus V-neck dan celana tiga perempat. Caramu mengerutkan dahi, diam dan menatap tajam, serius berfikir, atau juga sedikit kemayu menyelipkan rokok menthol, mengebulkan asap dengan angkuh sebelum berkata-kata, lalu menyambung obrolan, dari Khatmandu hingga Karimun Jawa, Das Kapital hingga Pramoedya, inflasi, nilai tukar rupiah, hingga pelecehan seks perempuan-perempuan di Afrika, semuanya seolah tanpa muara. Mengalir terus, sederhana tapi penuh gairah. Semakin mengenalmu, semakin banyak kesempatan menyelusup ke ceruk-ceruk di mana pemikiranmu bertapa, aku semakin jatuh cinta. Tingkah manjamu yang tidak berlebihan, hobimu mengeratkan genggaman lalu mengelusnya lembut, atau pelukan hangatmu, aku hanya seperti selalu menemukan suara, “Tenanglah Mas, pulanglah ke mari kapanpun kau mau. Semua akan baik-baik saja.” Diantara jibunan tuntutan dunia, menemukan sore dan senyummu adalah garba menuju gua ketenangan tanpa terlalu banyak dentuman dan gesekan. Masa bodoh mereka di luar sana menyebutku terlampau terlena. “Bukankah cinta yang tulus sudah cukup, Mas?” katamu selalu meyakinkanku, setidaknya aku terlena oleh cinta yang tulus, toh nafsu hanya bumbu.
--- --- ---
Kita berjalan dalam diam, seperti dua orang yang tidak saling kenal. Aku membuntutimu, melangkah tergesa diantara orang-orang yang berjubel merburu suvenir. Kau tidak ingin bernostalgia sepertinya, sekadar mengangkat Nikon-mu dari kalungan. Lalu membidikkan lensa ke beberapa arah. Padahal katamu dulu Malioboro selalu cantik, menggoda untuk dipotret, auranya bak perempuan bergincu merah muda. Dulu kita sering hunting bersama bukan? Aku ketularan aliran street photography-mu, hingga murtad dari landscape. “Jalanan punya segalanya, Mas. Mau drama model apa saja, asal Mas jeli. Aliran yang paling mudah mengungkap banyak cerita.” katamu dulu. Kau yang mengajarkan bagaimana candid denagan POI yang akan tampak begitu menarik, setelan aperture, memilih lensa, hingga interaksi dengan obyek.
Aku baru sadar, kita sudah daritadi melewati Bringharjo. Kujajari langkahmu, “ Eh Dik, kita mau kemana?” Datar saja kau ucapkan, sebuah kedai donat premium di dalam Malioboro Mall. “Padahal aku kangen dawet yang di dalam Bringharjo, gimana kalau ke sana saja?” Langkahmu terhenti, nah, akhirnya bertemu matamu. “Tempat seramai itu Mas. Obrolan kita…” dari matamu aku tahu, kata-katamu tercekat di tenggorok, dicekat sesak yang sedari tadi menyumpal ulu hati. Kau membuang pandangan, artinya usahaku membuat kita tidak sekaku ini kau tolak mentah-mentah. Baiklah Dik, obrolan kita memang Dewa sore ini, terserah apa maunya akan membawa kita kemana selanjutnya, hanya obrolan. Ah, begini benar!
Kita berbelok ke Malioboro Mall, kotakan kaca besar di sebelah kanan pintu masuk, kedai yang tidak terlalu ramai sore ini. Sementara di luar gerimis mulai merintis, pendingin ruangan dan dingin hujan membekukanku, juga mungkin membuat bibirmu kelu. Aku memperhatikan caramu terdiam, menatap kosong pada rintik air di luar. Kau masih suka gerimis, caramu menatapnya seolah menginginkan menari di bawahnya. Bukankah kita pernah berlarian di bawah gerimis waktu gagal memotret senja di Ratu Boko? Kau kedinginan tapi sangat bahagia waktu itu. Lalu kita naik Trans Jogja menuju kontrakanmu. Sesekali kau kagumi caraku memotret kota dengan rintik gerimis pada dinding kaca bis. “Sendu,” ucapmu, lalu kusambung, “Ya, sendu seperti wajahmu.” Kau tergelak, tawamu lepas memamerkan deretan gigi rapi hasil behel dua tahun katamu. Oh Dik, bahagia memang milik kita waktu itu.
Sejak kapan di meja kita ada dua cangkir coklat panas dan tiga buah donat warna-warni? Aku terlalu larut dalam lamunan, mungkin kau juga. Sekarang kau seruput pelan coklat panasmu. Aku menunggu, tapi tidak tahu menunggu apa.
“Jadi…” trimakasih Dik, akhirnya kau mengawali.
“Jadi… aku…” semalam sudah kususun apa yang ingin aku katakana. Tapi kemana semua. Oh Dik, aku sebenarnya tahu, kau tahu apa yang akan kita bicarakan. Social mediaku telah gamblang menceritakan semuanya, kan?
“Foto-foto di Instagram-mu, Mas.”
“Iya, Dik. Sebenarnya sore ini aku ingin memberikan ini,” kuambil dari ransel lalu meletakkannya di meja. Adakah warna jingga di sana semakin menohok ulu hatimu? Aku juga tahu setelah gerimis kau menggilai senja yang jingga, Jangan kau gigit bibir bawahmu sekuat itu Dik, perih. Berhentilah, apa yang kau tahan, air mata? Toh matamu tetap berkaca-kaca. Matamu kau paksa tak mengalihkan pandangan, meski tanpa berniat menyentuh benda itu sama sekali.
“Aku hanya tiba-tiba lupa berekspresi, Mas.” Nafasmu sesak, kau ambil oksigen sepanjang yang kau kuat, “Mas..” emosimu tertahan, dahimu tiba-tiba bercucuran keringat, di ruangan sedingin ini dan Jogja yang gerimis?
Aku menatap matamu. Pasti juga bisa kau baca apa yang ingin meluap dari lelakimu ini. Banyak sekali hal yang ingin kuutarakan, namun tak bisa Dik, aku tiba-tiba bodoh dan terbata, “Maafkan aku, Dik,” hanya itu yang mampu kukeluarkan, sangat lirih.
“Maafkan aku juga, tidak bisa berpura-pura memberimu doa, Mas. Sakit, Mas. Aku juga tidak bisa memberimu selamat. Maaf.”
Tuhan, rasanya seperti ada paku yang dipalu tepat di gendang telinga. Nyeri, ngilu, sakitnya semenyiksa ini. Aku hanya tampak begitu kejam, seperti menuli, tak punya hati. Oh Dik, ingin memelukmu dan menampung tangisanmu di bahuku. Kita pernah mengobrolkan semua ini sebelumnya. Pernah juga saling meyakinkankan bahwa kita tidak akan serapuh ini ketika semua ini terjadi.
“Memang pada akhirnya harus begini, Mas. Sudah, jangan khawatirkan aku.”
Jemariku bergerak hendak menggenggammu, kau menarik diri. “Dik, aku selalu mencintaimu,” kataku.
“Dunia yang tidak pernah mencintai kita,” nadamu lelah dan pasrah. Kali ini benar-benar jatuh air matamu, tidak peduli beberapa pasang mata memperhatikan kita. “Kenapa saling mencintai saja tidak pernah cukup, Mas? Aku mencintaimu bukan sebatas kamu top dan aku bot.” Aku juga Dik, aku pakai hati denganmu. Sayang aku tetap tak bisa menjawab pertanyaan, “ Kenapa aku harus lagi-lagi kehilangan?”
Seharusnya aku membawamu lari ke Belanda, hidup tentram dan sama-sama mewujudkan mimpi-mimpi kita. Seharusnya aku tidak memilih pergi. Lagi-lagi kau harus bertemu pecundang yang tak berani mempertaruhkan diri. Masih kuingat getir suaramu di suatu sore gerimis di Parang Tritis. “Kenapa dunia, manusia-manusia itu, harus mengendalikan segalanya? Mengendalikan cara berfikir, mengendalikan persepsi, mengendalikan mana yang benar dan yang salah. Mas, cintapun harus dikendalikan mereka? Cinta kan hanya aku dan kamu yang tahu, yang menjalani. Kenapa harus tunduk pada kendali mereka, persepsi mereka, benar salah mereka?” Aku menyimpan kata-kata itu, termasuk ekspresi marah dan kecewamu yang tak tahu hendak kau luapkan pada siapa.
Menyembunyikan cinta kita tidak pernah semudah menyembunyikan vigel di dalam sneakers usang di pojok rumahku. Kalau sampai ketahuan ibu, aku hanya akan bilang itu minyak bulus penumbuh rambut. Semuanya penuh konsekuensi, dan aku lelakimu yang pecundang ini tak punya cukup keberanian untuk memperjuangkan. Aku memilih memaksa diri tunduk pada persepsi mereka, benar-salah mereka.
“Aku harus pergi mas. Terimakasih untuk semuanya.” Suaramu masih sesenggukan, dalam sekali tangismu sore ini. Nafasmu teresengal-sengal, aku ingin menahan kepulanganmu, menarik pergelanganmu. Tapi aku juga tidak tahu, jika terus di sini aku bisa memperimu apa. Oh Dik, lelakimu ini hanya mampu memandang kau berjalan ke luar kedai yang mulai ramai lalu tertelan kerumunan dan hilang. Sementara orang-orang di sekitar meja bertanya-tanya melalui pandangan mereka.
Aku menyesap coklat yang tadi kau pesankan, terlalu pahit. Kubalik benda jingga yang telah menamparmu meski tanpa bergerak sedikitpun. Aku membaca di sampulnya, ada namaku Satriya Astapraja, dan nama calon istriku, Tulip Sasmita Prihantari. Ada pula foto kami, aku menggendongnya di punggungku dengan latar belakang jalanan Jakarta waktu senja. Foto yang tadi kau sebut ada di akun Instagram-ku dengan hastag #prewed. Dan dipojok bawah itu, namamu, Diki Rahadian Soetopo. Aku sendiri yang mengetik huruf-huruf itu, mencetaknya diatas label nama, dan baru tadi di atas Trans Jogja kutempel di sana.
Aku melihat keluar, masih gerimis. Semoga kau sedang menari di bawahnya, menyembuhkan luka. Semoga setiap luka memang ada obatnya. Semoga Tuhan berhenti menggodamu dengan kebahagiaan semu. Oh Dik!
--- selesai ---
Thursday, January 14, 2016
Sinestesia - Efek Rumah Kaca
Sekali lagi, saya ucap terima kasih pada efek rumah kaca yang telah berani mengunggah Sinestesia Efek rumah kaca untuk diunduh gratis. Banyak hal yang ingin digali pada album ini. Cerita dibalik sinestesia yang didedikasikan untuk Adrian, yang telah menemani Efek Rumah Kaca.
Baca juga : Belajar dari Sinestesia Efek Rumah Kaca
Saya membagikan ini : karena Efek Rumah Kaca sengaja share di ripstore, dan membolehkan untuk dibagikan ulang. Maka silakan download jika memang ini mendengarkan.
Kali pertama mereka mengeluarkan single Pasar Bisa Diciptakan, - yang menjadi keseluruhan Biru - kemudian Putih yang bercerita Ada Dan Tiada. Cerita suatu keadaan kematian dan kelahiran.
Baca juga : Putih
Maka jika berkenan silakan download.
http://mrgostuquwh.blogspot.com/2016/01/unduh-sinestesia-efek-rumah-kaca.html